Menyoal Etik Bernegara (Bagian-4)

oleh
oleh

Oleh : Zainal Bintang

 

“Manuver Politik Para Menteri Dinilai Sudah Tidak Etis”. Ini adalah judul berita Harian Kompas, Rabu (11/05/2022) yang blak – blakan dan terbuka mengkritisi maraknya tingkah laku sejumlah menteri kabinet pemerintahan Jokowi. Indikasi itu menunjukkan betapa besarnya nafsu pribadi sebagai makhluk mau maju merebut tiket sebagai calon presiden (capres) pada Pilpres/Pemilu 2024.

Apa yang salah? Tentu saja tidak ada yang salah. Secara hukum manuver para menteri itu tidak ada yang salah. Sebagai makhluk politik, keniscayaan pencitraan diri adalah hukum besi politik. Satu – satunya kesalahan mereka karena menafikan etika. Sejatinya mereka patut menjadi suri tauladan “berharga mati” sebagai pejabat publik. Ketauladanan wajib hukumnya diwariskan kepada generasi muda berikutnya. Sebagai proses pelembagaan legasi kultural yang berkeadaban.

Para menteri yang berpotensi maju dalam Pilpres 2024 diminta tetap mengutamakan tugasnya. Tidak memanfaatkan jabatan untuk berkampanye terselubung. Kerja pemenangan pemilu hendaknya dioptimalkan tim sukses. Manuver-manuver yang dilakukan para menteri yang memiliki intensi untuk berkontestasi pada Pemilu Presiden 2024, menurut sejumlah pihak, sudah berlebihan dan tidak etis.

Presiden Jokowi akhirnya merasa perlu dan mendesak untuk memberikan arahan agar jajaran kabinetnya fokus pada tugasnya masing-masing itu. Hal itu dikemukakan Jokowi saat menyampaikan pidato pengantar Sidang Kabinet Paripurna yang digelar pada Senin (09/05/2022), di Istana Negara, Jakarta. Arahan itu disampaikan Presiden sebagai arahan terakhir dari enam arahan. Diantaranya terkait dengan penanganan pandemi Covid-19, kemunculan penyakit baru, dan gejolak ekonomi global akibat perang Ukraina, serta kebijakan moneter Amerika Serikat.

“Agenda-agenda strategis nasional yang menjadi prioritas kita bersama betul-betul bisa kita pastikan terselenggara dengan baik, Pemilu terselenggara dengan baik, lancar, dan tanpa gangguan,” kata Jokowi. Beritanya meluas di media. Di Indonesia dan luar negeri.

Publik mencatat, ada manuver kandidat capres yang lucu. Karena pro aktif menggali silsilah keturunannya dari dinasti kerajaan tertentu sebagai bumbu penyedap, mungkin. Aneh dan lucu, tulis teman saya melalui pesan WhatsApp:

“Bukankah Jokowi dulu justru bisa terpilih jadi presiden – bahkan dua kali, – karena alasan berasal dari rakyat biasa. Bukan dinasti siapa – siapa. Bukan turunan darah biru. Bukan bagian rezim Orbanya Soeharto”.

Belakangan, sejumlah menteri yang merasa berpotensi menjadi capres, terberitakan rajin berkunjung ke pondok – pondok pesantren seusai lebaran. Topiknya silaturahmi. Tetapi pergerakan mereka tetap saja tidak mampu menyembunyikan pesan dibaliknya: manuver politik. Sebuah kegiatan beraroma pencitraan. Bertujuan koleksi simpati dari pasar politik. Di tataran akar rumput: rakyat. Rakyat itu telah direndahkan derajatnya, hanya sebatas sebagai sumber mata air suara. Yang bisa dibeli melalui operasi serangan fajar timses. Menyebar amplop yang isinya mungkin setara untuk sepuluh liter beras saja. Tapi berkuatan legitimasi politik sampai lima tahun.

