Antisipasi Utang BUMN Karya Demi Kepentingan Nasional, Pemerintah Harus GerCep

oleh
oleh
Ilustrasi.

JAKARTA, REPORTER.ID – Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor konstruksi alias BUMN Karya tengah dibayangi oleh beban utang yang tinggi, pendapatan anjlok, laba bersih merosot tajam, dan rugi dengan angka yang signifikan. Hal ini terjadi akibat pandemi virus Corona atau Covid-19 yang masih belu jelas kapan berakhirnya.

Terkait nasib yang dialami BUMN Karya tersebut, Ketua bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelora Indonesia, Achmad Nur Hidayat dalam keterangan tertulisnya, Rabu (14/4/2021) melihat berlarutnya penanganan masalah utang BUMN karya dapat mengurangi kecepatan pertumbuhan ekonomi di saat Indonesia dibutuhkan untuk memiliki pertumbuhan positif di 2021.

“Pemerintah diminta dapat bergerak cepat atau GerCep, untuk menyelesaikan masalah utang perusahaan BUMN Karya yang makin menggunung. Kondisi dengan utang BUMN karya yang tidak terkendali akan menyebabkan persoalan kredibilitas BUMN secara keseluruhan bila tidak segera dicarikan solusinya,” katanya.

Matnoer sapaan politisi Partai Gelora itu menegaskan, bahwa persoalan BUMN karya tidak lepas dari pembebanan program infrastruktur yang berlebihan dan tidak diikuti prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

“Proyek yang tidak masuk secara pertimbangan ekonomi tetap dikerjakan sehingga memberatkan neraca BUMN karya disamping konsekuensi gagalnya divestasi proyek-proyek infrastruktur tahun penuh pandemi 2020,” ujarnya.

Bahkan dia menilai kalau akar masalah menggunungnya utang BUMN adalah kesenjangan antara kemampuan pendanaan domestik dan kebutuhan pembiayaan untuk infrastruktur nasional.

“Bagi Partai Gelora, persoalan utang ini tidak lepas dari gap antara kemampuan pendanaan dalam negeri dan kebutuhan pembiayaan untuk infrastruktur,” papar Matnoer.

Untuk itu, Matnoer mengingatkan bahwa ambisi infrastruktur pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat berbuah simalakama, bila tidak tersedia pendanaan dalam negeri termasuk rencana pembangunan Ibukota baru di Kalimantan Timur.

“Untuk menghindari mangkraknya infrastruktur di masa depan akibat kekurangan dana, Partai Gelora sarankan pemerintah untuk melakukan penambahan modal negara (PMN) kepada BUMN tersebut,” ujarnya.

Namun sebelum dilakukan penambahan tersebut, pemerintah perlu melakukan audit kinerja dan audit investigasi terhadap membengkaknya utang BUMN tersebut. Audit tersebut adalah keharusan karena utang membengkak menunjukan BUMN selama ini tidak dikelola secara berkelanjutan.

“Partai Gelora menilai banyak ketidakefisienan salah satunya karena proyek infrastruktur dijalankan tidak matang pertimbangan ekonominya,” sebutnya.

Proyek tersebut dianalisis rugi namun tetap dijalankan oleh pemerintah salah satunya adalah Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) dan Bandara Internasional Kertajati, Majalengka, Jawa Barat.

“Partai Gelora sejak awal lihat Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) dan Bandara Kertajati merupakan proyek yang pasti rugi karena tidak matang pertimbangan ekonominya,” tegasnya.

Persoalan lain yang disoroti hidayat adalah masalah pengelolaan BUMN dalam infrastruktur selama ini telah mematikan ekosistem persaingan yang sehat dengan pihak swasta. Sehingga swasta menjadi terpinggirkan dalam mayoritas proyek infrastruktur pemerintah di era kepemimpinan pak Jokowi.

Matnoer juga melihat akar masalahnya adalah banyak Dewan Komisaris dan Direksi BUMN merangkap jabatan di kementerian lembaga PUPR, Perhubungan dan BUMN. Bahkan, BUMN tiba-tiba menjadi regulator dan eksekutor dalam menjalankan proyek infrastruktur.

“Kementerian BUMN mengatur jabatan rangkap berdasarkan aturan Peraturan Menteri BUMN Nomor 10 Tahun 2020. Sungguh tidak sehat, rangkap jabatan bagi Komisaris dan Direksi BUMN saat ini. Rangkap jabatan berpotensi menyebabkan tidak fokusnya para direksi dalam melaksanakan tugas operasional BUMN,” tambahnya lagi.

