JAKARTA, REPORTER.ID – Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengungkapkan, berkembangnya wacana perubahan sistem pemilu 2024 dari yang semula terbuka menjadi tertutup, membuat publik bereaksi. Pasalnya dalam sistem pemilu tertutup, masyarakat tidak bisa mengetahui siapa figur yang akan menjadi perwakilannya di Parlemen.
“Jika perubahan sistem pemilu tersebut merupakan suatu fakta, hal itu merupakan sebuah kemunduran demokrasi,” kata Fahri lewat keterangan pers tertulisnya, Minggu (4/6/2023).
Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 Bidang Kesra tersebut menilai, dalam sistem demokrasi semakin terbuka suatu persoalan akan semakin baik bagi publik.
Dengan semakin terbuka, suatu negara dalam bentuk apapun, efeknya kepada negara itu akan bertambah baik.
“Bahwa sistem pemilu terbuka seperti saat ini merupakan sebuah ide atau gagasan yang lahir dari proses sejarah panjang. Sehingga perubahan sistem pemilu menjadi tertutup akan berdampak pada timbulnya persoalan lain di tengah publik,” terang Fahri lagi.
Menyadari adanya kekeliruan dalam melihat suatu persoalan, menurut Fahri merupakan solusi dari memperbaiki kualitas demokrasi. Sebab demokrasi yang hari ini terjadi, tidak lain karena belum sempurnanya peraturan yang digunakan sebagai penopang.
“Mengorbankan sistem terbuka itu bahaya betul, karena sistem terbuka itulah yang kita perjuangkan,” imbuh Fahri.
Disamping Itu, lanjut calon legislatif atau Caleg Partai Gelora dari daerah pemilihan (Dapil) NTB 1 Ini, adanya pertarungan secara politik antara sesama calon anggota parlemen juga menjadi persoalan tersendiri yang perlu dicarikan titik temu. Sebab dampak dari adanya pertarungan secara politis antara calon dengan calon lainnya bisa berujung pada pertarungan kekuatan modal.
“Nah, hal yang perlu dirubah dari pemilu bukanlah sistem pemilihannya, melainkan mekanisme pertarungannya. Dengan adanya peraturan berbeda yang mengikat masing-masing peserta pemilu, maka kualitas pemilihan Indonesia akan lebih baik. Jadi aturannya yang kita perbaiki supaya pertarungannya tidak liar dan menjadi pertarungan logistik,” saran Fahri.
Sementara Itu, guna menyeleksi kelayakan dan gagasan bagi kemajuan bangsa, Fahri juga menilai perlu dilakukan langkah-langkah pertarungan ide dari tingkat Parpol hingga Caleg. Ia berharap dengan adanya kontestasi pemikiran dan gagasan dari parpol hingga Caleg, akan terjaring wakil rakyat yang merepresentasikan kehendak rakyat.
“Dalam demokrasi yang kita anut itu adalah gagasan, rakyat itu membeli gagasan bukan popularitas, sebab popularitas itu racun dalam demokrasi,” tegas Fahri.
Namun hal tersebut akan menjadi berbeda jika seseorang yang berkualitas secara gagasan menjadi wakil ataupun pemimpin rakyat. Fahri memberikan ilustrasi bahwa seorang anggota parlemen yang baik tidak bedanya dengan seorang pemain bola profesional.
“Pemain bola dibeli bukan karena popularitasnya, tetapi karena kualitasnya yang kemudian melahirkan popularitas,” pungkas Fahri Hamzah. ***