Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi
Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi
Mantan Dubes RI Untuk Italia dan Malta
Pendahuluan
Tanah Papua memiliki 7 (tujuh) Wilayah Budaya atau Wilayah Adat dan 254 suku serta 300 jenis Bahasa yang berbeda satu sama lainnya maupun adat setempat yang beragam. (Verslag van de Militeire Exploratie van Nederlandsch Nieuw Guinea 1907-1915, Weltevreden, 1920:hal.220)
Pada tahun 1915 dari hasl perhitungan eksplorasi militer oleh Pemerintah Belanda dilaporkan bahwa jumlah masyarakat asli Papua adalah 127.550 jiwa. (Freddy Numberi, Papua Kerikil Dalam Sepatu, Menguak Tabir Sejarah Papua, Gibon Books, Jakarta, 2022: hal.45)
Namun memiliki satu kebiasaan adat secara turun temurun yang sama, yaitu tidak mengeksploitasi secara berlebihan sumber-sumber alam yang memberi nafkah bersama dalam kehidupan seharian mereka.
Contoh, masyarakat Papua yang hidup di pesisir pantai dan di atas laut tidak melakukan praktik-praktik secara irasional dalam hal penangkapan ikan dan menotok sagu yang mengarah kepada eksploitasi secara berlebihan sumber hidup bersama karena sadar bisa membawa bencana bagi mereka.
Adanya arus masuk manusia dari luar wilayah adat dengan segala macam teknologi dan pengaruh negatifnya menyebabkan terjadilah apa yang disebut The Tragedy of Commons. The Tragedy of Commons sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat adat yang memiliki akses terbuka sampai dengan wilayah-wilayah terpencil terutama di wilayah pesisir pantai, sehingga terjadi kerusakan yang parah dan bisa menjurus pada kepunahan.
Tindakan secara sepihak oleh masyarakat adat terhadap pengendalian diri mereka didasari oleh semangat adat tidaklah cukup untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang sudah parah ini. Apalagi di-back-up oleh pemerintah dalam hal ini oknum-oknum aparat keamanan. Contoh konkrit adalah PT. Freeport Indonesia di Timika dan British Petroleum di Bintuni.
Peraturan yang mendukung keberadaan Masyarakat Hukum Adat
a.Secara Universal
Secara universal deklarasi mengikat secara moral tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan harus dilindungi oleh undang-undang negara setempat. Dalam hal ini masyarakat adat Papua harus ada perlindungan hukum oleh negara Indonesia.
Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Masyarakat Adat, pada Pasal 34, tertulis: “Masyarakat adat berhak untuk memajukan, mengembangkan dan memelihara struktur kelembagaan dan adat, kerohanian, tradisi, prosedur, praktek mereka yang berbeda dan dalam kasus jika ada sistem peradilan mereka atau adat, sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional.
b.Secara Nasional
Didukung oleh UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat dan menyatakan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Di samping itu juga UU OTSUS No.21 Tahun 2001, Pasal 43 (1), (2) dan (3) sebagai turunan dari UUD 1945 menyatakan perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Pada UU OTSUS JILID II, Nomor 2 Tahun 2021 mengakomodir juga hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua.
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Tanah Papua dilindungi secara Universal oleh PBB demikian juga secara Nasional.
c.Hak Masyarakat Adat, meliputi;
1)Menguasai, mengatur, mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada didalamnya;
2)Menjalankan hukum adat dan kelembagaan adat;
3)Menjalankan dan mengembangkan tradisi, pengetahuan, identitas budaya dan Bahasa.
“Perampokan” sumber daya alam (SDA)
Presiden Soekarno pada tanggal 24 September 1960, secara resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (dikenal dengan sebutan UUPA 1960). Awalnya undang-undang ini dimaknai sebagai kulminasi usaha untuk meruntuhkan dominasi modal asing. Setelah Soekarno digulingkan, kemudian Presiden Soeharto mengambil alih dan menggantikan orientasi politik agraria dan pembangunan secara drastis, menjadi ideologi yang pro-modal asing.
Soeharto memenangkan posisi Presiden RI, sangat penting bagi masyarakat awam di Indonesia bahwa oknum pejabat pemerintah Amerika Serikat (AS) menekankan pentingnya mengembalikan kepercayaan asing kepada Indonesia, terutama investasi asing.
Freeport Sulphur, merupakan perusahaan tambang AS yang berkedudukan di New Orleans, menjadi pilihan pemerintah AS untuk menguji komitmen Indonesia.