Sebab, rangkap jabatan dalam prakteknya justru menyebabkan terjadinya praktik persaingan usaha tidak sehat, seperti kartel dan perjanjian eksklusif yang menghambat berkembangnya perusahan lain non BUMN.

“Partai Gelora meminta Erick Thohir mencabut Peraturan Menteri BUMN Nomor 10 Tahun 2020 agar persaingan usaha antara BUMN dan Swasta berlangsung sehat demi kepentingan nasional dan demi percepatan ekonomi nasional,” katanya.

Partai Gelora, kata Matnoer, menyarankan pemerintah segera melakukan langkah ini agar BUMN Karya bisa segera sehat dan tidak terjerat hutang lagi. Pertama, penugasan BUMN Karya untuk infrastruktur perlu diikuti Penguatan Ekuitas BUMN Karya.

Kedua, mendisiplinkan BUMN agar menjadi organisasi yang Efisien. Ketiga, divestasi aset BUMN melalui Lembaga Pembiayaan Indonesia (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA)

Sebagai gambaran, PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) pada tahun lalu meraih pendapatan Rp 16,53 triliun, anjlok 39,23% dari tahun sebelumnya. Laba bersih WIKA pun turun signifikan hingga 91,87% menjadi Rp 185,77 miliar.

Jumlah liabilitas jangka pendek WIKA naik menjadi Rp 44,16 triliun dari Rp 30,34 triliun pada 2019. Meski jumlah liabilitas jangka panjang WIKA mengalami penurunan, namun total liabilitas WIKA menanjak jadi Rp 51,45 triliun dari tahun 2019 yang sebesar Rp 42,89 triliun.

Tak jauh beda, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) mencatatkan penurunan laba bersih yang signifikan hingga 96,39%. ADHI membukukan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 23,97 miliar sepanjang tahun lalu.

Jumlah liabilitas ADHI pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp 32,51 triliun, naik 9,53% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 29,68 triliun. Liabilitas jangka pendek ADHI per tahun lalu senilai Rp 27,06 triliun, sedangkan liabilitas jangka panjang sebesar Rp 5,44 triliun.

Kondisi lebih tragis dialami oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Mampu mencetak laba sebesar Rp 938,14 miliar pada tahun 2019, WSKT berbalik menderita kerugian hingga Rp 7,38 triliun pada 2020.

Liabilitas jangka pendek WSKT meningkat jadi Rp 48,23 triliun pada 2020 dari sebelumnya Rp 45,02 triliun. Meski total liabilitas menurun dari Rp 93,47 triliun pada 2019 menjadi Rp 89,01 triliun pada 2020, namun bertambahnya jumlah ruas tol milik Waskita yang beroperasi justru menambah beban pinjaman yang mencapai Rp 4,74 triliun atau melonjak 31% secara tahunan.

“Pemerintah diminta dapat bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah utang perusahaan BUMN Karya yang makin menggunung. Kondisi dengan utang BUMN karya yang tidak terkendali akan menyebabkan persoalan kredibilitas BUMN secara keseluruhan bila tidak segera dicarikan solusinya,” katanya.

Matnoer sapaan politisi Partai Gelora itu menegaskan, bahwa persoalan BUMN karya tidak lepas dari pembebanan program infrastruktur yang berlebihan dan tidak diikuti prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

“Proyek yang tidak masuk secara pertimbangan ekonomi tetap dikerjakan sehingga memberatkan neraca BUMN karya disamping konsekuensi gagalnya divestasi proyek-proyek infrastruktur tahun penuh pandemi 2020,” ujarnya.

Bahkan dia menilai kalau akar masalah menggunungnya utang BUMN adalah kesenjangan antara kemampuan pendanaan domestik dan kebutuhan pembiayaan untuk infrastruktur nasional.

“Bagi Partai Gelora, persoalan utang ini tidak lepas dari gap antara kemampuan pendanaan dalam negeri dan kebutuhan pembiayaan untuk infrastruktur,” papar Matnoer.

Untuk itu, Matnoer mengingatkan bahwa ambisi infrastruktur pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat berbuah simalakama, bila tidak tersedia pendanaan dalam negeri termasuk rencana pembangunan Ibukota baru di Kalimantan Timur.

“Untuk menghindari mangkraknya infrastruktur di masa depan akibat kekurangan dana, Partai Gelora sarankan pemerintah untuk melakukan penambahan modal negara (PMN) kepada BUMN tersebut,” ujarnya.

