Selalu Ceria Menjalani Hidup (Bagian I)

oleh
oleh

BK, begitulah panggilan akrab Hakim Pengadilan Tinggi Kalsel, Bambang Kustopo. Pria yang lahir 18 Juni 1959 di Tulungagung ini menekuni profesinya sebagai Wakil Tuhan di Dunia sejak 1990-an. BK merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Kaderi Hadi Soetjipto, seorang pejabat di Pemkab Tulungagung, Jatim. Ibunya bernama Murdiati adalah seorang guru sekolah dasar. Sejak lahir hinggak SMA, BK tinggal di  Tulungagung bersama kedua orang tuanya.

BK kecil dan BK besar selalu jadi panutan masyarakat sekitar. Selain bisa membawa diri, dia tidak sombong dan pilih-pilih teman. Salah satu yang menonjol dari BK adalah kesederhanaan hidup. Bayangkan, di usianya yang ke 61 tahun, dia hidup sendiri di rumah kontrakan (rumah dinas) yang disediakan negara. Rumahnya tidak bagus-bagus amat. Sewa kontrakannya cuma Rp 15 jutaan per tahun. Di rumah kontrakan itu, BK tinggal sendirian, karena seluruh keluarganya tinggal di Jatim.

Anaknya tiga. Yang sulung sudah berkeluarga dan tinggal di Sidoarjo. Anak kedua juga sudah berkeluarga dan tinggal di Surabaya, sementara yang bungsu masih sekolah SMA AL-AZHAR kelas 3 di Yogayakarta. Karena tinggal sendirian, BK mengurus keperluan sehari-harinya seorang diri. Mencuci, memasak, menyetrika pakaian, dan sebagainya, dikerjakan sendiri. Tanggung jawab dan kesederhanaan inilah yang patut dicontoh.

BK tidak pernah gundah atau sedih. Semua pekerjaan, baik sebagai hakim maupun dalam kehidupan sehari-hari selalu dijalaninya dengan hati gembira. Seperti air mengalir, bening dan pelan sekali bergeraknya. BK bersahaja, tidak pernah ngeluh, tidak ngoyo, dan tidak pernah silau lihat keadaan sekitar. Hidupnya selalu ceria dan apa adanya. Tidak dibuat-buat. ‘’Hari ini masak sayur bayem, goreng tempe, ikan asin, dan bikin sambel trasi, Dik,’’ katanya sambil tertawa saat ditelepon isterinya. Isterinya pun tergelak-gelak mendengarnya.

Menggapai Mimpi

Itulah BK. Sifatnya dari dulu tidak banyak berubah. Santai tapi beres. Artinya, semua pekerjaan dijalankan dengan santai tetapi selalu selesai dan sukses. Sejak kecil, BK memang bercita-cita ingin jadi hakim. Ada benang merah dalam alam sadarnya yang mengantarkannya pada keinginannya itu.

Sejak kelas dua SMP, BK mulai tertarik pada profesi hakim. Ketika itu, PN Tulungagung yang letaknya berhadapan dengan SMP Negeri I — tempat ia sekolah atau belajar, red – sedang mengadili kasus PKI dengan tersangka Insinyur Murdjani dan Kartini.

Persidangannya dilakukan secara maraton siang dan malam di Gedung AR (Asisten Residen – sekarang Gedung DPRD kabupaten Tulungagung, red) yang letaknya di sebelah timur Alon-Alon KabupatenTulungagung. Setiap malam BK menyempatkan diri untuk mengikuti persidangan itu.

Rupanya BK kepencut atau tertarik oleh penampilan Ketua Majelis Hakim saat itu yakni Bapak Adijono Prijo Utomo, SH. Sosok itu melekat di otaknya dan menghantarkannya pada cita-cita jadi seorang hakim. Karena sudah kepencut pada sosok Adijono, BK sering curi-curi waktu pada saat istirahat, bahkan sering membolos, untuk mengikuti sidang.

Menurutnya, seorang hakim itu sangat berwibawa. Saat memimpin sidang, selalu pegang palu, lengkap dengan toganya. BK tertarik pada profesi ini dan sudah memutuskan untuk jadi hakim dalam kehidupannya kelak. Karenanya, pada waktu guru concelor SMP Negeri I menanyakan cita-cita ingin jadi apa, BK mengatakan bahwa dirinya ingin jadi hakim. Walau teman-teman banyak yang ingin jadi dokter atau insinyur.

Setelah lulus SMPP, BK ‘diinterogasi’. Ayah dan ibunya menanyakan mau kuliah di mana dan jurusan apa? Dengan semangat yang menggebu-gebu, BK menjawab, ke Yogyakarta dan mengambil jurusan hukum. BK lalu mendaftar ke Universitas Gajah Mada (UGM), tetapi gagal. Ia lalu mencari informasi ke universitas di sekitar Yogyakarta dan akhirnya mendaftar ke Unversitas Atma Jaya Yogyakarta, Fakultas Hukum. Alhamdulillah diterima.

BK selalu teringat pesan orang tuanya yang menginginkan semua anaknya bertitel sarjana. Karena dengan titel itu, ayahnya yakin semua anaknya tidak bakal kelaparan asal mau menggunakan otaknya atau kepintarannya untuk mencari pekerjaan yang layak. Makanya BK kerja keras, hidup prihatin sehingga cepat menyelesaikan kuliah. Dan berhasil. BK mengantongi ijazah sarjana hukum.

Berbekal ijazah itu, BK mulai aktif sebagai pengacara. Sebenarnya ketika lulus sarjana muda, ia sudah praktek sebagai pengacara. Bukan sekedar untuk cari uang, tetapi untuk mengasah ilmu yang diperolehnya dari bangku kuliah. (HPS)

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *