JAKARTA,REPORTER.ID – Pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah pada Mei 2022 lalu menyisakan sorotan tentang perlu atau tidaknya suatu regulasi teknis yang mengatur agar penunjukan tersebut menjadi lebih demokratis dan transparan. Selain itu, terdapat pula isu tentang kebutuhan evaluasi berkala terhadap kinerja penjabat kepala daerah demi menjaga kualitas layanan publik dan pembangunan daerah.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada Kamis 16 Juni 2022 lalu menyampaikan bahwa Kemendagri akan memutuskan untuk penunjukan Penjabat Kepala Daerah selanjutnya hanya akan mengajukan dari Pejabat Sipil. Tito juga menyampaikan rencana Kemendagri menyiapkan peraturan teknis penunjukan Pj Kepala Daerah. Dalam aturan tersebut Kemendagri akan melibatkan DPRD untuk mengusulkan calon Pj Kepala Daerah.
Peneliti Formappi Lucius Karus, menngapresiasi atas rencana Kemendagri tersebut. Melibatkan DPRD dalam proses rekrutmen Pj tentu akan mencegah munculnya penolakan yang cenderung politis dari DPRD pada saat bertugas. Dengan memberikan ruang bagi DPRD untuk mengusulkan calon Pj Kepala Daerah, Kemendagri menunjukkan keinginannya untuk menjalankan praktek berdemokrasi.
Lucius Karus menilai baik rencana Kemendagri yang ingin membuat Peraturan teknis terkait rekrutmen Penjabat kepala daerah. Apalagi rencana itu muncul sebagai respons atas aspirasi publik. “Terobosan positif Kemendagri di atas, merupakan bentuk komitmen Pemerintah untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam penunjukan Penjabat Kepala Daerah. Walau idealnya terobosan Kemendagri ini sudah harus dilakukan sejak gelombang awal penunjukan Pj Kepala Daerah,” kata Lucius, Senin (20/6/2022).
Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, mengatakan bahwa aturan teknis pengangkatan penjabat kepala daerah menjadi suatu kebutuhan, setidaknya karena tiga hal. Pertama, aturan terkait terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlainan.
Kedua, sebagian aturan cenderung menimbulkan multitafsir. Ketiga, Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 15/PUU-XX/2022 menyebut pentingnya pemenuhan syarat tertentu sebagai penjabat kepala daerah dan kebutuhan evaluasi berkala.
Lebih lanjut, Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) merinci hal-hal yang perlu dimasukkan dalam aturan teknis semacam itu. Aturan perlu memasukkan bahwa seorang calon penjabat kepala daerah tidak memiliki pemahaman ideologi berlawanan dengan Pancasila. Penjabat juga tidak berasal dari TNI/Polri dan menjabat selama satu tahun untuk kemudian dapat diperpanjang untuk jabatan yang sama satu tahun berikutnya.
“Selama menjabat, dia harus mendapatkan evaluasi berkala, misal setiap empat bulan, dan tidak boleh mencalonkan diri pada Pilkada Serentak 2024 sekaligus menjaga netralitasnya dalam Pemilu,” kata Jeirry.
Terkait evaluasi berkala bagi penjabat kepala daerah, Arif Susanto menyatakan bahwa hal ini akan menjadi mekanisme untuk menjaga kinerja penjabat dan memastikan bahwa dirinya tidak melanggar larangan untuk tidak membuat kebijakan berlawanan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan sebelumnya.
“Evaluasi berkala juga penting untuk memperkuat legitimasi politik penjabat kepala daerah, dan untuk itu diperlukan keterlibatan para pemangku kepentingan seperti masyarakat, DPRD, dan Kemendagri,” pungkas Arif.