JAKARTA, REPORTER.ID – Kejaksaan Agung (Kejakgung) menegaskan bahwa penahanan terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko S Tjandra berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (PK MA) Nomor: 12K/Pid.Sus/2008 tanggal 11 Juni 2009.
Demikan ditegaskan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejakgung), Hari Setiyono dalam keterangannya, Selasa (4/8/2020), merespon protes kuasa hukum Djoko Tjandra, Otto Hasibuan yang menilai penahanan kliennya oleh Kejagung, terkesan janggal.
Bahkan, Otto menyebut tidak ada perintah untuk melakukan penahanan berdasarkan putusan PK MA.
Melanjutkan pernyataannya, Hari menegaskan bahwa putusan PK tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga setelah terpidana berhasil ditangkap maka Jaksa telah melaksanakan eksekusi pada hari Jumat, tanggal 31 Juli 2020 berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nomor: Print-693/M.1.14/fd.1/05/2020 tanggal 20 Mei 2020.
“Penahanan terhadap Djoko Tjandra merupakan ekeskusi putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam putusan tersebut, Djoko Tjandra terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi,” tegasnya lagi.
Terpidana kasus hak tagih Bank Bali dijatuhkan hukuman pidana dua tahun penjara. Selain itu, Djoko Tjandra juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 15 juta subsider tiga bulan kurungan. Untuk itu, Hari menegaskan penahanan terhadap Djoko Tjandra merupakan eksekusi putusan MA pada 11 Juni 2009.
“Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” ujarnya.
Hari melanjutkan, jaksa melakukan eksekusi hukuman badan terhadap Djoko Tjandra lantaran untuk menjalankan putusan hakim PK, bukan melakukan penahanan.
“Hal ini tentu berbeda dengan pengertian penahanan yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang,” pungkasnya.
Sebelumnya, Otto Hasibuan berencana bersurat kepada Jaksa Agung Sianitar Burhanuddin terkait penahanan kliennya. Sebab, Otto menilai penahanan terhadap Djoko Tjandra terkesan janggal.
“Sekarang yang ingin saya jalankan, saya akan tulis surat kepada Kejaksaan Agung, klarifikasi atas dasar apa pak Djoko ditahan. Karena dalam amar putusan tidak ada kata-kata itu (penahanan),” kata Otto dikonfirmasi, Minggu (2/8/2020).
Otto menyatakan, putusan dua tahun pidana terhadap Djoko Tjandra deklarator bukan bersifat kondemnator. Hal ini yang mendasari akan meminta klarifikasi terhadap Kejaksaan Agung.
Bahkan Otto mengklaim, Djoko Tjandra pun telah membayarkan denda sebesar Rp15 Juta dan mengembalikan uang senilai Rp500 Miliar yang dirampas oleh negara.
“Jadi tidak ada putusan yang sifatnya kondemnator, menghukum atau memerintahkan Djoko Tjandra harus ditahan. Sekarang pertanyaan saya kenapa dia ditahan, atas amar putusan yang mana? Itu menjadi masalah hukum, apa boleh seseorang ditahan padahal dalam amar putusan tidak ada perintah menahan,” kata Otto. ***