PUTUSAN MKD DPR DINILAI SARAT MUATAN POLITIK

oleh
oleh

Ruang Rapat MKD DPR (net)

JAKARTA, REPORTER.ID — Ketua Umum Persatuan Putra Putri Angkatan Udara (PPP AU) Fastabiqul Khairat menilai, putusan MKD DPR yang menyebut Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) melanggar kode etik sangat tidak masuk akal dan sarat dengan muatan politik. MKD mengabaikan fakta dan bukti di lapangan terkait pernyataan Bamsoet yang termuat di media massa.

“Berdasarkan berita yang tersebar di berbagai media massa dan yang saya saksikan, apa yang sebenarnya disampaikan Pak Bamsoet sangat berbeda dengan yang dilaporkan atau yang dituduhkan pelapor. Kan Pak Bamsoet menyatakan, kalau seluruh partai politik telah setuju melakukan amandemen, bukan seluruh partai politik telah setuju melakukan amandemen, seperti yang dilaporkan ke MKD. Statemen Pak Bamsoet kan sangat jelas dan clear,” ujar Fastabiqul di Jakarta, Senin (24/6).

Seperti diberitakan sebelumnya, MKD DPR akhirnya memutuskan Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet terbukti melanggar kode etik anggota DPR. Bamsoet dianggap melanggar kode etik setelah mengeklaim semua partai politik (parpol) di parlemen menyepakati wacana amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945. “MKD memutuskan dan mengadili sebagai berikut. Pertama, menyatakan Teradu terbukti melanggar. Kedua, memberikan sanksi kepada Teradu berupa sanksi ringan dengan teguran tertulis. “Ketiga, kepada Teradu agar tidak mengulanginya dan lebih berhati-hati dalam bersikap,” kata Ketua MKD Adang Daradjatun saat membacakan putusan sidang, pada Senin (24/6).

Lebih jauh Fastabiqul mempertanyakan sikap MKD yang langsung memvonis Ketua MPR melanggar kode etik, sementara pemanggilan terhadap Bambang Soesatyo baru sekali dilakukan. Padahal, sesuai kesepakatan sidang MKD tanggal 20 Juni 2024, MKD akan lakukan pemanggilan kedua kepada Bambang Soesatyo. “Menurut tata beracara MKD yang diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 2 tahun 2015 pasal 24 ayat 5 disebutkan, jika Teradu tidak memenuhi panggilan MKD sebanyak 3 (tiga) kali tanpa alasan yang sah, MKD melakukan rapat untuk mengambil keputusan tanpa kehadiran Teradu.” Pak Bamsoet kan baru sekali dipanggil dan bersurat ke MKD tidak bisa hadir karena ada agenda kegiatan lain yang dijadwalkan sebelumnya. Seharusnya, MKD melayangkan surat panggilan kedua, bukannya langsung menjatuhkan vonis,” kata Fastabiqul.

Berdasarkan tata beracara MKD, pemanggilan pertama Bamsoet juga telah menyalahi aturan. Peraturan DPR RI Nomor 2 tahun 2015 pasal 23 ayat 1 menyebutkan MKD menyampaikan surat panggilan sidang kepada Teradu, baik dalam Perkara Pengaduan maupun Perkara Tanpa Pengaduan, dengan tembusan kepada pimpinan fraksi Teradu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Sidang MKD. Sementara, Bamsoet baru menerima surat panggilan MKD pada tanggal 19 Juni 2024, untuk jadwal sidang MKD tanggal 20 Juni 2024.

“Dari sini saja kita lihat MKD melanggar Peraturan DPR terkait pemanggilan pertama Ketua MPR. Seharusnya, jika surat pemanggilan diberikan tanggal 19 Juni, sidang dilaksanakan paling cepat tanggal 26 Juni. Ini surat diberikan satu hari sebelum sidang. Sangat terlihat MKD ngotot dan memaksakan agar aduan terhadap Ketua MPR bisa segera disidang, sekalipun melanggar Peraturan DPR Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR. Terlihat keputusan MKD tersebut sangat sarat dengan kepentingan politik tertentu,” tegas Fastabiqul.

Dipaksakan

Ketua Forum Komunikasi Putra Putri Angkatan Laut (FKPPAL) Ariadi juga menilai, putusan MKD DPR yang menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis kepada Ketua MPR Basmbang Soesatyo sangat aneh, janggal dan sangat dipaksakan. Bahkan, MKD melanggar Peraturan DPR RI Nomer 2 tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI.

“Putusan MKD DPR yang memutuskan Ketua MPR dinyatakan melanggar kode etik dan dijatuhkan sanksi teguran tertulis terkesan dipaksakan. Putusan tersebut dibuat sama sekali tidak didasarkan bukti dan fakta yang ada dimana Ketua MPR tidak pernah menyatakan “seluruh partai politik telah setuju melakukan amandemen UUD 1945” seperti yang dituduhkan pelapor. Tetapi Ketua MPR menyatakan “kalau seluruh partai politik telah setuju melakukan amandemen UUD NRI 1945. Jadi ada kata ‘kalau/jika’,” ujar Ariadi di Jakarta, Senin (24/6).

Ariadi menjelaskan berdasarkan Peraturan DPR RI Nomer 2 tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI pasal 24 ayat 5 disebutkan “Jika Teradu tidak memenuhi panggilan MKD sebanyak 3 (tiga) kali tanpa alasan yang sah, MKD melakukan rapat untuk mengambil keputusan tanpa kehadiran Teradu”. Sementara Bamsoet baru sekali dilakukan pemanggilan oleh MKD.

“Ketua MPR baru sekali dipanggil oleh MKD pada tanggal 20 Juni 2024 melalui surat panggilan MKD tertanggal 19 Juni 2024. Ketua MPR tidak hadir karena sudah ada kegiatan lain yang direncanakan sebelumnya. ketua MPR juga sudah mengirimkan surat pemberitahuan ketidakhadiran ke MKD. Nah, baru sekali dipanggil sudah langsung diputuskan bersalah. Ada apa sampai MKD harus terburu-buru memutuskan hal tersebut?,” tanya Ariadi.

Ariadi menambahkan secara substansi undang-undang, MKD juga tidak bisa menyidangkan Ketua MPR. Sesuai pasal 81 Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3), bahwa kewenangan MKD dibatasi hanya menyangkut kewajiban pelaksanaan tugas sebagai anggota DPR. Meskipun MPR terdiri dari unsur anggota DPR RI dan anggota DPD RI, MKD tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa pimpinan MPR.

“Artinya, MKD DPR tidak dapat memeriksa pimpinan MPR dan anggota MPR saat mewakili lembaga dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pak Bambang Soesatyo jelas saat mengatakan “kalau seluruh partai politik setuju melakukan amandemen UUD NRI 1945″, dalam kapasitas sebagai Ketua MPR. Sehingga, MKD tidak tepat memeriksa apalagi menjatuhkan sanksi kepada Ketua MPR. Secara legalitas hukum, putusan MKD batal demi hukum dan tidak berlaku,” imbuh Ariadi. (HPS)