Menanam Nilai Kepahlawanan kepada Anak

oleh
oleh

 Oleh  Dasman Djamaluddin

Di era Covid-19 ini, kita hanya bisa menyaksikan jelangb Peringatan Hari Pahlawan Nasional (PHPN)  2021 dengan menyaksikan peringatan sebelum Covid-19, yaitu pada tahun 2019.

Pada tahun 2019 tersebut terlihat  sejumlah 600 pelajar SD dan SMP di wilayah Jabodetabek pada tanggal 5 November mengikuti kegiatan Ziarah Wisata di Taman Makam Pahlawan Utama (TMPNU) Kalibata, Jakarta Selatan.

Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian peringatan Hari Pahlawan tahun 2019 waktu itu, yang diselenggarakan oleh Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan, dan Restorasi Sosial (K2KRS), Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial RI.

Nilai-nilai kepahlawanan sangat perlu untuk ditanamkan sejak dini pada anak-anak usia sekolah, sehingga mereka dapat memahami arti kepahlawanan di era modern sekarang ini.

Memang, bentuk pahlawan masa kini bisa banyak, misalnya menjadi pahlawan dalam keluarga, seperti membantu pekerjaan ibu di rumah, juga merupakan pahlawan masa kini.

Saya tidak tahu, apakah di masa Covid-19 ini, acara serupa tetap dilaksanakan atau tidak. Yang jelas, susana tahun 2019 itu sangat semarak. Ada beberapa kegiatan yang diselenggarakan waktu itu, yaitu apel pembukaan, ziarah dan tabur bunga di makam pahlawan, dan quiz tentang nilai-nilai kepahlawanan bersama Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI), bisa menumbuhkan jiwa kepahlawanan kepada anak.

Almarhum Jenderal TNI Basoeki Rachmat

Di TMP Kalibata, Jakarta,  pada tanggal 5 November 2019 itu juga,  ketika  berlangsung  acara ziarah wisata, saat tabur bunga di makam Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat, saya dikirimi berita dari antaranews.com mengenai wawancara putra bungsu almarhum, yaitu Bambang Wasono Prapto.

Almarhum Jenderal TNI Basoeki Rachmat dikenal sebagai pelaku sejarah,  ketika terjadi peralihan dari pemerintahan Presiden Soekarno kepada Jenderal TNI Soeharto. Sudah tentu bangsa Indonesia tidak bisa melupakan begitu saja sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966 yang lebih dikenal dengan istilah Supersemar. 

Tetapi apa kaitanya dengan Hari Pahlawan ? Ketika Jenderal TNI Basoeki Rachmat diberitakan meninggal dunia pada hari Kamis, 9 Januari 1969 dalam usia 47 tahun,  maka Departemen Penerangan RI waktu itu, pada hari Kamis itu juga telah menetapkan Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat sebagai Pahlawan Nasional.

Oleh karena itu, benar apa yang dikatakan Mayor Jenderal TNI Sukotjo Tjokroatmodjo, mantan pengawal Presiden Soekarno kepada saya pada tahun 2010 bahwa pahlawan itu ditentukan oleh waktu dan tempat.

Sukotjo Tjokroatmodjo adalah seorang sejarawan Indonesia, pegawai negeri sipil dan pensiunan Mayor Jenderal. Ketika saya bertemu beliau, ia waktu itu menjabat sebagai Wakil Ketua Umum III Dewan Pimpinan Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Saya waktu itu membantu Majalah LVRI “Veteran,” sebagai Redaktur Pelaksana. 

Mayor Jenderal (Purn) Sukotjo adalah orang yang menyaksikan pertempuran dalam Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Dia kemudian menjadi asisten untuk kerja sama internasional dengan Menteri Pertahanan, antara 1978-1984. Lahir pada 18 Desember 1927 dan meninggal dunia pada 16 Maret 2017, di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Hak Istimewa Presiden

Untuk menetapkan siapa yang layak dan patut dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional, itu adalah hak seorang  Presiden Republik Indonesia. Memang tidak ada yang mengkritik,  karena sejak awal, penganugerahan sebagai Pahlawan Nasional merupakan hak istimewa seorang Presiden Republik Indonesia.

Lihatlah dalam perjalanan Sejarah Indonesia. Kadang kala seorang presiden mengambil keputusan sendiri. Misalnya, di masa Presiden Pertama Soekarno. Ia pernah mengangkat dua orang Pahlawan Nasional dari unsur komunis, masing-masing Tan Malaka dan Alimin Prawiradirdjo. Unsur komunis tidak berarti 100 persen komunis.

Tan Malaka atau Ibrahim, gelar Datuk Tan Malaka, lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897. Ia dapat disejajarkan dengan para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia diakui sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53 yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963.

Terlepas dari niat Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka dan Alimin Prawiradirdja untuk mendukung gagasannya Nasakom (Nasionalis, Agama, dan unsur Komunis), tetapi hubungan Tan Malaka dengan PKI tidak berjalan mulus. Ia menentang revolusi rakyat PKI pada 1926, dan memutuskan hubungan dengan PKI.

Apalagi gelar Pahlawan Nasional-nya tidak pernah dicabut. Di masa Pemerintahan Soeharto, Departemen Sosial, istilah sekarang kementerian, mengusulkan agar gelar kedua Pahlawan Nasional itu dicabut, tetapi ditolak presiden. Berarti hingga hari ini, Tan Malaka dan Alimin Prawiradirdjo tetap sebagai Pahlawan Nasional. (Penulis adalah sejarawan dan wartawan senior)

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *