Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi (net)
Oleh: Ambassador Freddy Numberi
1. Latar belakang
Amerika Serikat (AS) punya kepentingan di Laut China Selatan(LCS), yaitu kebebasan bernavigasi bagi kapal-kapal militer maupun pesawat terbang militer. Di samping itu menjamin perdagangan global yang melalui LCS. Bill Hayton, mengatakan:”If ZEEs were closed to military vessels the US would lose acces to it bases and allies aroud Asia – Bila ZEE ditutup untuk kapal militer, AS akan kehilangan akses ke pangkalan dan sekutunya di Asia.” (The South China Sea, London,2014:hal.213).
Klaim teritorial China, diartikulasikan melalui “Nine-Dashed Line” dan melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta kedaulatan secara historis terkait dengan beberapa negara ASEAN, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam. Tom Miller, mengatakan :”The truth is that China’s claims of ancient sovereignty in the South China Sea are mostly historical nonsense – Yang benar adalah bahwa klaim kedaulatan kuno China di Laut China Selatan sebagian besar adalah omong kosong sejarah.” (Tom Miller, China’s Asean Dream, London,2017:hal.158)
Laut China Selatan(LCS) telah menjadi urat nadi pelayaran utama bagi AS yang menghubungkan pesisir Barat AS dan Asia Tenggara, Asia Selatan dan Timur Tengah. Selain itu dibawah laut LCS terkandung cadangan minyak dan gas alam yang cukup besar.
2. Rangkuman Khusus
Hingga saat ini, China memandang kawasan LCS sebagai kawasan perairan China, sehingga China berhak melakukan apa saja di kawasan yang sedang dalam sengketa internasional tersebut. (Prof. Bambang Cipto,MA., Yogyakarta,2016:hal.145) Pada bulan Februari 2016, Pentagon menyatakan bahwa China telah menempatkan rudal permukaan-ke-udara yang canggih di Pulau Woody dan Kepulauan Spratley.
Hal ini bertentangan dengan keputusan internasional di Den Haag/Belanda karena wilayah LCS masih termasuk wilayah yang dipersengketakan. Pengamat internasional mengatakan kekhawatiran mereka akan meningkatnya konflik di kawasan LCS. 2 | 3 Robert Kaplan, salah satu pengamat dan analis keamanan dari Pentagon, mengatakan bahwa, perairan kawasan LCS dapat menjadi garis depan militer China dalam beberapa tahun mendatang.
Namun masih ada ketakutan yang sangat besar, bahwa ekspansionisme China di kawasan LCS adalah bagian dari strategi besar Beijing untuk menggantikan AS sebagai “Super Power” di Asia-Pasifik.
3. Penutup
Ada 4(empat) alasan, mengapa Beijing melakukan reklamasi di kawasan LCS :
- Kebijakan luar negeri AS belum pernah mengatakan bahwa klaim China atas wilayah kawasan LCS itu salah dan bertentangan dengan hukum internasional;
- Janji-janji AS untuk membangun hubungan ekonomi dengan negara-negara ASEAN di kawasan LCS dan merelokasi aset militer Angkatan Lautnya di kawasan Asia tidak terealisasi atau tidak dilaksanakan;
- AS tidak memiliki posisi yang kuat dalam kebijakan luar negerinya, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Seperti memperkuat militer Jepang, Korea Selatan dan Australia dan menempatkan rudal-rudal yang canggih disana;
- AS lemah terhadap klaim dan reklamasi yang dilakukan oleh China di kawasan LCS. Kunjungan kapal perang AS yang beroperasi di kawasan LCS sebagai pertanda “freedom of navigation” (kebebasan bernavigasi), dinilai China sebagai upaya AS melecehkan China dan militernya di kawasan LCS.
Penulis menggaris bawahi apa yang dikatakan Tom Miller:” …..yang benar adalah kedaulatan kuno China di LCS sebagian besar adalah omong kosong sejarah”. (Tom Miller, China’s Asean Dream, London,2017:hal.158) Perubahan yang cepat di kawasan LCS di tahun 2024 tidak dapat diprediksi oleh setiap negara ASEAN.
David Jordan,mengatakan:”Konflik bersenjata tidak bisa dihindarkan dalam lingkungan seperti di LCS”. (David Jordan etal,Understanding Modern Warfare, Cambrifge, London, 2016:hal.438).
“China is seeking to prove it neighbours that containment cannot work and the US cannot be relied apon to defend them – China berusaha untuk membuktikan tetangganya bahwa penahanan tidak dapat bekerja dan AS tidak dapat diandalkan untuk membela mereka” kata David Pilling dalam Financial Times. (Douglas E. Schoen and Melik Kaylan, The Russia-China Axis, London,2014:hal.XVI).
Pada akhir 2015, China secara sepihak memaksakan tumpang tindih dengan wilayah udara Jepang dan Korea Selatan, dan mengancam setiap pesawat udara yang menembus zona tersebut. ((Douglas E. Schoen and Melik Kaylan, The Russia-China Axis, London, 2014 : hal XV). Di Asia Tenggara setidaknya ada 3(tiga) kekuatan besar yang sangat berpengaruh tahun 2024 di kawasan Laut China Selatan, yaitu, China, Rusia dan Iran yang tergabung dalam aliansi militer SCO, AS dan ASEAN.
China, Rusia dan Iran terkenal dengan sebutan “Triple Axis”. Klaim China atas kawasan LCS justru ditolak oleh negara-negara ASEAN, yang membawa China ke jantung maritim Asia Tenggara. Bagaimana tanggapan AS terhadap China di kawasan LCS pada tahun 2024 ini dan dimasa mendatang?
Pertanyaannya :”Apakah Amerika Serikat (AS) duduk diam saja, sementara China merajalela di Laut China Selatan, Rusia di Eropa dan Iran di Timur Tengah? AS tidak boleh duduk pasif saja, ”seperti seorang pria yang menonton dan menunggu guillotine disusun serta dijatuhkan untuk memancung kepalanya”.
Amerika Serikat harus bangkit untuk memenuhi perannya sebagai “Super Power” dan melindungi kepentingannya di seluruh dunia, antara lain:
- Untuk menjaga kebebasan berlayar di laut, terutama Laut China Selatan (LCS);
- Mencegah konflik dan paksaan, seperti Eropa antara Rusia vs Ukraina;
- Mempromosikan kepatuhan terhadap hak dan standar internasional, terutama masalah nuklir Iran di Timur Tengah.
Pada tanggal 28 Mei 2014, Presiden Obama di West Point, mengatakan pada akhir pidatonya: ”America must always lead”. (Douglas E. Schoen and Melik Kaylan, The Russia-China Axis, London,2014:hal.XXIX) Christopher Coker dalam bukunya The Improbable War, dengan mengutip peribahasa Romawi kuno, mengatakan: “If you want peace, prepare for war” (Christopher Coker, The Improbable War, London,2015:hal. 3. (Penulis adalah Mantan Menhub, Mantan Menpan-RB, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Dubes Italia merangkap Malta, mantan Gubernur Papua, dan Pendiri Numberi Center).