Minyak Goreng : Antara Langkah Blunder atau Pembelaan

oleh
oleh

Oleh : Maiyasyak Johan

 

Menyatakan ‘kelangkaan’, ‘kenaikan harga’ dan ‘pemberian ijin ekspor’  minyak goreng hanya persoalan tata niaga, terkesan sebagai sebuah perlindungan politik, baik terhadap beberapa orang yang telah ditahan maupun terhadap otoritas koorporasi yang lebih tinggi serta koorporasi yang belum disentuh/tersentuh.

Kenaikan harga minyak goreng dengan cara menimbun, sekaligus membuatnya langka atau hilang dari pasar atas semua brand korporasi yang ada di pasar, jelas sekali merupakan suatu perbuatan yang disengaja dan hanya bisa dilakukan secara bersama-sama oleh otoritas yang lebih tinggi dari mereka yang telah ditahan serta berbagai korporasi yang belum disentuh.

Perbuatan mereka yang bersama-sama itu secara jelas menunjukkan adanya “kartel”. Dan “kartel” yang mereka bangun itu adalah untuk memanfaatkan keadaan guna meraih keuntungan secara luar biasa.

Ini bukan uang kecil, melainkan uang yang bisa membiayai banyak hal – yang artinya korporasi tidak perlu mengeluarkan dana mereka,  cukup mengambilnya dari masyarakat melalui mekanisme memenimbun membuat barang langka,  menaikkan harga dan “pemberian ijin ekspor minyak goreng tersebut. Selanjutnya sebagai rasionalisasi atas kelangkaan itu dibebankan kesalahannya kepada perbuatan oknum yang bermuara sebagai perbuatan personal korupsi.

Sungguh tidak sesederhana itu – kartel yang mendesain agar terkesan yang menjalankan langkah-langkah menimbun, membuat langka dan selanjutnya menaikkan harga minyak goreng itu di luar korporasi – benar-benar naif. Tetapi biaya untuk mendukung kenaifan itu mungkin telah tersedia – cukup diambil dari keuntungan yang diperoleh kartel.

Pertanyaan kita kini tidak saja kepada Kejagung, melainkan lurus ke sistem yang bekerja untuk menindak, yaitu pengadilan. Bila pengadilan melihat dalam kasus ini jelas ada kartel yang telah menggangu stabilitas ekonomi secara nasional dan membuat institusi pemerintah saling menegasikan – terutama tentang apa masalah yang dihadapi.

Kesan ada sinyal untuk melindungi dan membiarkan beberapa orang diurus dan dijadikan tumbal serta ada juga yang implisit disalahkan serta belum disentuhnya beberapa korporasi yang lain sungguh menggelitik untuk mengikutinya dan mengawasinya.

Kita berharap bahwa Kejaksaan Agung menjadikan kasus ini sebagai awal momentum untuk membangun kepercayaan rakyat terhadap Kejagung dengan menyeret otoritas tertinggi pada korporasi yang belum tersentuh itu.  (Penulis adalah mantan anggota DPR yang kini menjadi pengamat politik dan hukum).

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id