GONJANG-GANJING PERKAWINAN BEDA AGAMA

oleh
oleh

Gedung Mahkah Agung RI (net)

 

Oleh B. Kustopo

Pengamat Hukum

 

Banyak orang tersentak, bagaikan disengat kalajengking ketika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hakim tunggal Arlandi Triyoga mengabulkan permohonan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN Jkt Sel.

Kenapa tersentak kaget ? Karena hakim tersebut mengabulkan permohonan pemohon yang melangsungkan perkawinan beda agama, dengan amar putusan antara lain mengabulkan permohonan para pemohon. Memberikan izin kepada para pemohon untuk mendaftarkan perkawinannya di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan.

Bahkan sampai salah satu Pimpinan MPR menemui Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin, SH, MH agar MA melarang pengadilan mengabulkan perkawinan beda agama.

Apakah ada yang salah? Sebagai negara hukum, pasti menganggap bahwa penetapan hakim itu tidak bersalah, kecuali dengan upaya hukum dan diputus sebaliknya oleh badan peradilan di atasnya dengan suatu pertimbangan hukum. Juga tentunya, apakah dalam kasus ini akan ada yang upaya hukum? Sepertinya tidak mungkin, karena ini adalah permohonan (yurisdiksi voluntair) dan dikabulkan. Tentu para pemohon (suami dan isteri) tidak akan lakukan upaya hukum karena keinginannya tercapai.

Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Perkawinan di luar wilayah Republik Indonedia tersebut sah dan diakui berdasarkan hukum Indonesia, maka surat bukti perkawinan di luar negeri harus didaftarkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tempat tinggal suami isteri”.

Berdasarkan pasal 37 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, mendaftarkan  Perkawinan luar negeri di Indonesia dilakukan selambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tiba di Indonesia ( bukti dengan cap Imigrasi).

Berkas yang diperlukan untuk pencatatan meliputi, 1. Akta Perkawinan dari negara asal yg sudah diterjemahkan kedalam bahada Indonesia dan telah disuperlegalisasi oleh perwakilan Republik Indonesia setempat. 2. Surat keterangan menikah dari KBRI. 3. Salinan akte lahir suami isteri. 4. Salinan pasport suami. 5. Pas photo.ukuran 4 X 6 berdampingan.

Dengan demikian, kalau negara yang melangsungkan perkawinan di luar negeri tersebut membolehkan perkawinan beda agama, dan orang yang kawin pulang ke Indonesia untuk mencatatkan di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil dengan syarat-syarat tersebut diatas dipenuhi, maka Dinas Dukcapil harus menerima dan mencatat.

Yang menjadi pertanyaan apakah seluruh penduduk Indonesia ini mampu untuk melangsungkan perkawinan di luar negeri. Dengan bertemunya Wakil Ketua MPR tersebut lalu timbul Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023, yang antara lain melarang hakim tidak  mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antara umat berbeda agama dan kepercayaan.

Padahal menurut penjelasan  pasal 35 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama.

Lalu tinggi mana gradasinya antara Undang-undang dengan Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut? Dengan dicatatnya perkawinan seseorang, maka status hukum keluarga mereka menjadi jelas. Hak dan kewajiban suami ke isteri dan kepada anak-anaknya menjadi jelas pula. Hal ini nantinya akan menyangkut ke hukum waris yang akan timbul dikemudian hari.

Hukum untuk siapa? Kalau perkawinan beda agama yang dilangsungkan di dalam negeri dilarang dicatatkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, tetapi jika dilaksanakan di luar negeri dan setelah pulang dicatatkan, maka harus diterima oleh kantor dinas kependudukan dan catatan sipil diterima, apakah seluruh rakyat Indonesia  mampu untuk pergi keluar negeri dulu untuk melangsungkan perkawinannya ?

Dengan mempertimbangkan azas kemanfaatan, maka sebaiknya Pengadilan tetap diperbolehkan untuk mengabukan permohonan  pencatatan nikah, dan menganggap bahwa mereka melangsungkan perkawinan dengan mengabaikan aturan agamanya, sehingga status hukum perkawinan, hukum keluarga dan hukum waris menhadi jelas. (Penulis, penagamat hukum yang tinggal di Jakarta)