Tohadi: Putusan MA Tak Pengaruhi Hasil Pilpres

oleh

JAKARTA, REPORTER.ID –  Pengamat hukum tatanegara dari Universitas Presiden (President University), M. Tohadi menegaskan jika putusan Mahkamah Agung (MA) tak berdampak hukum terhadap keabsahan terpilihnya Presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin pada pemilu April 2019 lalu.

Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 memutuskan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 menyebutkan: “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.”

“Apakah dengan adanya Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 berimplikasi yuridis pada ketidakabsahan paslon presiden dan wakil presiden terpilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019, yaitu Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amien?” tanya Direktur Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (LASINA), itu Rabu (8/7/2020).

Menurut Tohadi, putusan MA tersebut tidak memiliki implikasi yuridis pada ketidakabsahan paslon presiden dan wakil presiden terpilih, karena: pertama, Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 diputuskan pada tanggal 28 Oktober 2019, sedangkan penetapan paslon presiden dan wakil presiden terpilih dilakukan pada tanggal 30 Juni 2019. “Jadi, Putusan MA ini tidak berlaku surut dan diberlakukan pada peristiwa hukum sebelumnya,” ujarnya.

Kedua, norma hukum dalam Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 yang dinyatakan oleh Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum itu adalah merupakan tafsir konstitusional Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2014 tanggal 3 Juli 2014 atas ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2014, maka norma hukum yang ada Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 adalah konstitusional.

Dengan demikian lanjut Tohadi, memang ada perbedaan penafsiran antara MK dengan MA dalam memahami dan menafsirkan ketentuan “Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.

Dalam Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2014 tanggal 3 Juli 2014 (hlm. 39), MK menafsirkan jika hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua.

“Jadi, menurut MK, ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tidak diberlakukan jika hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagaimana Pasal 6A ayat (4) UUD 1945,” jelas Tohadi

Sedangkan MA dalam Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 (hlm. 53) menafsirkan norma hukum sebagaimana Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 berlaku untuk segala kondisi, temasuk dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 (dua) Pasangan Calon.

Menurut konstitusi lanjut Tohadi, lembaga negara yang diberikan kewenangan atributif untuk melakukan penafsiran atas konstitusi (the interpreter of constitution) maupun pengawal konstitusi (the guardian of constitution) adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga sepanjang berkaitan dengan tafsir konstitusional harus merujuk dan memegangi pendapat hukum MK.

“Pada saat yang sama, Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tetap harus dihormati meskipun terdapat kelemahan di dalamnya dan tidak memiliki implikasi yuridis pada ketidakabsahan paslon presiden dan wakil presiden terpilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019,” pungkasnya.(mohamad)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *