MENGUSUT PROBLEMATIKA SISTEM PERADILAN : URGENSI PENGAWASAN TERHADAP SISTEM PERADILAN DALAM RANGKA TRANSFORMASI INDEPENDENSI HAKIM YANG TERPERCAYA (Trustworthy Judicial Independence)

oleh
oleh

DR. I Wayan Sudirta, S.H, M.H. (net)

 

Oleh : DR. I Wayan Sudirta, S.H, M.H.

(Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan)

 

Beberapa hari ini, masyarakat dihebohkan dengan salah satu berita yang mencengangkan di bidang hukum dan kriminal yang telah tersebar di berbagai media. Pemberitaan tersebut terkait dengan Kejaksaan Agung (Tindak Pidana Khusus) yang melakukan penangkapan terhadap salah satu mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yakni Zaroh Ricar (ZR) terkait dengan pengurusan kasus di MA oleh seorang pengacara (LR) dalam kasus meninggalnyaa Alm. Dini Sera Afrianti oleh terpidana Ronald Tannur.

Belakangan diketahui, putusan MA justru mengabulkan kasasi Jaksa, sehingga Ronald Tannur harus menjalani hukuman pidana penjara lima tahun. Namun, hal ini menimbulkan dugaan bahwa suap atau gratifikasi tersebut untuk membuat putusan dengan pidana seminimal mungkin terhadap Ronald Tannur.

ZR juga diduga menerima gratifikasi atas pengurusan perkara-perkara, terutama ketika ZR menjabat sebagai Kapusdiklat MA. Berita ini sangat menghebohkan karena Kejaksaan Agung kemudian melakukan update informasi bahwa Kejaksaan Agung telah menggeledah rumah ZR di Senayan pada 24 Oktober 2024 dan hotel tempat ZR menginap (Bali). Kejaksaan Agung juga menyita sejumlah uang senilai hampir 1 Triliun Rupiah (kurang lebih Rp. 920 Miliar) dan emas (51 kg).[1]

Kejaksaan Agung melakukan konferensi pers dan memamerkan uang-uang hasil sita tersebut, yang dipecah dalam beberapa mata uang asing. Kejaksaan Agung juga menyampaikan bahwa penangkapan ini dimulai dari dugaan suap untuk pengurusan kasasi di MA dalam kasus Ronald J. Tannur yang divonis bebas di Pengadilan Negeri Surabaya beberapa waktu lalu.

Kasus yang menyebabkan meninggalnya Alm. Dini Sera Afrianti ini sebelumnya menghebohkan masyarakat, karena terdakwa divonis bebas. Pada saat itu Komisi III DPR RI juga memberi perhatian setelah keluarga korban (alm Dini Sera Afrianti) mengadu pada Komisi III DPR RI.

Alhasil, Komisi III DPR merekomendasikan salah satunya agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan dan pengawasan kepada tiga hakim yang menjadi majelis hakim di kasus tersebut. Dengan terbongkarnya kasus ini, maka hakim-hakim tersebut kembali diperiksa oleh Kejaksaan Agung dalam dugaan keterlibatannya dengan gratifikasi tersebut.

Komisi III DPR menekankan agar permasalahan ini diusut karena menciderai kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan yang independen. Kasus ini bahkan juga membuat Komisi Yudisial selanjutnya membuat rekomendasi kepada MA untuk memeriksa dan memberhentikan majelis hakim yang bersangkutan.

Rekomendasi yang sebenarnya masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli dan pemerhati hukum. Namun belum selesai pembahasan atau diskursus mengenai hal itu, Kejaksaan Agung memberi berita besar tentang penangkapan yang terbilang “kakap”. Hal ini tentu sangat mengundang perhatian masyarakat, karena selain putusan yang dinilai kontroversial, kini terungkap pula dugaan suap dibaliknya.

Keyakinan masyarakat seolah semakin terkonfirmasi bahwa masih ada keterlibatan mafia hukum dan peradilan pada lembaga peradilan maupun pejabat dan hakim. Citra peradilan kembali tercoreng dengan terungkapnya penyalahgunaan kewenangan dan sejumlah oknum hakim, apalagi tentunya keterlibatan dalam tindak pidana korupsi.

Kasus tindak pidana korupsi pada hakim juga bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya beberapa kasus yang melibatkan hakim juga sempat menghebohkan masyarakat dan pemerhati hukum. ICW bahkan mencatat setidaknya telah ada 21 orang hakim dan beberapa aparat pengadilan yang telah terjerat kasus korupsi.

Seperti misalnya, kasus Hakim DS yang menangani perkara walikota Kediri, Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap seorang Hakim Agung (Sudrajad Dimyati) dan 10 orang lainnya, kasus yang melibatkan Gazalba Saleh (belakangan di vonis bebas), kasus suap Ketua Pengadilan Tinggi Manado, dan juga kasus yang melibatkan mantan Sekretaris MA, Nurhadi dan beberapa hakim dan panitera lainnya.

Sedangkan di lingkungan Mahkamah Konstitusi, KPK juga pernah menjerat Hakim Konstitusi seperti Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Aparat penegak hukum juga pernah menangkap dan menjerat hakim pengadilan ad hoc tipikor, yang notabene juga melakukan penanganan perkara tindak pidana korupsi.[2]

Independensi Hakim VS Integritas-Akuntabilitas Hakim

Masyarakat kini mulai menakar tentang sifat kemandirian dan kemerdekaan hakim yang telah dijamin dalam ketentuan, yakni Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal ini tentu oleh publik direfleksikan dengan output dan integritas atau akuntabilitas hakim. Citra lembaga peradilan dan sistem peradilan dan penegakan hukum mulai diragukan.

Dari sejumlah survei yang pernah dipublikasikan, dapat dikatakan secara umum bahwa tingkat kepercayaan atau kepuasan masyarakat pada sistem peradilan atau penegakan hukum relatif mengalami stagnasi. Melihat dari salah satu contoh rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) misalnya di tahun 2023 lalu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum masih cukup tinggi, terutama terhadap lembaga peradilan (71 persen).

Angka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dalam pemberantasan korupsi juga dinilai masih baik atau aman (51 persen). Ada kecenderungan peningkatan dalam tren kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum dan peradilan, terutama Kejaksaan.[3] Hal ini tentu tidak lepas juga dari peningkatan layanan di lingkungan peradilan yang semakin cepat dan transparan, khususnya melalui digitalisasi, seperti e-court dan database Direktori Putusan di website Mahkamah Agung.

Terlepas dari berbagai kasus yang menimpa sejumlah oknum hakim dan aparat pengadilan, tingkat kepercayaan masyarakat sebenarnya sudah cukup baik kepada sistem dan lembaga peradilan. Dalam hal ini masih banyak hakim dan institusi peradilan yang dipercaya oleh masyarakat, masih memegang teguh integritas dan profesionalitasnya.

Namun dalam rangka evaluasi, tentu menarik bagi kita para pemerhati hukum, apa yang sebenarnya menjadi kunci permasalahan (key area) dari eksistensi mafia hukum dan peradilan ini.

Kita mengetahui bersama bahwa Komisi III DPR RI, khususnya pada periode 2009-2014 lalu pernah membentuk Panitia Kerja Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan bersamaan dengan Satuan Tugas (Satgas) Mafia Hukum yang dibentuk oleh Pemerintah.

Namun operasi khusus tersebut nampaknya belum mampu mencegah dan memberantas mafia hukum dan peradilan secara keseluruhan. Tantangan pada saat ini tentu sedikit berbeda dengan yang lalu, walaupun beberapa akar masalah masih saja terjadi. Beberapa permasalahan atau tantangan tersebut antara lain :

1.Pertama, masih kentalnya budaya korupsi di sistem hukum dan peradilan. Kita tentu ingat betapa mirisnya kesejahteraan hakim (gaji dan tunjangan) yang dirasa kurang memadai. Para hakim yang tergabung dalam solidaritas hakim datang kepada Komisi 3 DPR untuk memperjuangkan nasibnya.

Beruntung, mereka pada saat itu mendapat jawaban dari Presiden terpilih yang kini telah dilantik menjadi Presiden RI. Dampak secara sosial-ekonomi inilah yang mempengaruhi budaya korupsi dan gratifikasi masih seolah merupakan hal yang dianggap wajar.

2.Hal kedua adalah masih belum memadainya sistem pengawasan yang ada. Pada saat ini, pengawasan telah diatur dilakukan baik oleh eksternal (KY) maupun MA sendiri (internal). Namun ternyata pengawasan ini masih belum memberi efek cegah atau jera (prevention and deterrence) pada praktik suap dan pelanggaran etik hakim.

Sistem pengawasan melekat (seperti evaluasi 360 dalam reformasi birokrasi kepegawaian) belum sepenuhnya dilaksanakan secara efektif dan konsisten. Mekanisme pengawasan yang ada masih belum memadai dan kurang didukung dengan sumber daya yang memadai. Sistem aduan juga tidak melindungi para pengadu yang notabene kebanyakan adalah para pegawai di lembaga peradilan itu sendiri.

3.Masih adanya celah pada regulasi pengawasan. Hal ini terutama berkaitan dengan kekhawatiran akan celah intervensi atau politisasi yang dibenturkan dengan prinsip independensi dan kemerdekaan hakim. Sebagai konsekuensinya, Komisi 3 DPR juga kini hanya bermitra dengan Sekretaris MA atau tidak mengawasi langsung fungsi Yudikatif sebagaimana dalam teori pembagian kekuasaan yang telah diatur dalam UUD NRI 1945.

Selain itu, walaupun telah ada beberapa aturan khusus mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan MA, aturan tersebut tidak berlaku secara efektif pada prakteknya. Kasus korupsi yang melibatkan hakim juga belum diatur khusus sehingga masih banyak yang vonisnya tidak memberi efek jera.

4.Kurangnya perhatian pada peningkatan kapasitas dan integritas hakim. Banyak hal seperti sistem promosi jabatan dan penilaian kinerja hakim yang tidak berbasis kemampuan dan profesionalitas. Ketiadaan program yang benar-benar menekankan pada integritas hakim dan sanksi (punishment) yang tegas terhadap hakim yang tidak profesional atau berintegritas.

5.Masih belum optimalnya transparansi dan akuntabilitas publik pada hakim (yang notabene adalah juga pejabat negara), sehingga membuat tingkat kecurigaan masyarakat atau skeptisme masyarakat pada lembaga peradilan dan penegak hukum menjadi besar. Hal ini membuat sebagian masyarakat atau penegak hukum (termasuk pengacara atau penasehat hukum) itu sendiri, malah ikut terjerumus dan menyuburkan praktik mafia hukum dan peradilan.

Melihat dari permasalahan-permasalahan tersebut, maka menurut penulis sebaiknya dilakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem dan kelembagaan peradilan, sehingga mampu mengedepankan integritas, profesionalitas, dan kualitas lembaga peradilan. Komisi III DPR telah mendorong upaya transformasi peradilan tersebut dalam berbagai catatan evaluasi kinerja.

Beberapa hal tersebut adalah pertama, dengan menjamin kesejahteraan dan dukungan terhadap penguatan kinerja hakim. Hal ini perlu didorong untuk meningkatkan martabat profesi atau jabatan hakim. Dimulai dari sistem rekrutmen, seorang sarjana yang ingin menjadi hakim harus memiliki kemampuan dan rekam jejak yang jelas dan bersih.

Ketika yang bersangkutan dapat dinilai mampu menjadi hakim yang berintegritas dan berkualitas, maka perlu didukung dengan jaminan kesejahteraan dan penerapan keamanan yang memadai. Hakim harus menjadi profesi yang terhormat.

