JAKARTA,REPORTER.ID – Masalah anti doping yang berakhir dengan jatuhnya sanksi bagi Indonesia, sehingga tidak bisa mengibarkan bendera Merah Putih di kejuaraan Thomas Cup Denmark 2021 lalu, selain lemahnya LADI juga Kemenpora RI yang dinilai lambat dan tidak maksimal dalam merespon keputusan Badan Anti Doping Dunia (WADA) itu sendiri.
Karena itu, Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI) harus diperkuat. “Harus menjadi lembaga sendiri, bukan ad hoc dan di tidak di bawah Deputi Kemenpora RI. Juga anggarannya, SDM-nya, berikut manajemen, program kerjanya dan sebagainya harus diperkuat mulai sekarang,” tegas Ketua Komisi X DPR RI H Syaiful Huda.
Hal itu disampaikan politisi PKB itu dalam dialektika demokrasi “Sukses Tim Thomas Cup Tanpa Kibaran Merah Putih, Ada Apa?” bersama Wakil Ketua Komisi X DPR RI F-Golkar Hj. Hetifah Saifudian, mantan Ketua LADI Zaini Khadafi dan Ketua Bidang Saince Sport yang juga mantan atlet bulu tangkis nasional Lilik Sudarwati di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Kamis (21/10/2021).
Lebih lanjut Syaiful Huda meminta semua pihak dalam kasus Merah Putih ini tidak menyalahkan LADI, karena mamang posisinya lemah, dan akibat lambatnya respon Kemenpora RI. “Toh, warning anti doping itu sudah diingatkan jauh-jauh hari dimana setelah tanggal 15 September 2021 hingga 7 Oktober 2021, ternyata Menpora RI tidak memanfaatkan waktu selama 21 hari itu secara maksimal,” ujarnya kecewa.
Padahal, dari 7 negara yang disanksi itu pada 7 Oktober ada 2 negara yang lolos yaitu Montenegro dan Rumania. “Artinya kalau Kemenpora RI mampu.memanfaatkan waktu 21 hari tersebut Indonesia bisa lolos dari sanksi dan bisa mengibarkan Merah Putih di Thomas Cup,” jelas Ketua DPW PKB Jawa Barat itu.
Dengan demikian Syaiful Huda menyimpulkan bahwa Kemenpora RI belum menjadikan anti doping itu sebagai sesuatu yang urgen, tidak konsen. Bahkan terkesan meremehkan. Sementara sanksi yang berlaku selama satu tahun itu bisa mengganggu Indonesia dengan tidak bisa memggelar event-event internasional ke depan.
Misalnya turnamen bulu tangkis di Bali, panjat tebing yang dipimpin Yenny Wahid, World Superbike Mandalika, Formula E 2022, dan lain-lain, yang sangat merugikan Indonesia. “Tentu kita optimis semoga Kemenpora dan LADI ke depan bisa memenuhi syarat-syarat yang ditentukan WADA tersebut, sehingga sanksi itu bisa segera dicabut,” ungkapnya.
Menurut Syaiful, kalau mau obyektif dan transparan sesungguhnya dari sanksi itu apa saja yang harus dipenuhi oleh LADI – Kemenpora RI bisa dibaca secara terang – benderang. “Jadi, pembentukan tim investigasi itu tidak nyambung dengan ketentuan yang ditetapkan WADA dan itu tak bisa diselesaikan dengan lobi,” tambahnya.
Hetifah juga mendukung pentingnya review, revitalisasi dan memperkuat LADI. Baik dari sisi kelembagaan yang berdiri sendiri, program, anggaran, SDM, manajemen, edukasi, sosialisasi dan sebagainya, agar bisa menyelesaikan berbagai masalah tetkait sains sport atau anti doping tersebut.
Pada prinsipnya kata Waketum Golkar itu, semua stakholder harus belajar dari kasus ini dan pemerintah tidak boleh lepas tangan. “Saya optimis kasus ini akan segera selesai dengan langkah-langkah yang dilakukan Kemenpora RI saat ini. Termasuk secara kelembagaan dan SDM LADI bisa diperkuat melalui RUU SKN (Sistem Keolahragaan Nasional). Apalagi LADI yang diakui oleh WADA,” kata Hetifah.
Menurut Zaini, LADI memang harus diperkuat sejak hari ini. Karena banyak point-point penting terkait sains sport, anti doping yang harus diselesaikan. Yang dari WADA saja dalam sanksi itu ada sekitat 500-an point yang harus dipenuhi.
“Intinya harus jadi lembaga yang profesional. Selama ini SDM hanya lima orang dan tidak digaji sebagainana mestinya. Jadi, harus jadi lembaga permanen. Perlu diingat, kalau kita tak bisa penuhi ketentuan WADA, sanksi bisa ditambah yang bukan saja dilarang mengibarkan Merah Putih, tapi negara Indonesia bisa tidak disebut dalam event-event internasional dan diganti oleh IOC (Komite Olimpiade Internasional/International Olympic Committee,” kata Zaini.
Sementara itu Lilik Sudarwati yang pernah juara di kejuaraan bulu tangkis All England dan Uber Cup tahun 1996, merasa sangat sedih. Sebab, bagi atlet untuk menjadi juara itu tidak mudah. “Mereka ini harus latihan dan kerja keras selama bertahun-tahun hingga berlatih di negara lain demi Merah Putih. Tapi, begitu juara lalu tanpa Merah Putih berkibar pasti sangat sedih seperti merobek – robek nasionalisme atlet. Kita semua menangis di group mantan atlet bulu tangkis nasional,” tuturnya.
Lilik mengakui kalau pemerintah sekarang ini perhatiannya pada atlet luar biasa. “Berbeda dengan dulu. Saya juara di PON dapat hadiah TV 14 inc dan bonus Rp250 ribu. Itu pun masih harus ambil sendiri di Petamburan. Tapi, sekarang bonusnya hingga belasan miliar rupiah. Saya ucapkan selamat dan terima kasih pada adik-adik yang telah merebut kembali Piala Thomas Cup, dan tinggal Piala Sudirman yang belum kembali ke tanah air,” tutur Lilik.