MENINJAU KEMBALI KONFLIK INTERNAL DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF SEJARAH MASA LALU

oleh
oleh

Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi (net)

 

Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi

Pendahuluan

Indonesia adalah bekas jajahan Belanda yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 oleh Sukarno dan Hatta. Namun, baru diakui secara internasional pada 27 Desember 1949, ketika pemerintah Belanda secara de jure mengalihkan kedaulatan Hindia Belanda ke entitas politik baru yang disebut “Indonesia” pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Peristiwa ini sebagai fakta bahwa persatuan politik dan semua komunitas daerah yang beragam dan tersebar di seluruh Nusantara telah selesai. Langkah ini sering digunakan sebagai “raw model” bagi banyak negara di dunia untuk memperoleh kemerdekaannya dari penjajah Barat dan dengan penentuan nasib sendiri secara internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Jamie Trinidad, mengatakan: “Penentuan nasib sendiri adalah konsep terkenal yang dapat digambarkan sebagai …. Kekuatan ide yang sangat besar, sikap filosofis, nilai moral, gerakan sosial, ideologi potensial, yang dapat diekspresikan dalam salah satu dari banyak samaran, sebagai hak dalam hukum internasional”. (Self-Determiniation in Dispute Colonial Territories, Cambrige University Press, 2018:hal.6)

Namun hubungan antara pemerintah pusat yang  berkedudukan di Jawa dan beberapa komunitas daerah, khususnya di Papua berfluktuasi selama beberapa dekade setelah Papua diintegrasikan kembali ke Indonesia pada 1 Mei 1963. Fenomena ini telah dibarengi dengan permusuhan dan konflik berkepanjangan seperti di Aceh (GAM) dan Papua (OPM). Namun pergerakan ini telah bergeser dan diperluas hingga mencakup pergerakan berbagai komunitas minoritas, suku, penduduk lokal, dan masyarakat adat dalam sebuah negara merdeka dan berdaulat untuk mencapai kebebasan dari pemerintah pusat di wilayah masing-masing. Pemerintahan di masa lalu, lebih fokus pada kekuatan nasional untuk mempertahankan hegemoni di wilayah nasionalnya dibandingkan dengan membuat komunitas lokal, adil, damai, sejahtera dan menjunjung tinggi HAM bagi mereka yang ada daerah.

Pembahasan

Kita bersyukur bahwa masalah Aceh telah selesai dengan diberikannya Otonomi Khsus pada masyarakat Aceh atau pemerintahan sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Bagi Papua Otonomi Khusus yang diberikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 sebagai kelanjutan dari Otonomi Khusus yang berlaku 20 tahun sebelumnya, menurut komunitas di Papua masih melenceng dari ruh kewenangan desentralisasi yang sebenarnya.

Contoh konkrit, pada pasal 4 ayat (1) UU nomor 2 Tahun 2021 masih ada frasa “serta kewenangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan”. Ini yang menyebabkan komunitas lokal di Papua ribut dan mengangap Pemerintah Nasional tidak tulus dalam memberikan Otonomi Khusus bagi semua provinsi yang ada di Tanah Papua. Hal ini harus diamandir agar Indonesia lebih bermakna bagi Orang Asli Papua.

Profesor Thoby Mutis (Rektor Universitas Trisakti), mengatakan: “Arti sebagai bangsa dan  warga negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna” (Manajemen Kemajemukan, Sebuah Keniscayaan untuk Mengelola Kebhinekaan Manusia Indonesia, Visi 2030, Universitas Trisakti, 2008:hal.5)

Kesimpulan

Konflik penentuan nasib sendiri  bagi Papua di Indonesia sebagai konflik internal yang sering muncul karena fakta sejarah bahwa negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat ini terdiri dari kelompok suku, kaum minoritas dan masyarakat adat. Pendekatan sentralistik dan militeristik yang dipaksakan oleh pemerintah pusat di Jakarta, ditambah dengan pengabaian ekonomi kerakyatan sesuai lokalitas yang ada pada 7 (tujuh) Wilayah Budaya Orang Asli Papua (OAP), akhirnya menjadi potensi sumber lahirnya gerakan penentuan nasib sendiri. Oleh karena itu penguatan jati diri Indonesia di Papua dan pemerataan kesejahteraan, keadilan, keamananan dan menjunjung tinggi HAM menjadi langkah penentu bagi strategi, kebijakan dan program pemerintah pusat bagi Papua kedepan agar OAP mencintai Indonesia.

Proses panjang dan sulit untuk menyelesaikan sendiri konflik internal yang berkepanjangan di Papua harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah pusat dan rakyat Indonesia, bahwa semua konflik internal harus dapat diselesaikan dengan cara damai dan berpegang pada hukum internasional yang berlaku. Banyaknya perbedaan identitas budaya yang diwarisi Indonesia dalam sejarah masa lalu era pra-kemerdekaan akan terus menjadi tantangan bagi integritas negara Indonesia dan selalu menjadi faktor penyumbang besar bagi dinamika hubungan antar pemerintah pusat dan masyarakatnya yang beragam.

Saran

Dalam memberikan kewenangan desentralisasi kepada Provinsi Papua harus utuh dan benar, seperti apa yang diberikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Aceh sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dalam Bab VI Kewenangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota dinyatakan sebagai berikut:

1.Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah.

2.Kewenagan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahananan, keamanan, yustisi, moneter dan fisikal nasional dan urusan tertentu dalam bidang agama.

Dari bunyi Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Provinsi Aceh, sangat jelas terlihat dengan gamblang bahwa semua kewenangan untuk menjalankan roda pemerintahan ada di tangan Pemerintah Provinsi Aceh. Pemerintah Nasional di Jakarta hanya memiliki 6 (enam) kewenangan saja, yaitu kewenangan di bidang Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal, dan urusan tertentu dalam bidang Agama. Sedangkan di Provinsi Papua, kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Nasional di Jakarta sesuai UU Nomor 2 Tahun 2021 sangatlah berbeda dengan Provinsi Aceh.

Pada Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2021, Bab VI Kewenangan Daerah tertulis sebagai berikut:

Pasal 4 (1) : Kewenangan Provinsi Papua mencakup  kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, peradilan serta kewenangan tertentu dibidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tambahan frasa  “kewenangan tertentu dibidang lain yang ditetapkan sesuai dengan  peraturan perundang-undangan”, menjadikan itu semua berubah dan berbeda dengan kewenangan yang diberikan kepada Provinsi Aceh. Tambahan frasa ini merupakan fakta bahwa Pemerintah Nasional di Jakarta “setengah hati” dalam memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi-Provinsi yang ada di Tanah Papua. Dengan adanya frasa ini secara otomatis mereduksi kewenangan Pemerintah di Provinsi-Provinsi yang ada di Tanah Papua.

Bila Pemerintah Nasional bersama rakyat Indonesia ingin menjadikan Otonomi Khusus sesuai UU Nomor 2 Tahun 2021 sebagai suatu “succes story di Tanah Papua”, maka frasa  “kewenangan tertentu dibidang lain yang ditetapkan sesuai dengan  peraturan perundang-undangan” harus dihapus/diamandir pada Pasal 4 ayat (1).

Menjadi Indonesia harus bermakna bagi Orang Asli Papua, seperti apa yang dikatakan oleh Profesor Thoby Mutis, agar jati diri Indonesia di Papua berhasil dalam rangka meningkatkan ketahanan nasional Bangsa Indonesia dan mengelimir isu-isu negatif dari oknum-oknum masyarakat internasional. (Penulis adalah mantan Dubes Italia dan Malta, mantan Menhub, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Menteri PAN-RB, mantan Gubernur Papua, dan pendiri Numberi Center).

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id