JAKARTA, REPORTER.ID – Perdebetan soal penguatan kewenangan dan fungsi DPD RI yang semestinya sama dengan senator di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan sebagainya yang masih terus bergulir sejalan dengan munculnya wacana amandemen UU NRI 1945, namun belum ada titik temu antara DPD dan DPD/MPR RI sendiri. Jika DPR/MPR RI berkeinginan untuk dihidupkannya kembali pokok-pokok haluan negara (PPHN), tapi DPD RI ingin kewenangannya diperkuat dan adanya calon presiden (capres) perseorangan atau daerah, DPR justru mempertanyakan; apakah DPD RI ini sudah tepat disebut sebagai senator dan bikameral?
Wakil Ketua DPD RI Sultan Bahtiar Najamudin mengatakan bahwa penguatan DPD RI itu suatu keniscayaan dan itu harus dilakukan melalui amandemen. Sehingga amandemen itu harus dilakukan untuk mengikuti perkembangan zaman dan sejalan denga tuntutan masyarakat. “Nah, DPD RI ini dipilih langsung oleh rakyat dan jumlah keterpilihannya jauh lebih besar dibanding DPR RI, tapi kewenanganya setengah hati. Jadi, posisi DPD ini belum ideal. Padahal secara kelembagaan perwakilan itu perlu check and balances,” jelas Sultan.
Hal itu disampaikan dalam Obrolan Senator (Obras) ‘Amandemen dan bikameral upaya penataan untuk mewujudkan demokrasi modern berdasarkan konstitusi kenegaraan’ bersama Ketua Kelompok DPD RI Tamsil Linrung, anggota Komisi II DPR RI F-Golkar Zulfikar Arse Sadikin, pakar hukum tata negara Margarito Kamis, Denny Indrayana dan dibuka oleh Ketua DPD RI AA. LaNyalla Mahmud Matalitti di Gedung DPD/MPR RI Senayan Jakarta, Rabu (6/10/2021).
Lebih lanjut Sultan mengatakan jika keinginan DPD RI tersebut semata untuk menata kelembagaan negara dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sebab, banyak aspirasi masyarakat di daerah yang disampaikan ke DPD RI, namun DPD RI tidak bisa menindaklanjuti karena kewenangan DPD RI tidak bisa mengeksekusi, tidak bisa mengambil keputusan bersama pemerintah dan DPR RI. “Itulah yang menjadi masalah selama ini,” tuturnya.
Tamsil Linrung menegaskan jika gagasan penguatan DPD RI ini merupakan rekomendasi dari MPR RI yang saat itu dipimpin oleh alm. Taufiq Kiemas (TK), Zulkifli Hasan dan sampai sekarang. Bahwa bikameral itu bukan federal, seperti yang dikhawatirkan DPR RI. “Jadi, sudah saatnya DPD RI diperkuat. Toh, sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, gaji sama, tapi fungsinya yang masih setengah-setengah. Untuk itu, DPD RI saat ini sedang menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM),” ujarnya.
Namun Zulfikar justru mempertanyakan, apakah sudah benar DPD RI itu disebut sebagai senator dan menganut system politik bicameral? “Sebutan senator dan bicameral itu kenyataan atau harapan? Secara prinsip dan norma amandemen itu tidak dilarang. Tapi, mekanismenya panjang. Misalnya harus diusulkan 1/3 anggota MPR RI berikut pasal, alasannya dan solusinya seperti apa, itu mesti kuat. Lalu, desetujui 2/3 anggota MPR RI dan disahkan oleh 50 persen plus 1 anggota MPR RI yang hadir secara fisik,” jelas politisi Golkar itu.
Hanya saja saat ini menurut Zulfikar, wacana amandemen termasuk penguatan DPD RI belum menjadi tuntutan masyarakat, sistem ketatanegaraan masih berfungsi dan berjalan normal meski belum optimal. Sehingga tuntutan amandemen itu masih merupakan keinginan elit. Selain itu, jika mau amandemen itu harus memiliki momentum dan itu memang belum ada. Terlebih di tengah pandemi saat ini. “Wacana amandemen itu masih interest elit,” ungkapnya.
Margarito Kamis menilai jika postur ketatanegaraan ini didesign amburadul, sehingga DPR RI menjad tiran pada DPD RI. Padahal, ini hanya soal ketidakadilan politik, bukan yang lain. “Kita ini memang mendesign ketatanegaraan yang tidak waras, maka dengan alasan apapun harus diubah. Jika cukong-cukong menilai bahwa penguatan DPD RI itu tidak penting, maka selama itu pula tak akan ada penguatan kewenangan DPD RI,” katanya.