Laksamana Madya TNI (Purn) Freddi Numberi (net)
Oleh: Ambassador Freddy Numberi, Laksamana Madya TNI (Purn)
“Ketika gajah berkelahi, rumput menderita, ketika gajah bercinta, rumput juga menderita” (Gordon H. Chang, 1990)
1. Latar Belakang
China telah selesai membangun pertahanan militer di Laut China Selatan (LCS), mulai dari tahun 2015, hingga kini tahun 2024, tinggal mengoperasikan saja. Termasuk fasilitas logistik dan infrastruktur pendukung lainnya (Ministry Defense U.S.A , December 22, 2015).
China juga tidak mengakui keberadaan Yurisdiksi Tribunal dalam Note Verbal nomor CML/8/2016 yang dikirim ke PCA pada tahun 2016 (Yoshifumi Tanaka, 2019) Pusat gravitasi dunia, saat ini berada di LCS, karena China memiliki kekuatan keuangan, kinerja kepemimpinan yang profesional, kompetensi manajerial dan kemampuan militer yang kuat (Yuwono Sudarsono, 2013).
China dengan tindakan sepihak membangun basis militernya di LCS, bagi pengamat internasional menyatakan “tindakan China adalah provokatif” tidak sesuai dengan hukum internasional, tindakan provokatif tersebut bertolak belakang dengan negara-negara yang juga mengklaim wilayah LCS (Admiral James Stavidris, USN (Ret), 2017).
2. Rangkuman Khusus
Tindakan provokatif China, tidak mencerminkan kontribusi bagi stabilitas tetapi tindakan tersebut menjadi sumber ketidakamanan di AsiaPasifik. Pengamat Internasional, bertanya: “Apakah AS dan aliansi serta mitranya di Asia-Pasifik telah ‘kalah’ di Laut China Selatan?” China secara bertahap telah memiliterisasi jalur pelayaran di perairan yang dipersengketakan, sambil menyingkirkan negara-negara tetangga di kawasan tersebut.
Kebijakan AS telah gagal menghentikan pembangunan basis militer oleh China di kawasan LCS. dan kegagalan itu telah merusak posisi AS sebagai “Super Power” dunia. Terdapat 2 sengketa di kawasan LCS, yaitu : (1) Sengketa teritorial antara negara yang memiliki klaim di LCS; (2) Meliputi, dasar laut, dan wilayah udara di sekitar pulau-pulau yang di klaim China sebagai “hak historisnya” dalam “nine-dashline” tersebut (Admiral James Stavidris, USN (Ret), 2017).
Sikap AS dan pihak luar lainnya, tetap netral dalam sengketa kedaulatan yang berlangsung di LCS. AS tidak begitu tertarik untuk ikut campur dalam perdebatan hak historis China, tentang siapa yang menguasai pulau-pulau dan terumbu karang maupun batu-batuan pada awalnya.
Washington hanya tertarik dalam sengketa maritim dan menyuarakan penetapan terhadap klaim yang berlebihan China dalam LCS, meliputi :
(1) Kebebasan di laut dan menegakkan hukum maritim; Para pemimpin di AS telah melihat dan merasakan kebebasan di laut sebagai hal yang vital;
(2) Menyeimbangkan komitmen, kepentingan AS untuk memelihara aliansinya di Asia, seperti Taiwan, Jepang, Korea Selatan dan Australia;
(3) Menyatukan benang-benang yang terputus. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, atas perintah para pemimpin di Asia Tenggara, menyatakan kebebasan bernavigasi dan penyelesaian sengketa secara damai di LCS. ( Gregory B. Poling, 2022).
3. Penutup
Hingga tahun 2024, China memandang Laut China Selatan (LCS) sebagai perairan milik China, sehingga Beijing merasa berhak melakukan apa saja di kawasan yang sedang dalam internasional tersebut. (Prof Bambang Cipto MA, 2018).
Kunjungan kapal perang AS di kawasan LCS(freedom of navigation) dinilai China sebagai upaya AS untuk melecehkan China dan militernya di LCS yang dianggap sebagai miliknya (Nalanda Roy, 2013) Alfred Thayer Mahan, mengatakan : “AS harus melindungi jalur perdagangan internasional melalui jaringan Angkatan Laut yang ada, agar setiap orang bisa mendapat manfaat dari upaya AS membuat laut terbuka untuk perdagangan dan keamanan global.” (Bill Hayton,2014)
Beberapa analis percaya bahwa China sedang mengulur waktu, setelah memiliki militer yang kuat untuk menegakkan kedaulatan dan mengontrol sumber daya alam di LCS atas klaimnya itu, kemudian akan bernegosiasi dengan negara penggugat lainnya yang memiliki kekuatan militer lemah. (Penulis adalah mantan Menhub, mantan Menpan-RB, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Dubes Indonesia di Italia merangkap Malta, mantan Gubernur Papua, dan Pendiri Numberi Center). Jakarta, 19 Desember 2024