JAKARTA, REPORTER.ID – Pokok – Pokok Haluan Negara (PPHN) dipastikan didukung oleh seluruh rakyat Indonesia. Karena PPHN itu akan menentukan arah, tujuan dan pencapaian pembangunan untuk Indonesia untuk 20 hingga 100 tahun ke depan. Hanya saja agar PPHN itu mengikat maka harus memiliki konsekuensi hukum bagi presiden, penyelenggara negara dan kepala daerah.
Demikian benang merah diskusi “Haluan Negara sebagai Kaidah Penuntun Pembangunan Nasional” bersama Wakil Ketua MPR RI Syariefudin Hasan, Arsul Sani, anggota MPR RI FPKB Yanuar Prihatin dan Hj. Ledia Hanifah Amaliah (FPKS) di Bandung, Sabtu (23/10/2021). Hadir Sekjen MPR RI Ma’ruf Cahyono, Kabiro Humas MPR RI Hj. Siti Fauziah, Kabag Pemberitaan MPR RI Budi Muliawan, Plt Kabiro Pemberitaan DPR RI Joko Anggoro, dan Kepala PHM DPD RI Mahyu Dharma dan lain-lain.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan mengatakan kalau PPHN itu sangat dibutuhkan bagi kepentingan bangsa dan negara ini. Sehingga dengan PPHN rakyat akan mengetahui arah dan pencapaian pembangunan untuk 20 hingga 100 tahun ke depan. “Dan, agar dokumen negara ini bersifat mengikat, maka harus memiliki konsekuensi hukum. Kalau tidak, maka PPHN itu tak ada artinya,” ujarnya.
Lalu, apakah dalam bentuk UU, TAP MPR RI atau konstitusi? Itulah kata Syarief Hasan yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Hanya saja kalau dalam bentuk UU, akan terjadi pergeseran sistem ketatanegaraan. Khususnya terkait pilpres langsung oleh rakyat yang sudah diatur oleh UU Pemilu.
Khusus sanksi kata Syarief, bukan berarti impeachment atau pelengseran presiden, karena hal itu sudah diatur tersendiri melalui Tata Cara Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden, berdasarkan ketentuan Pasal 7B UUD NRI 1945. “PPHN ini terminologinya saja yang belum ketemu. Tapi, kalau harus amandemen akan terjadi pro kontra yang cukup kuat di masyarakat,” ungkapnya.
Arsul Sani minta dibuat matrik terkait alasan kelompok masyarakat yang pro maupun yang kontra selama satu tahun wacana ini bergulir.
Sehingga tak sekedar menjadi wacana PPHN itu apakah perlu atau tudak? Tapi lebih maju lagi khususunya bagi kelompok yang kontra, apa argumentasinya? Sebab, sampai saat kata
Arsul, yang belum bulat adalah wadahnya; UU, TAP MPR atau dalam UUD NRI 1945.
Ia sepakat PPHN itu harus ada sanksi sebagai konsekuensi konstitusionalnya. Bahwa PPHN itu merupakan haluan negara, bukan haluan pemerintah atau presiden yang harus dijalankan yang oleh bukan saja presiden, tapi lemmbaga tinggi negara yang lain juga pemerintah daerah. Seperti lembaga pengadilan, MA, MK dan lain-lain. “Jadi, PPHN itu tinggal payung hukumnya saja. Tapi, kalau dalam bentuk TAP MPR saya yakin akan cepat selesai,” jelas Waketum PPP itu.
Yanuar Prihatin berkesimpulan kalau sampai saat ini perkembangan PPHN ini progres kesimpulannya adalah jalan.buntu. Sebab, ada tembok yang kuat untuk menjadikan PPHN itu sebagai dokumen negara. PPHN ini juga harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Kalau tidak, maka yang dibahas hanya yang ringan-ringan saja. Seperti halnya membaha soal topik, tema, pro kontra dan sebagainya. Bukan lagi.bagaimana cara menerobos kebuntuan tersebut. Namun, Yanuar optimis PPHN ini akan didukung masyarakat karena sudah pernah punya pengalaman akan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).
“Artinya kita mestimya harus masuk ke.masalah politik makro nasional dengan berbagai ketegangan politik yang ada. Sebab, kita khawatir ibarat bola yang sudah menggelinding, itu jangan sampai penonton ikut menendang,” ungkapnya.
Menurut Ledia Hanifa Amaliah, PPHN itu harus dikaji secara mendalam. Baik terkait sosial politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Dan, apakah dalam bentuk UU, TAP MPR RI, atau amandemen, yang penting harus ada konsekuensi hukumnya kalau tidak dijalankan. “Jadi, semua sepakat kalau PPHN itu dibutuhkan,” tambahnya.