Namun sebelum dilakukan penambahan tersebut, pemerintah perlu melakukan audit kinerja dan audit investigasi terhadap membengkaknya utang BUMN tersebut. Audit tersebut adalah keharusan karena utang membengkak menunjukan BUMN selama ini tidak dikelola secara berkelanjutan.

“Partai Gelora menilai banyak ketidakefisienan salah satunya karena proyek infrastruktur dijalankan tidak matang pertimbangan ekonominya,” sebutnya.

Proyek tersebut dianalisis rugi namun tetap dijalankan oleh pemerintah salah satunya adalah Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) dan Bandara Internasional Kertajati, Majalengka, Jawa Barat.

“Partai Gelora sejak awal lihat Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) dan Bandara Kertajati merupakan proyek yang pasti rugi karena tidak matang pertimbangan ekonominya,” tegasnya.

Persoalan lain yang disoroti hidayat adalah masalah pengelolaan BUMN dalam infrastruktur selama ini telah mematikan ekosistem persaingan yang sehat dengan pihak swasta. Sehingga swasta menjadi terpinggirkan dalam mayoritas proyek infrastruktur pemerintah di era kepemimpinan pak Jokowi.

Matnoer juga melihat akar masalahnya adalah banyak Dewan Komisaris dan Direksi BUMN merangkap jabatan di kementerian lembaga PUPR, Perhubungan dan BUMN. Bahkan, BUMN tiba-tiba menjadi regulator dan eksekutor dalam menjalankan proyek infrastruktur.

“Kementerian BUMN mengatur jabatan rangkap berdasarkan aturan Peraturan Menteri BUMN Nomor 10 Tahun 2020. Sungguh tidak sehat, rangkap jabatan bagi Komisaris dan Direksi BUMN saat ini. Rangkap jabatan berpotensi menyebabkan tidak fokusnya para direksi dalam melaksanakan tugas operasional BUMN,” tambahnya lagi.

Sebab, rangkap jabatan dalam prakteknya justru menyebabkan terjadinya praktik persaingan usaha tidak sehat, seperti kartel dan perjanjian eksklusif yang menghambat berkembangnya perusahan lain non BUMN.

“Partai Gelora meminta Erick Thohir mencabut Peraturan Menteri BUMN Nomor 10 Tahun 2020 agar persaingan usaha antara BUMN dan Swasta berlangsung sehat demi kepentingan nasional dan demi percepatan ekonomi nasional,” katanya.

Partai Gelora, kata Matnoer, menyarankan pemerintah segera melakukan langkah ini agar BUMN Karya bisa segera sehat dan tidak terjerat hutang lagi. Pertama, penugasan BUMN Karya untuk infrastruktur perlu diikuti Penguatan Ekuitas BUMN Karya.

Kedua, mendisiplinkan BUMN agar menjadi organisasi yang Efisien. Ketiga, divestasi aset BUMN melalui Lembaga Pembiayaan Indonesia (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA)

Sebagai gambaran, PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) pada tahun lalu meraih pendapatan Rp 16,53 triliun, anjlok 39,23% dari tahun sebelumnya. Laba bersih WIKA pun turun signifikan hingga 91,87% menjadi Rp 185,77 miliar.

Jumlah liabilitas jangka pendek WIKA naik menjadi Rp 44,16 triliun dari Rp 30,34 triliun pada 2019. Meski jumlah liabilitas jangka panjang WIKA mengalami penurunan, namun total liabilitas WIKA menanjak jadi Rp 51,45 triliun dari tahun 2019 yang sebesar Rp 42,89 triliun.

Tak jauh beda, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) mencatatkan penurunan laba bersih yang signifikan hingga 96,39%. ADHI membukukan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 23,97 miliar sepanjang tahun lalu.

Jumlah liabilitas ADHI pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp 32,51 triliun, naik 9,53% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 29,68 triliun. Liabilitas jangka pendek ADHI per tahun lalu senilai Rp 27,06 triliun, sedangkan liabilitas jangka panjang sebesar Rp 5,44 triliun.

Kondisi lebih tragis dialami oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Mampu mencetak laba sebesar Rp 938,14 miliar pada tahun 2019, WSKT berbalik menderita kerugian hingga Rp 7,38 triliun pada 2020.

Liabilitas jangka pendek WSKT meningkat jadi Rp 48,23 triliun pada 2020 dari sebelumnya Rp 45,02 triliun. Meski total liabilitas menurun dari Rp 93,47 triliun pada 2019 menjadi Rp 89,01 triliun pada 2020, namun bertambahnya jumlah ruas tol milik Waskita yang beroperasi justru menambah beban pinjaman yang mencapai Rp 4,74 triliun atau melonjak 31% secara tahunan. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *