Oleh: Tia Anisa Rahman (Mahasiswi Manajemen S1, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pamulang)

PERTUMBUHAN pesat Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai sistem pembayaran digital, telah memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan ekonomi digital di Indonesia. QRIS dinilai berhasil merevolusi metode transaksi digital serta memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan transaksi kapan dan di mana saja.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Jakarta, menyatakan bahwa transaksi melalui QRIS mengalami pertumbuhan sebesar 226,54 persen secara year on year (yoy). Jumlah pengguna mencapai 50,50 juta dan jumlah merchant telah mencapai 32,71 juta.
Menariknya, ekspansi QRIS tidak terbatas pada pasar domestik, namun telah menembus pasar internasional, termasuk Amerika Serikat, serta diterapkan di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Adapun rencana perluasan ke negara-negara lain, seperti Korea Selatan, India, Jepang, dan Arab Saudi, tengah dalam proses pengembangan.
Ekspansi QRIS ke pasar Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran dari sejumlah pihak. Sistem pembayaran ini dinilai sebagai alternatif yang lebih efisien dan ekonomis dibandingkan sistem pembayaran tradisional berbasis kartu kredit, yang saat ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Visa dan Mastercard. Beberapa analis di Amerika Serikat menilai bahwa adopsi teknologi pembayaran seperti QRIS berpotensi mengganggu dominasi sistem pembayaran konvensional, terlebih apabila QRIS mampu menerapkan interoperabilitas dengan sistem global secara lebih luas.
Regulasi Domestik
Regulasi domestik yang relevan dalam konteks ini adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yang mewajibkan seluruh transaksi debit ritel domestik dan kredit untuk diproses melalui lembaga switching berizin dan berlokasi di Indonesia.
Selain itu, regulasi ini membatasi kepemilikan asing sebesar 20 persen bagi perusahaan yang hendak memperoleh lisensi dalam sistem GPN serta melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi debit dan kartu kredit domestik.
Laporan dari United States Trade Representative (USTR) menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menyuarakan kekhawatiran atas terbatasnya pelibatan pemangku kepentingan internasional dalam perumusan kebijakan ini. Mereka menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi membatasi akses terhadap penggunaan opsi pembayaran elektronik berbasis sistem Amerika Serikat di pasar Indonesia.
Melebarkan Pengaruhnya
Melihat fenomena ini, penulis menilai bahwa keberhasilan QRIS sebagai sistem pembayaran digital domestik yang kini mulai melebarkan pengaruhnya secara global merupakan capaian strategis bagi Indonesia dalam memperkuat kedaulatan ekonomi digital.
Kekhawatiran Amerika Serikat mencerminkan adanya perubahan struktur kekuatan dalam sektor pembayaran digital, yang selama ini sangat dipengaruhi oleh korporasi besar dari negara maju. Indonesia, melalui inovasi seperti QRIS, tidak hanya memperkuat inklusi keuangan nasional, tetapi juga mulai memainkan peran penting dalam ekosistem ekonomi digital global. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk terus mendorong pengembangan teknologi pembayaran yang adaptif, aman, dan kompetitif, sembari menjaga prinsip kedaulatan data dan keadilan ekonomi. ***
Referensi:
https://www.viva.co.id/bisnis/1818475
https://perbanas.org/publikasi/artikel-perbanas/lonjakan-transaksi-qris-di-2024





