Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi (net)
Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi
(Founder of Numberi Center)
Tanah Papua telah berada dalam NKRI selama 60 tahun sejak 1 Mei 1963 – 1 Mei 2023, namun masyarakat luas merasa bahwa mereka belum sejahtera sebagai bangsa dan warga negara Indonesia. Mengapa demikian??? Karena ada banyak masalah di Tanah Papua yang belum teratasi dengan baik, dapat disebut sebagai “krisis multidimensi”.
Untuk mengatasi krisis multidimensi, Pemerintah Nasional telah meluncurkan berbagai kebijakan antara lain, UU No.21 Tahun 2000 tentang Otonomi Khusus (OTSUS) bagi Provinsi Papua, juga UU No.2 Tahun 2021 sebagai kelanjutan dari OTSUS jilid I. Kemudian Presiden Jokowi telah mengeluarkan paradigma baru tentang pembangunan di Tanah Papua, tetapi semua itu belum menjawab dengan baik masalah-masalah yang ada di Tanah Papua. Intinya masyarakat Papua belum sejahtera lahir dan bathin selama menjadi bagian dari negara Indonesia tercinta.
Ada 4 (empat) akar masalah yang membuat Tanah Papua tetap membara sebagaimana hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu : 1. Kegagalan Pembangunan. 2. Marjinalisasi. 3. Diskriminasi Orang Asli Papua, Kekerasan Negara dan Tuduhan Pelanggaran Ham. 4. Sejarah dan Status Politik Wilayah Papua.
Di samping itu ada hal lain yang belum ditangani pemerintah secara tuntas, yaitu : Pertama, hak-hak politik dalam negara demokrasi seperti Indonesia sulit sekali diekspresikan malah diredam dan dicurigai sebagai separatis. Kedua, kesenjangan ekonomi antara pendatang dan Orang Asli Papua(OAP) sangat menyolok sebagai akibat tidak adanya keberpihakan kepada mereka.
Contoh :
(1) | PT Freeport Indonesia jumlah pekerjanya | : 36.000 orang |
OAP hanya | : 2800 orang | |
(2) | LNG Tangguh di Bintuni, pekerjanya | : 18.000 orang |
OAP hanya | : 1.200 orang
|
|
(3) | Kelapa Sawit di Merauke, di 19 Basecamp,
Pekerjanya (KORINDO) |
: 41.000 orang |
OAP hanya | : 1.900 orang | |
(4) | Pabrik Semen PT. KONCH di Manokwari, pekerjanya |
: 7.000 orang |
OAP hanya | : 350 orang | |
(5) | Belum lagi dibidang pemerintahan, sebagai contoh Dinas Pertambangan Provinsi Papua, Jumlah |
: 300 pegawai |
OAP hanya | : 5 pegawai |
(Data dari hasil wawancara dengan pakar hukum OAP, yaitu Amon Beroperai SH).
Banyak perusahaan tambang telah “merampas” tanah ulayat masyarakat adat Papua secara semena-mena dan membuat mereka makin merosot dalam kemiskinan yang semakin dalam. Harusnya melalui perusahaan-perusahaan tambang yang besar itu ada idealisme yang terkandung dalam mereka berbisnis, yaitu “bagaimana membuat OAP mencintai Indonesia”. Tanpa idealisme OAP akan terus teriak merdeka sebagai luapan kekesalannya terhadap pemerintah.
Ketiga, penegakan hukum belum berjalan dengan baik, bahkan masih sarat dengan KKN.
Keempat, OAP tergerus dari akar budayanya, karena pembangunan yang ada tidak mengintegrasikan budaya mereka dalam Filosofi Pembangunan dan Sifat Pembangunan yang berbasis lokalitas budaya mereka sendiri.
Kelima, dalam bidang keamanan, pendekatan yang dilakukan selama ini adalah pendekatan sekuriti hanya menimbulkan benturan dan konflik yang akhirnya menghasilkan kebencian rakyat terhadap pemerintah.
Keenam, masalah OTSUS bukan sebagai jalan penyelesaian yang baik(win-win solution) untuk mensejahterakan dan sebagai aksi afirmasi maupun proteksi terhadap OAP dalam melaksanakan roda pemerintahan yang ada bagi kepentingan masyarakat di Tanah Papua.
Dana OTSUS sangat besar, hasilnya hanya dinikmati kelompok masyarakat tertentu atau oknum elite tertentu baik di daerah maupun di pusat yang mengakibatkan rakyat, akar rumput OAP menderita sebagai bagian dari NKRI.
Pluralitas etnik, suku, ras dan agama di bumi Nusantara tercinta, tidak selalu muncul sebagai taburan mozaik yang indah dan harmonis, tetapi juga sarat dengan potensi konflik. Potensi konflik ini akan muncul lebih dahsyat lagi manakala dipicu kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan politik, baik secara vertikal maupun horizontal. Diperlukan komitmen semua pihak agar reformasi yang sedang berjalan ini dapat menjadi solusi perbaikan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, lebih khusus lagi di Tanah Papua sebagai bagian integral NKRI tercinta.
Dengan kualitas perbaikan yang tepat dan terukur penulis yakin bahwa kita dapat mengeliminir isu-isu negatif yang berkembang di Tanah Papua serta membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi kerakyatan OAP agar lebih sejahtera lahir dan bathin, sesuai dengan martabat manusia (human dignity) sebagai ciptaan Ilahi.
Dengan mencontoh negara-negara tetangga seperti China, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Malaysia, seharusnya Indonesia melakukan hal yang sama sejak semula 1 Mei 1963 di Tanah Papua. Hal itu sejalan dengan :
- UUD 1945, Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3)
- Resolusi PBB nomor 47/135, tanggal 18 Desember 1992 Pasal 1 ayat (1) dan (2) serta Pasal 2 ayat (20 yang menyatakan bahwa, “Persons belonging to minorities have the rights to participate effectively in cultural, religious, social, economic, and public life. – Orang-orang yang termasuk minoritas memiliki hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi, dan publik.”
Indonesia sebagai negara demokrasi, seyogyanya dapat merangkul dan mengakomodasikan kepentingan Orang Asli Papua dalam suatu sistem pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa. (Good and Clean Governance). Seperti apa yang terjadi dibeberapa negara diatas.
Menurut penulis: “Minority rights and equal treatment of all citizens should be enshrined as a basic principle of Good Governance. – Hak-hak minoritas dan perlakuan yang sama terhadap semua warga negara harus diabadikan sebagai prinsip dasar Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa.” Mikhail Gorbachev berkata :”Peace is not unity in similarity but unity in diversity, in the comparison and conciliation of differences. And, ideally, peace means the absence of violence.” (The Road We Traveled, The Challenges We Face, Moscow,2006:hal.10). (Penulis adalah mantan Menhub, mantan Menpan-RB, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Gubernur Papua, mantan Dubes RI untuk Italia dan Malta, dan pendiri Numberi Center).