JAKARTA, REPORTER.ID – Anggota Komisi III DPR F-NasDem Taufik Basari (Tobas) menegaskan jika revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) dilakukan karena sebagai akibat dari keputusan MK sendiri. Dan, revisi ini sudah ada pada periode DPR sebelumnya, karenanya DPR menyesalkan adanya tuduhan barter dengan RUU ini dan itu. Justru, tuduhan itu merendahkan martabat sembilan (9) hakim konstitusi itu sendiri.
“Penghapusan periodesasi hakim konstitusi misalnya, itu diharapkan agar mereka ini tak berpikir lagi untuk mendapat ini dan itu, untuk menjadi menteri, kembali lagi menjadi hakim tinggi, lawyer, dan sebagainya. Melainkan mereka harus menjadi negarawan dan mengabdi sepenuhnya untuk rakyat, bangsa dan negara,” tegas Taufik Basari.
Hal itu disampaikan Taufik Basari dalam Forum Legislasi “RUU Mahkamah Konstitusi: Bagaimana Memperkuat Kekuasaan Kehakiman?” bersama anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat Dr. Benny K Harman, Habiburokhman (Gerindra), dan pakar hukum Leopold Sudaryono (Australian National University) di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (8/9/2020).
Lebih lanjut kata taufik, RUU MK ini termasuk ke dalam kategori RUU kumulatif dalam prolegnas, yakni RUU yang disusun sebagai akibat tindak lanjut dari putusan MK terhadap UU tertentu yang harus mengalami perubahan akibat putusan MK tersebut. Karena itu akibat adanya putusan-putusan MK terhadap UU MK, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU MK yang mengacu pada putusan-putusan MK tersebut.
Mengingat revisi ini kumulatif sebagai akibat dari putusan MK atau untuk menjawab tindak lanjut dari putusan MK menurut Taufik, maka akumulasi yang mengalami perubahan adalah yang memang menjadi obyek putusan-putusan MK. “Lain halnya jika usulan perubahan UU MK itu dilakukan bukan akibat dari putusan MK melainkan didasarkan dari hasil evaluasi terhadap tugas dan kewenangan MK, maka sangat terbuka untuk membahas hal-hal lain yang selama ini dianggap menjadi permalsahan dan untuk itu dibutuhkan kajian yang dimuat dalam naskah akademik,” ujarnya.
Habibirrokhan sendiri mengakui jika revisi khususnya terkait komplain konstitusion yang didrop ini sebagai usulan diri dan anggota DPR yang lain. Padahal, konstitusi komplain ini ada di semua negara yang memiliki MK. “Kami bermimpi ingin revisi ini menjadi kado terbaik bagi rakyat, dan saya yakin pada empat tahun ke depan akan gol,” kata politisi Gerindra itu.
Dengan konstitusi komplain diharapkan hakim tidak takut untuk memutuskan perkara terkait dengan eksekutif, legislatif, yudikatif dan lain-lain. Hal itu kata, Habiburrokhman, karena hakim MK ini bukan hakim biasa, melainkan negarawan yang harus diperlakukan istimewa. “Jadi, saya miris jika revisi ini dituding sebagai barter dengan yang lain,” tambahnya.
Contoh sebagai akibat dari keputusan MK itu antara lain; putusan MK No.48/PUU-IX/2011 yang membahas dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2) huruf a, sehingga pasal-pasal tersebut dihapus melalui revisi UU MK.
Putusan MK No.49/PUU-IX/2011 yang membatalkan Pasal 4 ayat (4) huruf f, huruf g, huruf h, Pasal 15 ayat (2) huruf h sepanjang frasa dan atau pernah menjadi pejabat negara: Pasal 26 ayat (5), pasal 27 A ayat (2) huruf d, dan huruf c; pasal 27 A ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), dan ayat (6), pasal 50A, pasal 59 ayat (2), pasal 87, sehingga terdapat pasal yang dihapus, pasal yang dilakukan perubahan dan terdapat pasal yang harus dilakukan penyesuaian setelah perubahan, dan masih banyak lagi.
Selain itu, revisi ini terkait dengan usia pensiun 70 tahun. Sehingga, tak akan ada hakim yang diganti hingga 2024 mendatang.