Kalangan kiai dan santri tidak pernah absen menjadi salah satu kelompok yang kerap didatangi elite politik setiap menjelang pemilu. Hal itu kembali terlihat saat ini ketika sejumlah figur potensial calon presiden intens berkunjung ke sejumlah pondok pesantren. Kedekatan dengan kiai dan santri diyakini melapangkan jalan untuk memperoleh simpati dari kalangan pemilih muslim.

Namun, tidak lama setelah itu, “jubir” para menteri yang merasa tersodok oleh kecaman dari publik, rame – rame melakukan klarifikasi. Petinggi Golkar menyebut Airlangga Hartarto, sebagai Ketua Umum Golkar tidak penah melepaskan tanggung jawabnya sebagai Menko Bidang Ekonomi: untuk memulihkanekonomi nasional. Pejabat Kementerian BUMN menyebutkan, hingga saat ini Erick Thohir, Meneg BUMN itu masih tetap fokus mentransformasi BUMN dan belum terfikir soal Pilpres 2024. Foto dirinya di mesin ATM Bank BUMN banyak dipertanyakan masyarakat, tidak diambil peduli.

Erick Thohir dilantik menjadi anggota kehormatan Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU), Minggu (28/11/2021). Resmi menjadi anggota kehormatan Banser NU, begitu selesai mengikuti seluruh rangkaian pendidikan dan pelatihan dasar: jalan jongkok, merayap, mencari baret, hingga meneriakkan yel-yel.

Menparekraf Sandiaga Uno. Manuvernya sudah sangat jauh. Bagaikan burung terbang tinggi. Berjuang untuk menggapai kursi orang nomor satu di negeri itu. Kemana saja dia melakukan kunjungan kerja, pasti selalu dihiasi dengan acara tambahan yang spektakuler: “deklarasi dukungan jadi capres”.

Sementara itu tindak tanduk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga menyita perhatian publik. Banyak diekspose di berbagai media mainstream. Terutama televisi nasional. Tapi orang dalam ketum Gerindra itu pun perlu meluruskan, “Pertemuan Prabowo Subianto dengan sejumlah ulama beken pimpinan Pondok Pesantren di Jawa Timur, merupakan silaturahmi biasa dalam rangka merayakan lebaran”.

Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengecam aneka manuver menteri. Karena, bahkan ada pula yang kerap tampil dalam berbagai acara komedi di televisi. “Situasinya sudah berlebihan. Secara etika, ini merupakan kampanye terselubung yang tidak etis”.

Media Indonesia, menurunkan editorial “Cegah Dualisme Kesetiaan Menteri” yang dibahas di Metro Tv, Selasa pagi (17/05/2022). Menurunkan tulisan antara lain: Apalagi tantangan kian berat di tahun politik karena kemungkinan terjadinya dualisme kesetiaan dari elite partai politik di kabinet. Dualisme fokus pasti terjadi, yakni para pemimpin parpol yang duduk di kabinet tentu telah menjalankan strategi menuju Pemilu 2024.

Bagaimanapun, tidak mudah membagi fokus antara menjalankan tugas negara dan melayani syahwat politik pribadi, kelompok, dan golongannya. Terlebih lagi dalam kondisi pemerintahan saat ini yang dalam berbagai hal tidak bisa dikatakan memuaskan. Tentu publik jengah menyaksikan para menteri dengan posisi sentral di sektor perekonomian yang juga ketua umum parpol malah membuat panggung politik koalisi menuju perebutan kekuasaan seusai Presiden Joko Widodo lengser pada 2024.

Redaktur senior Media Indonesia, Elman Saragih terang – terangan mengatakan manuver para menteri tersebut adalah penanda sikap “orang yang tidak punya malu”.

Teman pelanggan pesan WhatsApp, kembali mengingatkan ucapan Earl Warren: “In civilized life, law floats in a sea of ethics” (dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudra etika). “Hukum itu sebagai sesuatu yang hanya dapat tegak. Berlayar. Bergerak. Di atas etika. Etika adalah landasan bagi hukum. Dan hukumpun mengapung di atas samuderanya”. (Penulis, adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)

 

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id