JAKARTA, REPORTER.ID – DPR RI telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri). Aturan itu bakal menjadi perubahan ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Salah satu usulan dalam draf yang telah disepakati sebagai inisiatif DPR RI itu adalah masa pensiun perwira tinggi Polri.
Berdasarkan Pasal 30 Ayat 5 RUU Polri disebutkan bahwa perpanjangan usia pensiun perwira tinggi bintang empat ditetapkan dengan keputusan presiden dan diberitahukan ke DPR RI.
Sebelumnya, dalam Pasal 30 Ayat 2 disampaikan bahwa ketentuan pensiun anggota Polri adalah:
a. 58 tahun bagi bintara dan tamtama
b. 60 tahun bagi perwira
c. 65 tahun bagi pejabat fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi jabatan tersebut.
Kemudian, dalam Pasal 30 Ayat 4 disebutkan bahwa perwira dengan keahlian khusus dan sangat dibutuhkan oleh kepolisian usia pensiunnya bisa diperpanjang 2 tahun.
Menyoroti perpanjangan masa dinas anggota Polri yang ada dalam poin RUU tersebut, Anggota Komisi III DPR RI Aboe Bakar Al Habsyi dihubungi wartawan, Kamis (30/5/2024) berharap jangan sampai perpanjangan usia pensiun dapat mengganggu, bahkan merusak merit sistem yang ada di Polri.
Apalagi menurut dia, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah menyampaikan ada sekitar 700 personel dengan pangkat Komisaris Besar (Kombes) dan ada sekitar 100 personel dengan pangkat atau Brigadir Jenderal, yang memiliki status non job.
Situasi demikian, menurut pria yang akrab disapa Habib Aboe itu, harus juga dijadikan sebagai salah satu analisis untuk memutuskan batas usia pensiun pada RUU Polri.
“Kita menginginkan adanya revisi UU Polri ini memiliki tujuan utama untuk menguatkan struktur kelembagaan Polri, sehingga akan mampu menaikkan layanan prima kepada masyarakat,” kata anggota Fraksi PKS DPR RI dari Dapil Kalimantan Selatan (Kalsel) I tersebut.
Nomenklatur Restorative Justice Layak Masuk RUU Polri
Habib Aboe juga berpendapat bahwa nomenklatur tentang restorative justice perlu dimasukkan dalam revisi undang-undang (UU) tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai salah satu kewenangan dalam proses penyelesaian persoalan pidana.
Dia menjelaskan restorative justice adalah pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan menggelar mediasi di antara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum. Polri, menurut dia, sudah melakukan hal itu namun ini belum diatur dalam UU Polri.
“Padahal di lapangan prosedur ini sudah dijalankan. Selama ini digunakan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021, sebagai dasar hukum pelaksanaan restorative justice,” kata Habib Aboe yang juga mejabat Sekjen DPP PKS tersebut. ***