Bambang Kustopo, SH, MH (net)
Oleh : Bambang Kustopo, SH, MH
Tanggal 27 November 2024 telah lewat. Namun, hingga tanggal 15 Desember 2024 ini atau 18 hari sesudah Pilkada serentak 2024, hasilnya belum paripurna. Artinya masih menyisakan polemik yang berkepanjangan. Sebab, ada ratusan gugatan hasil Pilkada yang didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi.
Yang mengherankan adalah sebagian besar gugatan hasil Pilkada tersebut mendalilkan adanya kecurangan. Baik pada waktu sebelum pencoblosan sampai dengan masa pencoblosan berakhir. Alasannya macam-macam. Ada yang mendalilkan politik uang, campur tangan dari fihak tertentu yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Namun ketika disuruh membuktikan di persidangan, alasan-alasan tersebut tidak bisa dibuktikan. Dengan kata lain, buktinya tidak lengkap dan sebagainya sehingga gugatannya gugur. Pertanyaannya, apakah memang demikian halnya, ataukah hanya mencari-cari alasan untuk lakukan gugatan saja atau bagaimana? Harusnya, gugatan itu disertai bukti-bukti yang jelas dan kongkret. Nyatanya penggugat tak mampu menyertakan bukti sehingga kalah di pengdilan MK.
Itulah sekelumit masalah sebagai dampak pilkada langsung. Banyak sekali tudingan telah terjadi kecurangan dan penyimpangan secara TSM (terstruktur, sistematis, dan masif, red) tetapi susah dibuktikan di pengadilan.
Makanya terpikirkan oleh penulis, seandainya pilkada itu dikembalikan seperti dulu lagi, yakni pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun, sebagian orang mengatakan sistem ini sebagai kemunduran demokrasi.
Namun jika pilkada dilakukan secara langsung seperti sekaranf, eksesnya para calon kepala daerah akan menghalalkan segala cara. Mereka mengiming-imingi masyarakat, memberikan sesuatu kepada masarakat agar mereka memilih dirinya. Money politic makin marak, masyarakat jadi tergantung sehingga lama-kelamaan masyarakat menganggap hal itu sebagai hal yang lumrah. Banyak yang beranggapan, money politics bagian dari budaya.
Ini keliru, karena budaya sebagai hasil cipta, rasa dan karsa tentu punyai nilai-nilai yang luhur. Sedangkan money politics dan sebagai kegiatan sogok-menyogok merupakan kebiasaan buruk yang melanggar norm-norma susila. Jadi, sangat naif.
Penulis juga menyadari dengan pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) lewat DPRD, tidak lantas permainan akan bersih. Kesannya selama ini kan memang ada yang kurang bersih, tidak bersih alias kotor, tetapi paling tidak kan dapat dilokalisir orang-orang yang kotor dengan money politic tadi.
Tetapi tentu saja jumlah uang atau meteri yang harus disiapkan oleh calon kepala daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) tidak sebanyak dibandingkan pemilihan langsung. Efeknya, calon yang terpilih memegang jabatan atau kekuasaan tidak akan hanya berfikir mengembalikan modal besar yang telah dikeluarkan saja.
Di sisi lain, bila pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung seperti sekarang ini, mental masyarakat akan rusak. Jika sistem ini terus berlanjut, bisa saja generasi kedepan menganggap menyuap atau menyogok sebagai hal yang lumrah, bukan hal yang tabu. Karena, setiap pemilihan kepala daerah selalu terjadi calon kepala daerah yang mengiming-iming sogokan agar memilih dirinya. Lama kelamaan money politics dianggap sebagai hal biasa dan lumrah. Ini yang berbahaya juga dan harus dihindari.
Untuk melakukan pemilihan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau lewat DPRD. Kalau itu keputusannya, maka masih ada waktu untuk membuat regulasinya. Paling tidak masih ada waktu kurang lebih 5 tahun untuk membuat regulasi itu dengan cara mengubah UU tentang pemilu. Kalau pihak eksekutif maupun legislatif punya keinginan agar generasi kita menjadi masyarakat yang anti suap, maka dalam kurun waktu tersebut bisa membuat regulasi dengan sungguh-sungguh dengan satu keinginan agar generasi yang akan datang menjadi masyarakat anti suap. Regulasi tersebut dapat segera dibuat dan dimasukkan program prioritas untuk dibicarakan di DPR.
Penulis yakin di Legislatif akan terjadi diskusi yang mengasyikkan dan seru. Baik yang pro dan kontra akan saling berargumentasi demi “demokrasi” di Indonesia yang lebih baik. Saya yakin bila tujuannya agar Indonesia ke depan menjadi lebih baik, regulasi tersebut pasti berhasil diciptakan. Semoga ada manfaatnya. (Penulis adalah pengamat politik dan hukum yang tinggal di Surabaya, Jatim)