Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi (net)
Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi
Pengamat Politik dan Pendiri Numberi Center
Globalisasi dewasa ini membawa perubahan dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di Indonesia. Berakhirnya Perang Dingin dengan runtuhnya Uni Soviet pada 21 Desember 1991 setelah berdiri 69 tahun (1947-1991) lamanya. Uni Soviet menjadi aliansi negara-negara komunis Blok Timur selama Perang Dingin berlangsung.
Mikhail Gorbachev, Sekretaris Jendral Partai Komunis Uni Soviet sejak tahun 1980-an menerapkan kebijakan Glasnost (keterbukaan dan transparansi) pada semua institusi pemerintahan Uni Soviet, termasuk kebebasan informasi. Kebijakan Glasnost sebagai bentuk respons kemerosotan ekonomi dan politik yang tengah dialami Uni Soviet saat itu, terutama mengatasi masalah korupsi yang dilakukan oleh para pejabat tinggi Uni Soviet.
Indonesia juga mengalami hal yang sama, di mana Presiden Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 setelah runtuhnya dukungan kepresidenannya selama 32 tahun. Wakil Presiden B.J.Habibie kemudian mengambil alih kursi kepresidenan dan diresmikan sebagai Presiden RI, kemudian membentuk Kabinet Reformasi.
Lengsernya Presiden Suharto, karena Indonesia mengalami krisi ekonomi dan politik yang parah, berasal dari krisis keuangan Asia pada tahun 1997. Era Reformasi yang kita dengungkan saat itu dengan agenda antara lain, melaksanakan ekonomi daerah yang seluas-luasnya, menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), penegakan hak asasi manusia (HAM) dan penegakan kebebasan pers.
Kita tidak bisa pungkiri bahwa ada dampak positif dari Reformasi, yaitu : Pertama, mendorong kehidupan politik yang terbuka, dinamis dan demokratis. Kedua, tingginya minat dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan negara (Parpol, Ormas/LSM dan Independen).
Kita juga tidak bisa menghindari kenyataan bahwa dampak negatif dari Reformasi adalah : Pertama, korupsi yang merajalela di daerah akibat otonomi yang terdesentralisasi. Kedua, lingkungan hidup yang rusak, akibat penebangan hutan dan pertambangan yang tidak dapat dikendalikan dalam skala besar yang diberikan otoritas daerah (Kalimantan, Sumatra dan Papua). Ketiga, tindakan kekerasan di daerah di Indonesia, aspek etnis maupun agama karena munculnya persaingan untuk posisi lokal terutama dalam pemerintahan di daerah dengan adanya kebangkitan etnis dalam hal kebebasan.
Dengan runtuhnya World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001, juga dianggap sebagai momen yang mengakhiri Perang Dingin (Cold War). Presiden George Walker Bush mendeklarisikan “War on Terror” dan mengatakan itu sebagai “the axis of evil”. (Anthony Stevens, The Roots of War and Terror, New York, 2004:hal.200). Setidaknya, peristiwa itu mengubah orientasi internasional termasuk Indonesia baik dari sisi ekonomi, politik dan militer.
Di era globalisasi dewasa ini, ancaman terhadap kehidupan manusia tampaknya semakin luas dan beragam. Ancaman tersebut berasal dari kekuatan radikal yang berkembang dalam masyarakat. Di Indonesia, kita saksikan dalam kasus Bom Bali I dan Bom Bali II. (Prof.Drs. Budi Winarno,M.A,PhD, Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta, 2014 :hal.169)
Aksi terorisme yang meluas di seluruh dunia membuat banyak orang berusaha mengaitkannya dengan keamanan global (global security). Jaksa Agung Arthur Gonzales (2005-2007) melayangkan memorandum kepada Presiden Amerika Serikat (AS) George Walker Bush pada tanggal 25 Januari 2002 dan mengatakan, “The nature of new war on terrorism places a high premium on other factors, such the ability to quickly obtain information from captured terrorist and their sponsors in order to avoid further atrocities against American civilians ……….This new Paradigm render obsolete the 1949 Genevas Protocol on The Treatment of Prisoners of War strict on limitations on questioning of enemy prisoners – Sifat perang baru melawan terorisme menempatkan faktor-faktor lain yang lebih tinggi, seperti kemampuan untuk dengan cepat mendapatkan informasi dari teroris yang ditangkap bersama sponsor mereka untuk menghindari kekejaman lebih lanjut terhadap warga sipil Amerika.
