Pelajaran yang Buruk

oleh
oleh

Oleh : Prof. Amir Santoso

Pergantian kepemimpinan partai politik, partai apapun, yang dilakukan melalui mekanisme yang menyalahi AD/ART partai masing-masing bukanlah pelajaran yang elok dalam demokrasi. Semua partai biasanya menerapkan pergantian kepemimpinan melalui Kongres atau Musyawarah Nasional biasa secara periodik. Baru jika terjadi situasi darurat, misalnya Ketum partai tersebut meninggal atau mengundurkan diri, dilakukanlah Kongres atau Munas Luarbiasa.

Namun jika situasi partai aman-aman saja kemudian tiba-tiba ada pihak di luar partai yang melaksanakan Kongres/Munaslub untuk mengganti kepemimpinan partai yang bersangkutan maka hal itu merupakan kejadian luarbiasa. Mungkin hal itu bisa dianalogkan dengan kudeta pada tingkat pemerintahan.

Kudeta, baik terhadap pimpinan pemerintahan maupun terhadap pimpinan partai yang sah, bukanlah pelajaran yang baik bagi demokrasi. Malahan hal itu dianggap oleh banyak pakar politik sebagai tindakan anti demokrasi. Itulah sebabnya banyak pihak di dunia internasional misalnya, yang mengecam kudeta terhadap pemerintahan Aung San Su Kiye di Myanmar.

Pelaku kudeta, terhadap pemerintah maupun partai, jelas bukan orang yang sabar untuk menunggu proses pergantian kepemimpinan yang telah ditetapkan. Biasanya mereka adalah orang yang sakit hati atau memiliki ambisi untuk menggantikan kepemimpinan namun tidak sabar menunggu proses yang wajar.

Proses pergantian elite dalam sistem demokrasi memang membutuhkan kesabaran. Kesabaran membutuhkan sifat dan sikap sportif serta ketaatan mengikuti aturan yang disepakati bersama.

Jangan lupa, politik dalam demokrasi dianalogikan dengan “permainan atau game”. Itulah sebabnya, politik disebut Political Game. Salah satu Political game adalah pemilu, Pilpres, Pilkada dan pilpartai. Bayangkan, tanpa sikap sportif semua jenis pemilihan tersebut pasti kacau seperti kacaunya permainan sepakbola yang pemainnya tidak sportif.

Sportivitas, menurut buku lama dari Henry B. Mayo merupakan salah satu nilai dan norma politik demokrasi. Nilai-nilai demokrasi lainnya antara lain adalah penghormatan terhadap hukum; penghargaan terhadap kebebasan individu, dan seterusnya.

Nilai demokrasi lainnya misalnya adalah bahwa dalam demokrasi, kekuasaan adalah milik rakyat bukan milik penguasa. Bahwa kekuasaan pemerintahan itu harus dipergilirkan secara berkala melalui pemilu yang jurdil bukan melalui kudeta.

Semua nilai tersebut tidak bisa ditegakkan hanya oleh aturan ataupun lembaga melainkan ditanamkan melalui dan oleh proses pendidikan bangsa yang bersangkutan. Kepada para siswa harus diajarkan semua nilai demokrasi tadi dan diminta mempraktekkannya.

Tanpa adanya nilai dan norma demokrasi yang dianut oleh semua warga bangsa, sistem demokrasi tidak akan berjalan seperti yang diimpikan. Lembaga-lembaga demokrasi yang dibentuk tapi tanpa ditopang oleh nilai dan norma demokrasi akan berjalan menjauhi demokrasi.

Itulah sebabnya kita sering melihat di beberapa negara yang menyatakan diri sebagai negara demokratis, Pemilu memang diadakan tapi  kemudian dengan mudah dimanipulasi bagi kepentingan dan keuntungan para elite. Pemerintahan dibentuk namun kepentingan rakyat diabaikan karena yang diutamakan adalah kepentingan para elit tersebut. Jika itu terjadi maka demokrasi tinggal menjadi nama belaka.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa kudeta ditingkat manapun merupakan perbuatan yang mengingkari nilai dan norma demokrasi. Salah satu sebabnya adalah karena banyak elite di negara ybs tidak memahami dan belum memiliki nilai dan norma demokrasi. Ini adalah pembelajaran yang buruk apalagi jika sampai ditiru dan dijadikan kebiasaan oleh elit yang lain. (Prof. Amir Santoso, Dosen FISIP UI, Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta)

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *