Bamsoet Dorong MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara Sebagai Jalan Keluar Jika Terjadi Kedaruratan

oleh
oleh

Ketua MPR Bambang Soesatyo (Ist)

JAKARTA, REPORTER.ID –  Ketua MPR merangkap Wakil Ketua Umum FKPPI Bambang Soesatyo alias Bamsoet menceriterakan, dalam sarasehan Kebangsaan bertajuk Mewujudkan UUD Berdasar Pancasila yang digagas Pusat Studi Pancasila (PSP) di UGM Yogyakarta, mengemuka pandangan bahwa UUD 1945 yang mengalami empat kali amandemen, tidak lagi berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Karena ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antar pasal dan ayat. Bahkan Guru Besar Ilmu Filsafat UGM Prof. Kaelan mengungkapkan ada sekitar 97 persen pasal yang diubah dalam amandemen tersebut.

Disebutkan, empat kali amandemen juga menutup ‘pintu darurat’ dalam konstitusi. Akibatnya, jika ada kedaruratan konstitusi, bangsa Indonesia tidak bisa melakukan apapun. Misalnya, tidak ada ketentuan dalam konstitusi tentang tata cara pengisian jabatan publik yang pengisian jabatannya dilakukan melalui Pemilu. Seperti presiden dan wakil presiden, anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI, hingga DPRD Kabupaten/Kota, apabila Pemilu tidak bisa dilaksanakan karena gempa bumi megathrust, perang, kerusuhan massal, maupun karena pandemi.

“Idealnya memang MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara, sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 RI, Ibu Megawati Soekarnoputri. Sebelum amandemen keempat konstitusi, MPR RI bisa mengeluarkan Ketetapan (TAP) yang menjadi solusi dalam mengatasi berbagai persoalan kedaruratan negara. Seperti pada situasi kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan Kahar Fiskal dalam skala besar,” ujar Bamsoet dalam Dialog Kebangsaan memperingati HUT ke-45 FKPPI, di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (12/9).

Wakil Ketua Umum Golkar ini menjelaskan, begitupun dengan pemilihan langsung yang dihasilkan melalui empat kali amandemen konstitusi. Ternyata juga menyisakan berbagai persoalan moral hazard seperti money politic atau yang dikenal dengan demokrasi NPWP (Nomor Piro Wani Piro), menyebabkan para caleg membutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit, sehingga seringkali terikat pada sponsor dan kekuatan oligarki.

Akibatnya, negara terjebak pada kekuasaan oligarki, praktik penyelenggaraan lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama. Pada saat menjabat Ketua DPR tahun 2018 lalu, Bamsoet telah menawarkan jalan tengah menggunakan sistem Pemilu campuran terbuka dan tertutup. Sisatem itu untuk mewujudkan Pemilu demokratis sesuai semangat Pancasila, yang tetap menguatkan fungsi partai politik sekaligus membuat caleg dekat dengan rakyat.

“Sebagaimana dilakukan di Jerman, rakyat tetap bisa memilih wakilnya secara langsung, serta partai politik yang memenangkan pemilihan juga bisa menempatkan pilihannya di parlemen. Sehingga tokoh-tokoh seperti ilmuwan hingga budayawan tidak perlu ikut pemilihan, cukup diajukan oleh partai yang memenangkan pemilihan,” jelas Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI ini menerangkan, tantangan kebangsaan lainnya yakni terkait kontinuitas pembangunan. Empat kali amandemen telah menghilangkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Akibatnya, kini pola pembangunan terkesan sporadis. Tidak ada kesinambungan dari satu periode pemerintahan ke penggantinya, serta tidak ada keselarasan antara pembangunan pusat dan daerah, maupun antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.

‘’Di sinilah pentingnya kehadiran sebuah peta jalan pembangunan yang dirumuskan dalam produk hukum yang kokoh di atas Undang-Undang. Sehingga tidak mudah ditorpedo oleh Perppu atau diganggu gugat melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Peta jalan inilah yang saat ini sedang diupayakan oleh MPR, dengan menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN),’’ ujarnya.

“PPHN sangat penting untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional yang tidak tersandera oleh periodisasi pemerintahan, Mewujudkan keselarasan dan sinergi pembangunan pusat dan daerah, serta menghindarkan potensi pemborosan atau inefisiensi pengelolaan uang rakyat yang disebabkan adanya perbedaan orientasi dan prioritas pembangunan,” pungkas Bamsoet. (HPS)