Retret, Efisiensi, dan Tantangan Kepala Daerah

oleh
oleh

Prof. Dr. Ir. Fadel Muhammad (net)

 

Oleh : Prof. Dr. Ir. Fadel Muhammad

 

Setelah sempat tertunda, pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 akhirnya dilakukan pada 20 Februari 2025. Itu pun belum seluruhnya karena dari 545 daerah yang menyelenggarakan pilkada, baru 481 daerah yang kepala daerah dan wakil kepada daerahnya sudah ditetapkan. Sedangkan yang lainnya masih harus menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menangani sengketa pilkada. Adapun yang dilantik pada 20 Februari itu terdiri dari 33 gubernur dan 33 wakil gubernur, 363 bupati dan 362 wakil bupati (seorang meninggal sebelum pelantikan), serta 85 wali kota dan 85 wakil wali kota sehingga total ada 991 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilantik.

Jumlah pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang hampir seribu orang itu pertama kali terjadi di Indonesia. Banyaknya pimpinan daerah yang dilantik serentak itu, menurut Presiden Prabowo dalam sambutannya, menunjukkan besarnya bangsa Indonesia dengan tingkat demokrasi yang semakin membaik. Apalagi mereka terpilih setelah berkampanye dengan cara yang tidak mudah serta dengan cara turun ke masyarakat dan meminta kepercayaan rakyat.

Tantangan Kepala Daerah

Sebelum memimpin di daerahnya, kepala dan wakil kepala daerah tersebut akan mengikuti retret di Akademi Militer (Akmil) Magelang selama seminggu, 21-28 Februari 2025. Banyak kritik terhadap program tersebut. Ada yang mengatakan retret tersebut merupakan upaya sentralisasi kekuasaan agar para kepala daerah mengikuti semua keinginan pemerintah pusat, seperti yang dikemukakan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkut kepada Tempo.co. “Retret itu sentralistik. Keinginannya untuk (kepala daerah) memahami pemerintah pusat, bukan (pemerintah pusat) memahami persoalan-persoalan yang ada di daerah,” katanya.

Dalam beberapa pemberitaan disebutkan bahwa retret tersebut bertujuan untuk memberi pemahaman tentang tugas pokok kepala daerah mengingat tidak semua kepala daerah memiliki latar belakang politik dan pemerintahan, memberi pemahaman tentang Asta Cita, membangun kedekatan emosional antara para kepala daerah, pembekalan terkait pengelolaan anggaran dengan harapan kepala daerah agar mengelola anggaran secara transparan dan efisien, serta pembekalan terkait ketahanan nasional dan wawasan kebangsaan.

Terhadap penyelenggaraan program retret kepala daerah itu, saya setuju. Apalagi, bagi mereka yang pernah menjadi kepala daerah seperti gubernur atau bupati/wali kota (saya dua periode menjadi Gubernur Gorontalo pada 2001-2006 dan 2006-2009, sebelum diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada 2009), kelima poin dari tujuan retret itu merupakan hal yang kerap membuat kepala daerah kesulitan saat mengeksekusi sesuatu yang pelik. Asta Cita memang merupakan misi Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, namun esensinya adalah bagaimana kepala daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah bisa melaksanakan tugas sesuai dengan misi pemerintah pusat (Presiden) dengan tetap menjalankan hak otonomi daerahnya seperti diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam praktiknya, mengimplementasikan misi pemerintah pusat itu tidak sederhana sehingga memang membutuhkan sesi khusus, seperti retret, untuk menerima penjelasan dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, retret sebaiknya diikuti oleh semua kepala dan wakil kepala daerah terpilih.

Dari pengalaman sebagai kepala daerah, selama menjalankan amanah sebagai kepala daerah, seorang kepala daerah sering kali berhadapan dengan hal-hal yang ingin didiskusikan baik dengan kementerian terkait atau sesama kepala daerah mengenai solusi yang harus dilakukan. Kendatipun aturannya ada, kadang membutuhkan benchmark dari pemerintah daerah lain yang sudah lebih berpengalaman dalam mengeksekusi masalah yang mirip. Oleh karena itu, keberadaan forum diskusi antar-sesama kepala daerah dibutuhkan untuk mendiskusikan hal-hal tertentu agar tugas kepala daerah bisa berjalan dengan baik dan benar sesuai peraturan yang ada. Ketiadaan forum bisa diatasi dengan relasi yang baik antar-kepala daerah sehingga jika ada sesuatu yang membingungkan bisa berdiskusi satu sama lain untuk menemukan solusi terbaik. Dalam hal ini, tujuan retret untuk membangun kedekatan emosional antara para kepala daerah menjadi tepat.

Satu hal yang perlu dicatat, jika dalam retret tersebut ada yang sudah berpengalaman menjadi kepala daerah dan diberi kesempatan berbagi pengalamannya, selain bermanfaat bagi kepala daerah yang baru pertama kali menjabat, mereka juga bisa memberikan masukan kepada pemerintah pusat tentang persoalan-persoalan daerah terkini yang kurang dipahami pemerintah pusat. Setidaknya ini akan memberi jawaban terhadap kekhawatiran seperti yang dikemukakan Ray Rangkut.