Kedua, dengan telah meningkatnya harkat dan martabat hakim tersebut, diimbangi dengan peningkatan akuntabilitas publik dan transparansi. Lembaga peradilan harus secara terbuka selebar-lebarnya terhadap akses publik dan tidak dilihat sebagai sebuah celah intervensi maupun ancaman. Transparansi menjadi kunci dengan menerapkan sistem keterbukaan dalam pertanggungjawaban publik, termasuk dalam meningkatkan responsivitas (cepat) dan kesederhanaan dalam penanganan perkara).

Ketiga, dalam penanganan perkara, undang-undang atau regulasi harus dapat secara seimbang mengatur kemandirian atau independensi hakim atau sistem peradilan dan penegakan hukum dengan akuntabilitasnya.

Sistem peradilan maupun penegakan hukum tidak boleh lagi terlihat sebagai lembaga yang eksklusif, namun menjadi terbuka dengan segala partisipasi dan pengawasan publik, tentunya dalam koridor peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi “intervensi” yang juga mengundang mafia peradilan.

Pemisahan kekuasaan merupakan prinsip untuk menjamin kemerdekaan hakim, namun tidak berarti menjadi sebuah eksklusivitas. Oleh sebab itu, harus ada ketentuan atau Standar Operational Procedure (SOP) yang menjamin penerapan good governance di kelembagaan serta penciptaan sistem acara yang bersih, khususnya dalam pertimbangan untuk pembuatan putusan.

Transformasi kepada digitalisasi dan pengawasan terpadu (surveillance) menjadi salah satu metode pemanfaatan teknologi untuk menciptakan sistem pengawasan sekaligus pencegahan pelanggaran.

Untuk menjamin pelaksanaan sistem dan kelembagaan peradilan yang bersih, berkapasitas, dan berkualitas, maka perlu dibuat sistem pengawasan yang ketat dan memadai. Hal ini dapat diterapkan dengan membuat sistem pengawasan yang lebih melekat, misalnya dengan evaluasi 360 atau menyeluruh dari seluruh pegawai dan atasan terkait, sehingga mendapat penilaian obyektif dan komprehensif.

Membuat mekanisme pengaduan dan pelindungan terhadap pengadu secara konsisten (whistleblowing system). Audit terhadap peradilan harus dilakukan berkala, tidak hanya tentang keuangan, namun juga kepatuhan terhadap undang-undang, yakni kinerjanya.

Selain melalui mekanisme upaya hukum (appeal), publik  juga dapat melakukan pengawasan terhadap aktivitas hakim dan para penegak hukum melalui fungsi lembaga independen yang kuat dan kredibel, seperti DPR dan pendayagunaan lembaga swadaya masyarakat.

Hal ini termasuk juga dengan penguatan untuk penegakan etik yang ada pada Komisi Yudisial, namun juga inspektorat atau badan pengawas yang lebih independen. Meskipun sistem tata negara di Indonesia mengenal pemisahan kekuasaan (separation of powers), lembaga atau fungsi Yudikatif juga tidak boleh anti terhadap pengawasan publik termasuk dari DPR dan Pemerintah sebagai prinsip check and balances sepanjang dilakukan untuk kepentingan keadilan dan pembangunan integritas.

Dalam hal ini berarti, independensi hakim tidak perlu dibenturkan dengan pengawasan terhadap akuntabilitas hakim. Akuntabilitas dan Moralitas justru menjadi penyeimbang sekaligus pelengkap dan pendukung terhadap pelaksanaan independensi hakim.

Penutup

Kita tentu mengapresiasi Kejaksaan dalam hal ini untuk membantu mengungkap berbagai permasalahan besar di masyarakat. Setelah kasus korupsi timah dan beberapa kasus penting lainnya, kini Kejaksaan kembali hadir untuk mengungkap kasus mafia peradilan yang sangat besar. Hal yang menjadi harapan besar bagi masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan.

Penulis tentu melihat psikologi masyarakat kini tentu menjadi sedih dan kecewa terhadap sistem peradilan, namun jangan sampai hal itu justru membuat skeptisme yang tinggi dan ketidakpercayaan. Kita masih dapat percaya pada lembaga peradilan. Tentu masih ada hakim-hakim yang memang bersih dan jujur serta benar-benar bekerja untuk mengupayakan keadilan kepada masyarakat.

