Indonesia Memenuhi Syarat Negara Otoriter

oleh
oleh
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto

JAKARTA, REPORTER.ID – Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto mengatakan bahwa Indonesia telah memenuhi empat kriteria negara penganut otoritarianisme, lewat sejumlah kebijakan yang dibuatnya. Wijayanto merujuk empat ciri rezim politik otoriter yang disampaikan beberapa akademisi Universitas Harvard, yaitu komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi, penyangkalan legitimasi lawan politik, toleransi terhadap kekerasan, dan pembatasan kebebasan sipil.

“Nah berdasarkan empat indikator itu, saya mau menyampaikan bahwa di Indonesia semua indikator itu ada,” katanya dalam webinar ‘Mimbar Bebas Demokrasi Melawan Ologarki’, Minggu (14/6/2020).

Sedangkan Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, ada tiga pola otoritarianisme yang masih dilakukan pemerintah di era reformasi.

“Kalau kita simpulkan sebetulnya tanda-tanda otoritarianisme pemerintahan saat ini itu memiliki tiga pola,” kata Asfinawati.

Pertama, pemerintah masih menghambat kebebasan sipil dan politik seperti berkumpul, berpendapat, berekspresi, bahkan berkeyakinan. Hal itu terlihat dengan adanya berbagai peretasan dalam berbagai diskusi yang cenderung menyudutkan pemerintah seperti terkait masalah Papua dan kritik terhadap pemerintah atas ketidaksigapan dalam menangani pandemi Covid-19.

Hal itu, lanjut Asfinawati, juga terlihat dalam kasus Ravio Patra yang mengkritik cara penyajian data pemerintah terkait korban Covid-19. Akun WhatsApp Ravio tiba-tiba diretas dan menyebarkan ujaran kebencian dan ajakan makar melalui nomor yang diretas tersebut. Hingga kini polisi belum memproses hukum peretasan yang terjadi terhadap Ravio.

“Pola kedua, pemerintah mengabaikan hukum yang berlaku yaitu konstitusi, TAP MPR, dan undang-undang dan yang ketiga memiliki watak yang represif dengan mengedepankan aparat keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman,” tuturnya.

Lebih lanjut Wijayanto mengatakan, ciri komitmen lemah terhadap aturan demokrasi, tercermin dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Saat itu, Bawaslu melaporkan sejumlah kasus ketidaknetralan ASN, tetapi Kementerian Dalam Negeri tidak menindaklanjutinya.

Indikasi lain, kata Wijayanto, adalah wacana amandemen UUD 1945. Terutama ide untuk memperpanjang masa pemerintahan presiden menjadi tiga periode. Kemudian ciri penyangkalan legitimasi oposisi tercermin dari campur tangan pemerintah terhadap konflik internal beberapa partai. Ia mencontohkan intervensi pemerintah terhadap konflik Partai Golkar usai Pilpres 2014.

“Pada 2014 Partai Golkar dekat dengan Prabowo, bahkan TvOne menyiarkan pemenang pemilu adalah Prabowo. Tapi 2016 tiba-tiba Golkar adalah partai pertama yang mendeklarasikan diri mendukung kekuasaan, mendukung Jokowi untuk maju sebagai presiden pilpres 2019,” ucapnya.

Ciri toleransi terhadap kekerasan tercermin dari kasus penembakan mahasiswa Universitas Halu Oleo dalam gerakan #ReformasiDikorupsi dan kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Wijayanto menyebut Polri mengakui kesalahan dalam kasus mahasiswa UHO, tetapi hanya memberikan hukuman 21 hari penjara dan penundaan 1 tahun kenaikan pangkat pada pelaku. Sementara dalam kasus Novel, jaksa hanya menuntut pelaku penyiram air keras satu tahun penjara.

“Ini juga belum keluar keputusannya, tapi sudah mencederai keadilan publik,” tuturnya.
Ciri keempat adalah pembatasan terhadap kebebasan sipil. Kriteria ini dicerminkan dalam kasus kriminalisasi sejumlah aktivis pro demokrasi, seperti Ravio Patra. Selain itu, ada ancaman terhadap diskusi-diskusi akademik, seperti diskusi soal pemakzulan presiden di UGM.

“Dari berbagai sign, kemunduran demokrasi Indonesia dan putar balik otoritarianisme yang paling kuat sebenarnya adalah sisi kebebasan sipil, pers, dan akademik,” ujar Wijayanto. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *