JAKARTA, REPORTER.ID – Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 Fahri Hamzah tengah disorot karena mulai bermain di bisnis lobster pasca-kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membuka keran ekspor benur yang sempat dilarang era Menteri KKP Susi Pudjiastuti.
Nah, Fahri yang berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB), ikut menjadi pemodal di satu dari 30 perusahaan yang ditetapkan Menteri KKP Edhy Prabowo sebagai eksportir benih lobster tersebut, yakni PT Nusa Tenggara Budidaya.
Fahri pun tidak membantah perannya di bisnis ini. Lantas dia pun menjelaskan secara detail. Berikut penjelasan Fahri Hamzah yang kini menjabat Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia:
Pendahuluan:
Siapa tak kenal Fahri Hamzah? Tapi selama ini ia dikenal sebagai politisi pejabat murni. Selama menjabat tak terdengar punya bisnis apalagi yang terkait negara. Itu yang membuatnya nampak berani melawan arus dan mengkritik pemerintah.
Tapi sejak 1 Oktober 2019, Fahri pensiun dari pekerjaan yang telah ditekuninya lama. Meski masih menjadi politisi tapi ia tak menjabat jabatan apapun dalam negara. Artinya ia bergerak dari pejabat murni ke swasta murni. Ia sekarang menekuni dunia usaha dan fokus di kampung halamannya Nusa Tenggara Barat.
Atas kontroversi di majalah TEMPO, Fahri Hamzah menjawab segala pertanyaan tentang bisnisnya dan termasuk kenapa ia mendukung legalisasi ekspor benur lobster dan menjadi pemainnya, berikut jawabannya:
(1) Tentang FH Kok Cawe-Cawe Bisnis
Saya kan pensiunan (sejak 1/10/2020) jadi boleh bisnis sekarang… kalau saya nggak boleh jadi pengusaha trus saya harus jadi apa? Hampir 20 tahun kerja pemerintahan gak korupsi..masak gak boleh usaha ?
(2) Tentang Bisnis di NTB
Tentu saya pilih kampung halaman (NTB) dong. Biar punya efek kepada pembangunan daerah. Dulu saya mendorong pembangunan pakai dana negara (APBN) sekarang saya dorong pembangunan pakai dana swasta apa salahnya?
(3) Tentang Mitra
Saya memerlukan kemitraan dengan teman-teman investor dalam dan luar negeri untuk bisnis. Saya juga sedang mengembangkan sektor-sektor lain di NTB; pertanian, kelautan, perkebunan, parawisata dll, agar nilai tambah dan dampak sosialnya lebih massif.
(4) Bisnis Lobster
Saya bukan orang baru karena kami orang pesisir, saya dulu menghindari terjun langsung karena menjabat. Tidak etis aja. Tapi keluarga saya juga keluarga nelayan dan petambak udang dan ikan… lobster bukan dunia baru. Saya paham peta.
(5) Ekspor disponsori Penyelundup?
Justru kalau eksport terbuka maka penyelundupan hilang. Logikanya ngapain nyelundup kalau jalur legal lebih jelas. Menurut saya justru penolakan ekspor untungkan penyelundup dengan permainan terbatas dan menyogok sepanjang jalan.
(6) Nelayan Jadi Korban
Bisnis Lobster ini adalah bisnis nelayan pesisir yang hidup dari laut. Mereka ingin tangkapan mereka dibeli secara legal. Tidak seperti selama ini dibeli penyelundup. Nanti mereka dikorbankan. Padahal itu hidup mereka sehari-hari.
(7) Kebijakan Harus Bijak
Melarang nelayan kecil menangkap lobster kecil dan membebaskan pemodal besar adalah tindakan tidak bijak. Rakyat pesisir adalah kantong kemiskinan, pilihan bagi nelayan untuk mengubah nasib harus banyak. Hidup mereka terbatas.
(8) Logika Ekspor
Lobster itu produksi (netas) rutin. Minyak dan mineral perlu jutaan tahun. Kok gak dilarang?Tambang bisnisnya orang kaya. Lobster bisnisnya nelayan miskin, kok rakyat dilarang? Laut itu luas, 3 kali daratan. “Punah” itu fiksi yang tidak adil bagi nelayan.
(9) Menatap Masa Depan
Sekarang.. kebijakan baru ini (dibolehkannya export – red) disambut pesta rakyat…Kita lupakan masa lalu tapi kita harus mau berbuat yang lebih baik… pengusaha sekarang diwajibkan bikin budidaya. Negara dapat pemasukan, nelayan dapat penghasilan, pengusaha menjadi mitra.
(10) Penutup
Kebijakan yang baik tetap harus diambil. Pengusaha harus didorong hidupkan sektor swasta. Negara gak kuat jika penopangnya tidak banyak. Saya terima kasih disorot media, semoga jadi sebab bisa mendapat mitra dalam usaha. Namanya juga usaha, ada untung ada rugi. Itu biasa ?
(Sumber: Twit @fahrihamzah 05/07/2020)