Pemerintah Indonesia berhasil lulus dari ujian dan sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua 1969 untuk menentukan status Papua, kontrak karya pertama ditandatangani pada tahun 1967.
Wilayah pertambangan seluas 200.000 (dua ratus ribu) hektar tanah adat diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada Freeport Sulphur. Wilayah pertambangan ini mencakup wilayah adat, tempat hidup suku-suku asli Papua, seperti Amungme, Komoro dan yang lainnya. Dengan demikian pondasi kebijakan, perundang-undangan dan aransemen kelembagaan untuk investasi modal asing telah mantap diletakkan di Tanah Papua sejak tahun 1967, sebelum Papua secara de jure menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
Negara-negara multilateral pembiayaan hutang atau bantuan modal asing untuk pembangunan berhasil meyakinkan rezim Soeharto untuk menjadikan Indonesia sangat terbuka bagi perusahaan-perusahaan transnasional yang bekerja sebagai akumulasi modal skala dunia ikut bermain di Indonesia.
“Perampokan” Wilayah Adat
Tahun 1967 adalah awal kehancuran masyarakat Papua yang terus berlanjut hingga hari ini. Kehancuran itu berawal ketika pemerintah Indonesia dengan kekerasan memberikan konsesi kepada PT Freeport Indonesia (PTFI), anak perusahaan Freeport Sulphur, untuk melakukan penambangan tembaga dan emas di Timika, Papua. Konsesi politik yang dirumuskan oleh pemerintah pusat dibantu dengan oknum-oknum pihak AS bersama PTFI telah memberikan ijin eksploitasi tambang itu selama kurang lebih 39 tahun dan ada klausula khusus yang memuat perpanjangannya. Sangat ironis !!!
Sayangnya pemerintah pusat tidak pernah berkonsultasi dengan masyarakat hukum adat setempat dalam proses pemberian konsesi politik ini. Padahal Masyarakat Hukum Adat mendapat perlindungan hukum secara Universal melalui PBB dan Nasional melalui UUD 1945. Perusahaan tambang milik AS inilah yang mengarahkan kebijakan pertambangan di Indonesia, karena PTFI adalah perusahaan “paling tua” yang beroperasi di Indonesia.
Kontrak Karya Pertama PTFI sudah ditetapkan sebelum Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan di Indonesia. Ada banyak catatan hitam berupa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi terhadap masyarakat adat sekitar wilayah tambang ini. Kekerasan, intimidasi, pembunuhan dan konflik kepentingan antara aparat keamanan dan masyarakat adat setempat menjadi warna keseharian di wilayah konsesi tersebut.
Menurut Prof. Denise Leith (2003) ada lima pelanggaran utama yang dilakukan PTFI pada Kawasan Konsesi Pertambangan : (1) Pelanggaran HAM; (2) Pemusnahan kultur orang Papua; (3) Freeport beroperasi dengan standar ganda; (4) Eksplorasi sumber daya mineral secara ilegal; (5) Di samping kerusakan lingkungan fisik yang parah di daratan, juga terjadi kerusakan lingkungan laut akibat pembuangan limbah tambang (tailing) pada sungai-sungai yang mengalir ke laut Arafura. (Denise Leith, The Politics Of Power, Freeport in Suharto’s Indonesia, University of Hawai’i Press, 2003:hal.7-9). Sangat ironis, meskipun ada pelanggaran-pelanggaran tersebut, pemerintah masih terus saja memperpanjang kontrak PT. Freeport Indonesia sampai dengan tahun 2041.
Penutup
Seharusnya pemerintah melindungi hak-hak masyarakat hukum adat di Papua, karena itu adalah amanah, secara universal oleh PBB, secara nasional melalui UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) sebagai salah satu landasan konstitusional bagi masyarakat adat.
Brundlandt Commission berpendapat bahwa : “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”. (Freddy Numberi, Quo Vadis Papua, Jakarta, 2013:hal.224)
Mama Yosepha Alomang, seorang perempuan masyarakat adat Suku Amungme mengatakan : “………Saya seorang perempuan, orang Freeport lahir dari perempuan. Dan saya tidak takut kepada Freeport, saya tidak takut kepada tentara atau negara, mereka juga lahir dari perempuan saja mo! Saya hanya takut sama Tuhan……….”
(Koalisi Untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran, Menemukan Kembali Indonesia, Jakarta, 2014 :hal.159) (Penulis adalah tokoh militer, mantan Menhub, mantan Menpan-RB, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, mantan Dubes RI untuk Italia dan Malta, mantan Gubernur Papua, dan Pendiri Numberi Center).