Saya sendiri melihat, retret ini selain baik untuk membangun kedekatan emosional antara para kepala daerah dan memberi pemahaman tentang Asta Cita, juga dibutuhkan untuk membangun bibit-bibit kolaborasi serta penekanan tentang pentingnya efisiensi dan apa yang dimaksud efisiensi dalam praktik kepemerintahan di daerah. Pemerintah daerah tidak hanya memiliki relasi top-down dengan pemerintah pusat, tetapi seyogyakan mengembangkan relasi dengan pemerintah daerah lain, mulai dari yang terdekat hingga dengan daerah yang memiliki potensi pengembangn kerja sama dalam berbagai sektor melalui asas saling menguntungkan.

 

Kolaborasi antar-daerah, diperlukan untuk mengatasi hal-hal tertentu. UU No. 23 Tahun 2014 memfasilitasi kolaborasi tersebut. Pasal 363 ayat (1) UU tersebut mengatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. Hambatan kolaborasi antar-daerah umumnya karena kecanggungan hubungan emosional (karena belum saling kenal) antara kepala daerah yang ingin berkolaborasi, kurang pemahaman tentang peraturan kerja sama antar-daerah, kurangnya kesadaran akan manfaat kerja sama antar-daerah, dan belum adanya identifikasi hal-hal yang bisa dikerjasamakan.

Terkait kerja sama ini, pemerintah daerah bisa mengembangkan kolaborasi dengan pihak yang lebih luas. Bahkan UU No. 23 Tahun 2014 juga memfasilitasi secara hukum pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan pihak luar negeri. Bentuk kerja sama ini tidak melulu bidang ekonomi tetapi juga hal-hal lainnya sepanjang sesuai aturan dan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Efisiensi

Pemerintah daerah saat ini dihadapkan pada program yang sedang menjadi pembicaraan, yakni efisiensi. Kenapa efisiensi yang dilakukan Pemerintahan Presiden Prabowo menjadi perdebatan? Ada yang mengatakan bahwa efisiensi ini akan mengganggu pelayanan publik di daerah. Efisiensi sebenarnya dilakukan dengan tujuan untuk mengefektifkan alokasi anggaran ke pos yang lebih produktif.

Merujuk pada Inpres No. 1 Tahun 2025, efisiensi dilakukan terhadap belanja operasional dan non-operasional, sekurang-kurangnya terdiri atas belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin. Efisiensi tidak dilakukan terhadap belanja pegawai dan belanja bantuan sosial.

Melalui inpres tersebut, Presiden Prabowo menekankan pada kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), di antaranya agar membatasi belanja untuk kegiatan yang bersifat seremonial, kajian, studi banding, pencetakan, publikasi, dan seminar/focus group discussion; mengurangi belanja perjalanan dinas sebesar 50%; memfokuskan alokasi anggaran belanja pada target kinerja pelayanan publik; dan lain-lain. Tampak bahwa pelayanan publik termasuk ranah yang tidak boleh sampai terganggu oleh program efisiensi tersebut. Artinya, pelayanan terhadap masyarakat tetapi nomor satu.

Seharusnya kepala daerah melihat program efisiensi yang ditekankan oleh Presiden Prabowo itu dijadikan tantangan dan batu ujian untuk meningkatkan inovasi pelayanan yang lebih baik pada masyarakat dengan tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi. Terlebih-lebih efisiensi dilakukan sejak hari pertama menjabat sehingga memiliki momentum yang baik untuk menunjukkan pada pejabat di daerahnya dan masyarakatnya bahwa pemerintahannya menjalankan prinsip efektif, efisien, dan mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan masyarakat di daerahnya. Dengan kerangka pikiran seperti itu, maka program efisiensi yang oleh sebagian kalangan dianggap akan mengganggu pelayanan masyarakat tidak akan terjadi.

Pemerintah daerah pernah mengalami situasi yang sulit yang menekankan pentingnya efisiensi, yakni pada masa pandemi Covid-19 yang masih bisa sama-sama kita ingat dan rasakan. Pada saat itu prinsip-prinsip efisiensi, efektif, responsif, inovatif, dan kolaboratif sama-sama diterapkan dengan belajar langsung di lapangan.

Saya melihat pada saat itu jiwa entrepreneuship kepala daerah tengah diuji. Saat pemerintah pusat mengimbau agar daerah mengendalikan inflasi dan daerah-daerah yang berdekatan diminta saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing, ternyata bisa melakukannya. Kita bisa sama-sama melewati masa sulit itu.

Apalagi saat ini di mana situasi kita tidak dalam tekanan pandemi. Kita bahkan sedang meniti jalan optimistis menuju Indonesia Emas 2045. Dengan begitu maka efisien pasti bisa dilakukan. Di dunia bisnis, efisiensi adalah darahnya bisnis yang dilakukan untuk meraih profit yang sebesar-besarnya.

Di sektor pemerintahan, efisiensi dilakukan untuk meraih sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Prinsip entrepreneurship-nya sama, sama-sama menjalankan prinsip-prinsip efisiensi, efektif, responsif, inovatif, dan kolaboratif, hanya output-nya saja yang berbeda. Yang satu keuntungan sebesar-besarnya, yang kedua kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.

Bagi para kepala daerah yang baru dilantik, saya ucapkan selama bekerja. Mari berlomba-lomba menyejahterakan rakyat kita. (Penulis adalah mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, mantan Wakil Ketua MPR, mantan anggota DPRD RI dari Propinsi Gorontalo, mantan anggota DPR, dan mantan Gubernur Gorontalo)