Waketum FKPPI Indra Bambang Utoyo (Ist)
JAKARTA, REPORTER.ID – Para pembicara dalam Dialog Kebangsaan memperingati HUT ke-45 FKPPI menemukan kesepahaman atau sepakat kembali ke fitrah cita negara Pancasila dengan jalan kembali ke UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk kemudian dilakukan penyempurnaan secara bertahap melalui addendum. Demikian kesimpulan dalam Dialog Kebangsaan yang dimoderatori Wakil Ketua Umum FKPPI Indra Bambang Utoyo di Lagoon Ballroom Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (12/9).
Adapun para nara sumber dalam dialog tersebut antara lain Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, Ketua Umum FKPPI Pontjo Sutowo, Ketua Dewan Pakar FKPPI Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Bagir Manan, Guru Besar Ekonomi UI Prof. Sri Edi Swasono, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Prof. Bambang Wibawarta, peneliti utama politik BRIN Prof. Siti Zuhro, Cendekiawan Yudi Latif, serta Wakil Ketua Umum FKPPI Indra Bambang Utoyo.
Indra Utoyo lalu membeberkan kesimpulan dalam dialog tersebut secara utuh. Disebutkan, keberlangsungan dan kejayaan suatu negara-bangsa ditentukan oleh kesanggupannya merawat akar tradisi baik disertai inovasi yang tepat dan terukur dengan kesanggupan memberikan respons yang ampuh terhadap tantangan yang dihadapinya.
Daya respons yang ampuh itu memerlukan perpaduan tiga hal. Pertama, kekuatan etos dan etika kewargaan yang dapat mengokohkan basis karakter, daya juang dan kohesi sosial (ranah tata nilai mental-kultural). Kedua, tata kelola negara yang dapat menjamin tegaknya negara hukum, negara persatuan, dan negara keadilan (ranah institusional-politikal). Ketiga, tata sejahtera perekomian yang berkeadilan dan berkemakmuran–melalui mekanisme redistributif atas harta, kesempatan dan privilese sosial disertai penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dapat meningkatkan nilai tambah atas karunia sumberdaya terberikan (ranah material-teknologikal).
Setelah 25 tahun reformasi, bangsa Indonesia telah meraih berbagai kemajuan inkremental, namun kemajuan yang dicapai itu berdiri di atas landasan yang goyah. Pada ranah tata nilai mental-kultural, politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Politik dan etik terpisah seperti minyak dan air.
‘’Dengan meluluhnya dimensi etik, Indonesia sebagai bangsa majemuk kehilangan basis dan simpul rasa saling percaya. Tanpa basis integritas, cita persatuan menjelma jadi persatean,’’ ujar Indra Utoyo.
Disebutkan, Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan dirayakan dengan surplus ritual dan ucapan, namun miskin penghayatan dan pengamalan. Dalam realitasnya, Pancasila tak lagi dijunjung tinggi sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada ranah tata kelola politik kenegaraan, kebebasan yang dimungkinkan demokrasi harus dibayar mahal dengan robohnya rumah tradisi kekeluargaan. Desain demokrasi dan kelembagaan negara menyimpang dari prinsip negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan seperti dikehendaki oleh cita negara Pancasila.
Sistem demokrasi prosedural yang menekankan keterpilihan individu dalam sistem pemilu yang padat modal telah merusak prinsip-prinsip kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan, yang melahirkan demokrasi degeneratif di bawah tirani oligarki.
‘’Di bawah tirani oligarki, pilihan kebijakan dan tindakan pemerintahan terdistorsikan komitmennya untuk melaksanakan misi negara: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan,’’ tuturnya.
Sedangkan visi dan komitmen politik terjebak dalam demokrasi prosedural dengan tekanan orientasi jangka pendek dengan muara arus kebangsaan dan kenegaran yang tak menentu. Pilihan dan program pembangunan tercegat dalam kubangan kedaruratan lima tahunan, yang harus dibayar mahal dengan kerusakan berkelanjutan. Setiap percobaan perubahan kembali tergulung oleh tekanan kedaruratan.
Dikatakan, kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dijalani secara kontradiktif. Tren perkembangan global menuju otomatisasi, ekonomi pengetahuan, perampingan pemerintahan, perubahan iklim, penggunaan energi hijau, penyebaran pandemi, dan perluasan kesenjangan sosial, memerlukan perencanaan jangka panjang berkesinambungan untuk meresponnya. Namun, orientasi politik dan visi waktu politik kita justru tertawan oleh short-termism.
Pada ranah tata sejahtera, demokrasi politik tak berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi. Kesenjangan sosial makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi harta, kesempatan dan privilese sosial. Selain itu, Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah justru tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat.
Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus diakhiri. Terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita. ‘’Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan dan defisit neraca perdagangan, tak dapat mengembangkan kemakmuran secara luas dan inklusif,’’ ujar Indra Utoyo lagi.
‘’Kita harus mengembangkan kemandirian dengan jiwa merdeka. Harus dipastikan bahwa yang berkembang di negeri ini bukan sekadar pembangunan di Indonesia, tetapi pembangunan Indonesia: pembangun dari, oleh, untuk seluruh rakyat indonesia dan kemudian untuk dunia,, imbuhnya.
Menurut Indra, dengan memperhatikan berbagai distorsi dan destruksi dalam tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera dalam rentang waktu 25 tahun Orde Reformasi, bisa ditarik kesimpulan bahwa demokrasi dan tata kelola negara yang berkembang tidak berada di jalur yang tepat. Distorsi dan degenerasi demokrasi bukan hanya mencerminkan kegagalan perseorangan, tapi kegagalan sistemik.
Oleh karena itu, dalam forum ulang FKPPI ke-45 ini, para pembicara dengan redaksi yang berbeda, dalam arus besarnya menemukan kesepahaman dalam ajakan untuk kembali ke fitrah cita negara Pancasila dengan jalan kembali ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk dilakukan penyempurnaan secara bertahap dengan cara addendum. (HPS)