Paradigma baru ini membuat Protokol Jenewa 1949 menjadi usang tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang yang ketat tentang pembatasan interogasi terhadap tahanan musuh”. (Alex J.Bellany, Fighting Terror, Ethical Dilemmas, New York, 2008:hal.102).
Perang AS melawan terorisme akan mempengaruhi konstelasi global sebagai berikut : Pertama, adanya sikap keras AS, tampaknya ingin melahirkan struktur “bipolar” baru (dua kutub baru yang bertentangan) yang mempengaruhi pola-pola hubungan antar negara. Seperti apa yang dikatakan George Walker Bush, “either you are with us or you are with the terrorist”. Kedua, tragedi 11 September 2001, juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan oleh AS dalam menilai sebuah negara. AS lebih peduli pada isu terorisme dibandingkan dengan isu pelanggaran HAM dan Demokrasi. Seperti apa yang dikatakan Viotti dan Kauppi : “Terorisme, sebagai kekerasan bermotivasi politik, bertujuan mencederai demokratisasi pada masyarakat dan pemerintah”. (Paul R.Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations and World Politics, New Jersey, 2007 :hal.276)
Ada 3 (tiga) ciri utama terorisme, yaitu : Pertama, penggunaan kekerasan terhadap orang-orang yang tidak bersalah agar mendapat perhatian atas tuntutan mereka. Kedua, berusaha untuk membuat rasa takut terhadap masyarakat dan pemerintah dengan cara mencederai orang dan barang milik pemerintah dengan harapan pemerintah akan menyetujui tuntutan mereka. Contoh : Pilot Susi Air yang disandera TPNPB beberapa waktu lalu. Ketiga, ingin menciptakan suatu image yang tidak terlupakan atas kehadiran mereka dan menyatakan tuntutan mereka kepada masyarakat luas baik pada level nasional maupun internasional.
Ann E.Robertson, mengatakan, ”Teroris tidak ingin merebut hati orang-orang yang menjadi sasarannya”. (Terrorism and Global Security, New York, 2007:hal.8). Hal ini terjadi juga di Indonesia, khususnya di Tanah Papua. Adanya ancaman menembak mati pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens (Selandia Baru) oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di bawah pimpinan Egianus Kogoya. (Reuters, Sabtu, 27/5/2023).
Pilot Susi Air yang disandera sejak 7 Februari 2023 diancam ditembak mati oleh kelompok TPNPB, manakala tuntutan mereka untuk dimulainya pembicaraan soal kemerdekaan Papua tidak dipenuhi pemerintah. Egianus Kogoya dan kelompoknya juga membakar pesawat Susi Air.
Pemerintah RI menghadapi situasi yang dilematis. Mau pakai label teroris atau pasukan pembangkang/pasukan pemberontak, tetap butuh Keputusan Politik Presiden dan persetujuan dari DPR RI. Pada akhirnya juga melaksanakan “Operasi Militer” (Military Operation) seperti di AS, dan tentunya butuh dukungan berupa Peraturan Presiden yang mengatur dan mendukung kegiatan Operasi Militer dari APBN.
Albert Einstein (Imuwan Fisika), mengatakan : “Politik itu seperti pendulum yang berayun antara anarki dan tirani yang terus menerus dihidupkan kembali dengan bahan bakar ilusi”. (Zulfa Simatur, 2013:h.35). (Penulis adalah mantan Menhub, mantan Menpan-RB, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Dubes RI di Italia dan Malta, mantan Gubernur Papua, dan pendiri Numberi Center)