Bahkan dari mereka yang memperjuangkan nasib dan kesejahteraannya (para hakim yang tergabung dalam solidaritas hakim seluruh Indonesia) di hadapan Komisi III DPR, menyatakan siap untuk selalu diawasi secara ketat sebagai implikasi dipenuhinya kesejahteraan dan berbagai dukungan/fasilitas yang diberikan kepada mereka.

Permasalahan mafia hukum dan peradilan harus diakui masih ada dan tumbuh di tengah-tengah lemahnya pengawasan terhadap fungsi yudikatif, yang dalam hal ini tidak hanya dilakukan oleh MA dan lembaga peradilan di bawahnya, melainkan juga institusi penegak hukum lainnya.

Persoalan ini memang mencoreng sistem penegakan hukum dan peradilan. Akan tetapi, penulis melihat bahwa fenomena ini justru menjadi bagian penting dari upaya untuk melakukan perbaikan terhadap sistem peradilan maupun penegakan hukum, bertransformasi menjadi sistem yang bersih, berintegritas, profesional, akuntabel, dan tentunya berkeadilan penuh.

Citra eksklusivitas harus diubah menjadi kemandirian yang bertanggungjawab dan berkeadilan sosial sesuai Pancasila dan Konstitusi. Oleh sebab itu Penulis juga menyarankan pentingnya dibentuk kembali sebuah Panitia Khusus atau Panitia Kerja DPR yang secara berkala dan berkelanjutan melakukan pengawasan terhadap lembaga Yudikatif terkait reformasi hukum dan peradilan, terutama supaya sistem dapat melepaskan diri dari jeratan mafia hukum dan peradilan.

Harapan masyarakat dengan terpilihnya Ketua Mahkamah Agung yang baru, Dr. Sunarto, adalah MA memberikan dampak positif yang nyata terhadap upaya reformasi sistem peradilan untuk mencapai lembaga peradilan yang independen, berkeadilan, transparan, dan akuntabel. Kasus ini tentu menjadi catatan tersendiri bagi Ketua MA dan jajarannya untuk dapat membuka diri dan melakukan pembenahan dan “bersih-bersih”.

Publik tentu akan menunggu reaksi cepat dan lugas dari MA untuk mereformasi diri dan melakukan peningkatan profesionalitas kerja secara nyata dan signifikan. Transformasi Mahkamah Agung (lembaga peradilan) dan seluruh institusi dalam Integrated Justice System, kini harus menjadi lembaga yang independen namun bersih, kredibel atau terpercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik secara langsung atau akuntabel (Trustworthy Judicial Independence).  (Penulis adalah Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia dan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan).

[1] Salah satu pemberitaannya, lihat Rumondang, Naibaho, “Kejagung Sita Duit Rp 920M-51 Kg Emas dari Eks Pejabat MA Zarof Ricar”, detiknewsi (Jumat 25 Oktober 2024) pada https://news.detik.com/berita/d-7606777/kejagung-sita-duit-rp-920-m-51-kg-emas-dari-eks-pejabat-ma-zarof-ricar (Diakses pada 26 Oktober 2024).

[2] Lihat Nadia Intan Fajarlie, ed. Desy Afrianti, “Daftar Panjang Hakim-Hakim yang Terjerat Kasus Korupsi, dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung”, Kompas (23 September 2022) pada https://www.kompas.tv/nasional/331194/daftar-panjang-hakim-hakim-yang-terjerat-kasus-korupsi-dari-pengadilan-negeri-hingga-mahkamah-agung (diakses pada 26 oktober 2024).

[3] LSI, Rilis Survei LSI terkait Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Penegakan Hukum, Isu-Isu Penegakan Hukum, dan PSSI (Rabu, 1 Maret 2023) pada https://www.lsi.or.id/post/rilis-survei-lsi-01-maret-2023 (diakses pada 26 Oktober 2024).