Prof. Amir Santoso (net)
Oleh : Prof. Amir Santoso
Ada foto di medsos, ruangan sidang pleno di DPR hanya diisi beberapa gelintir anggota DPR. Itupun sebagian sedang tidur pulas. Maka banyaklah yang mengecam kejadian tsb.
Sidang pleno DPR dan DPRD itu sifatnya hanya seremonial atas pengesahan satu atau beberapa RUU menjadi UU. Jadi bisa dimaklumi jika sebagian anggota menjadi malas hadir atau tertidur.
Sebagian lagi beralasan tidak bisa hadir karena sedang berada di dapil masing-masing. Juga ada alasan karena sidang-sidang DPR dan DPRD bisa dihadiri secara online. Tapi sekarang pandemi kan sudah dianggap berakhir?
Yang lebih ramai tentunya dalam sidang-sidang komisi yang mendiskusikan konten RUU. Jadi jika ingin sidang pleno itu dihadiri banyak anggota, maka jadikan sidang tersebut bukan hanya seremonial. Artinya, diubah formatnya. Atau dibuat sanksi bagi anggota yang tidak hadir.
Sebenarnya sidang pleno DPR yang nyaris kosong itu hanyalah salah satu akibat dari kurangnya rasa tanggung jawab sebagian anggota DPR terhadap rakyat. Kurangnya tanggung jawab itu disebabkan oleh tidak akrabnya hubungan rakyat dengan para wakil mereka di DPR dan DPRD. Jangankan akrab, kenal pun tidak.
Sebab sistem pemilu yang kita lakukan tidak memungkinkan rakyat tahu, kenal dan akrab dengan orang yang akan mewakili mereka di DPR dan DPRD. Pemilih hanya hadir di lokasi pemilu, mencoblos tanda gambar partai atau foto calon yang mungkin dia lihat di poster-poster di sekitar kampung mereka.
Padahal banyak dari pemilih itu tidak tahu dan tidak kenal para caleg tsb. Apalagi jika dalam pemilu 2024 nanti digunakan lagi sistem pemilu tertutup. Pasti makin banyak pemilih yang tidak kenal caleg tersebut. Makin asing saja apabila caleg tersebut berasal dari luar kampung bahkan dari luar propinsi dapilnya.
Dengan sistem pemilu yang kita anut dewasa ini tidak mungkinlah kita mengenal para caleg yang mewakili daerah tempat tinggal kita. Karena tidak kita kenal, kitapun tidak tahu alamat rumah dan nomer telpon, HP atau WA mereka. Padahal alamat dan nomer telpon tersebut diperlukan jika sewaktu-waktu rakyat bermaksud melaporkan masalah yang sedang mereka hadapi agar ditangani oleh pemerintah.
Memang ada reses yang digunakan untuk katanya menjaring aspirasi di dapil masing-masing. Mungkin juga para wakil rakyat tersebut memang benar bertemu dan berbincang dengan rakyat di dapilnya. Tapi bagaimana kita tahu bahwa wakil kita itu telah benar-benar menyuarakan aspirasi kita?
Saya sudah puluhan tahun tinggal di Jatiwaringin, Pondokgede, tidak pernah tahu, tidak pernah kenal dan tidak pernah bertemu dengan wakil rakyat yang mewakili saya di DPRD apalagi yang di DPR. Memang aneh, wakil rakyat tapi tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya.
Karena tidak saling kenal itulah maka rasa tanggung jawab para wakil rakyat itu terhadap yang diweakilinya sangat rendah, bahkan mungkin tidak ada. Sebab mereka tahu dan sadar bahwa rakyat tidak bisa mengawasi apalagi mendesak agar mereka di-recall oleh partainya.
Jadi sepinya ruang sidang paripurna tersebut, juga adanya beberapa UU yang dianggap tidak mencerminkan kehendak rakyat, membuktikan kemandirian anggota DPR dan DPRD. Mandiri dari kehendak dan pengawasan publik serta kurangnya rasa bertanggung jawab mereka terhadap rakyat.
Jadi jika ruang sidang paripurna ingin ramai dan rasa bertanggungjawab anggota DPR dan DPRD terhadap publik ingin ditingkatkan, maka ubah dulu aturan main untuk Sidang Pleno dan jangan lagi gunakan sistem pemilu yang kita terapkan dewasa ini. Ganti dengan sistem pemilu yang memungkinkan terpilihnya anggota legislatif yang kenal dan dikenal serta bisa dihubungi setiap saat oleh rakyat yang diwakilinya. (Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI, Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta)