Bambang Kustopo, SH, MH (Ist)
Oleh : Bambang Kustopo, SH, MH
Beberapa waktu yang lalu, ada peristiwa yang cukup menggelikan saat persidangan kasus dugaan suap terhadap mantan Komisioner KPU periode 2017–2022, Wahyu Setiawan, dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Peristiwanya terjadi di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 24 April 2025.
Publik disuguhi perilaku tidak lazim dari segelitir orang yang diduga dari parpol tertentu. Mereka tiba-tiba mengusir pengunjung sidang yang lain dengan alasan mau menyudup. Perlakuan arogan ini sungguh tidak intelek, menjengkelkan dan tidak pantas. Karena melampaui batas kewajaran. Semoga ke depan tidak ada lagi peristiwa memalukan ini.
Pengunjung sidang mengusir pengunjung sidang, tentu punya muatan politik tertentu. Yakni, ingin membuat suasana jadi gaduh. Kenapa? Karena yang diusir dan dituduh sebagai penyusup pasti tidak terima. Pasti melawan sehingga terjadi keributan. Menurut akal sehat, indakan mengusir pengunjung dan menuduh sebagai penyusup itu bisa dikatagorikan tindakan arogan dan memalukan bangsa.
Tindakan itu tergolong sebagai contemp of court. Menghina pengadilan. Selain diusir dari ruang sidang, mereka bisa dikenai pasal pidana karena lakukan contemp of court. Lagian tidak ada aturannya, seorang pengunjung sidang mengusir pengunjung sidang yang lain, apalagi menuduh sebagai penyusup.
Dasarnya apa pengunjung sidang mengusir pengunjung sidang yang lain? Padahal majelis hakim menyatakan sidang terbuka untuk umum. Lazimnya, persidangan di pengadilan itu terbuka untuk umum, kecuali persidangan kasus-kasus kesusilaan, persidangan yang terdakwanya anak-anak, atau perkara lain yang majelis hakim umumkan tidak terbuka untuk umum.
Mengusir pengunjung sidang dengan tuduhan sebagai penyusup itu sama dengan nggege mongso, memaksakan kehendak dengan target persidangan ribut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah diatur ketentuan mengenai pembukaan sidang yang terbuka untuk umum. Hal itu diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 153 ayat (3).
Pasal 64 KUHAP menyatakan, terdakwa berhak diadili dalam persidangan yang terbuka untuk umum, sementara Pasal 153 ayat (3) KUHAP dengan lebih rinci menjelaskan, Ketua Majelis Hakim wajib membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali untuk perkara yang menyangkut kesusilaan, atau menyangkut perkara yang terdakwanya masih anak-anak, ataupun saksi yang diperiksa masih anak-anak.
Esensi dari Pasal 64 KUHAP ini adalah menyatakan hak Terdakwa untuk diadili dalam sidang yang terbuka untuk umum, hal ini bertujuan agar siapapun yang sedang menjadi Terdakwa, diadili dan diberikan haknya agar dapat dihadiri dan dilihat oleh siapapun agar tidak terjadi persidangan yang tidak fair, berat sebelah, atau memihak.
Sementara esensi Pasal 153 KUHAP Ayat (3) menyatakan, untuk keperluan pemeriksaan, Ketua Majelis Hakim membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara yang berhubungan dengan kesusilaan atau terdakwanya masih anak-anak, ataupun dalam perkara pidana memeriksa saksi yang diajukan masih anak-anak.
Pengecualian itu antara lain sidang yang awalnya terbuka untuk umum, kemudian oleh Hakim Ketua Majelis dapat dinyatakan tertutup untuk umum dalam beberapa kasus, seperti perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak atau pada saat memeriksa saksi yang masih anak-anak.
Pertanyaannya, dengan memahami Pasal 64 dan Pasal 153 KUHAP tersebut siapakah yang berhak dan mempunyai untuk mengeluarkan seseorang atau beberapa orang dari ruangan sidang?
Jawabnya tentu saja hak itu hanya dimiliki oleh Hakim Ketua Majelis saja, fihak lain tidak berwenang dan tidak berhak untuk mengeluarkan atau mengusir siapapun dari ruang sidang.
Dengan menyatakan pengunjung sidang yang diusirnya sebagai penyusup, maka timbul pertanyaan, siapa yang disusupi oleh siapa, karena persidangan terbuka untuk umum. Kalau pun sidang dinyatakan tertutup untuk umum tentu Hakim Ketua Majelis yang mengumumkan dan memerintahkan petugas keamanan untuk mengeluarkan orang yang tidak berkepentingan keluar dari ruang sidang.
Menurut akal sehat, mengusir pengunjung sidang apalagi menuding sebagai penyusup, itu tindakan yang sangat gegabah. Perbuatan itu sama saja merampok kewenangan Ketua Majelis Hakim yang memimpin persidangan. Tindakan itu sudah memasuki ranah atau masuk katagori contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan).
Mungkin ayam pun tertawa lihat kekonyolan orang-orang yang mengusir pengunjung sidang. Kecongkakannya menyundul langit. Belum jadi apa-apa saja sudah arogan seperti itu. Apa jadinya kalau mereka jadi pejabat, bisa-bisa jadi diktator yang suka menyalahgunakan wewenang.
Sebagai sesama pengunjung sidang, seharusnya saling menghargai, saling menghormati, saling mengerti posisi masing-masing. Tidak usah congkak, karena kehadirannya di persidang untuk menyaksikan proses peradilan yang adil. Sama-sama menjaga dan mengawal proses peradilan supaya sidangnya transparan dan akuntabel.
Dengan tetap menghormati aturan main yang ada, maka kedepannya akan baik. Peradilannya bisa berjalan adil sesuai harapan masyarakat.
Contempt of Court
Apa sih contempt of court itu? Contempt of court itu adalah penghinaan terhadap pengadilan. Maksudnya adalah tindakan atau perilaku yang merusak kewibawaan atau martabat dan kehormatan lembaga peradilan.
Tindakan di sini dapat berupa perbuatan, perkataan, sikap atau tingkah laku yang dianggap melecehkan atau merusak reputasi pengadilan. Contemp of court mencakup berbagai bentuk perilaku, termasuk melanggar perintah pengadilan, tidak mematuhi perintah atau putusan pengadilan, baik di dalam maupun diluar sidang.
Perilaku tidak pantas dilakukan di ruang sidang antara lain: mengganggu jalannya persidangan, berbicara secara kasar, bersikap tidak sopan terhadap Hakim atau pihak terkait. Juga penyerangan terhadap integritas hakim, memberikan pernyataan yang meragukan Integritas, netralitas, atau kapasitas hakim.
Dapat pula publikasi yang merusak proses peradilan, merekam atau mempublikasikan persidangan tanpa informasi yang belum diketahui kebenarannya dan dapat mengganggu jalannya proses peradilan.
Sedangkan hal-hal yang mengganggu jalannya proses peradilan adalah menghalangi saksi atau pihak terkait memberikan kesaksian atau bukti atau melakukan tindakan yang dapat mengganggu proses peradilan.
Tindakan Contemp Of Court dapat mengakibatkanpenjatuhan sanksi, mulai dari peringatan hingga penahanan pidana tergantung pada tingkat berat ringannya tindak pidana yang dilakukan. Dalam beberapa kasus, sanksi dapat mencakup denda atau pembatalan izin atau penyimpanan.
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah mengalami beberapa kali perubahan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, bahwasannya Indonesia perlu menjaga integritas badan peradilan dari perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat mewajibkan dan merongrong kewibawaan, bermartabat, dan penilaian badan peradilan atau dikenal sebagai Contemp Of Court.
Obyek yang diatur dalam Contemp of Court adalah mengenai wibawa, martabat, dan kehormatan badan peradilan, yaitu terhadap orang-orang yang menyelenggarakan lembaga tersebut (hakim, penuntut umum, penasihat hukum), hasil kerja lembaga tersebut (putusan, penetapan), dan proses kegiatan lembaga tersebut (persidangan baik tertutup maupun terbuka)
Pihak-pihak yang menjadi pelaku dalam Contemp Of Court dapat terdiri dari mereka yang berada di luar pengadilan seperti masyarakat, baik kelompok ataupun perorangan, termasuk media cetak maupun elektronik. Begitu pula dapat berasal dari dalam proses peradilan seperti hakim, penuntut umum, penasihat hukum, saksi, dan terdakwa.
Itulah aturran yang harus dihormati. Kalau bukan kita yang menghormati lalu siapa lagi yang menghormati? Ingat, kekuasaan peradilan atau yudikatif merupakan salah satu pilar negara demokrasi.
Menurut ajaran Motesquieu untuk menjadi negara demokrasi disyaratkan adanya pemisahan executive, legislatif dan yudikatif, di mana ketiga-tiganya harus berdiri sendiri, tidak boleh saling mempengaruhi.
Semoga perbuatan oknum tersebut sampai di sini saja, karena dunia memperhatikan apa yang terjadi di negara kita. Jangan sampai orang di luar sana mentertawakan negara kita, Indonesia, karena ada yang berulah tidak pada tempatnya seperti itu. (Penulis adalah Pengamat Hukum yang tinggal di Mojokerto, Jatim, saat ini ia berprofesi sebagai Humas Pengadilan Tinggi Surabaya)