JAKARTA, REPORTER.ID – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Martin Manurung mengatakan, Indonesia masih membutuhkan impor karena produk dalam negeri kurang kompetitif. Menurut dia, Indonesia merupakan salah satu negara dengan biaya produksinya sangat tinggi. Hal itu bisa diukur dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang nilainya lebih dari enam.
“Artinya, untuk menghasilkan satu output dibutuhkan capital sebanyak enam kali lipat sehingga menambah biaya bagi produsen,” kata Martin saat menjadi narasumber dalam webinar yang diadakan Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) melalui aplikasi Zoom, Rabu (5/8/2020).
Turut hadir sebagai narasumber, Direktur Impor Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, I Gusti Ketut Atawa, Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI, Heru Pambudi, dan Dirjen ILMATE Kemenperin RI, Taufiek Bawazier
Melanjutkan pernyataannya, Legislator NasDem dari dapil Sumatera Utara II itu mengatakan, di masa pandemi virus corona atau Covid-19, kebutuhan pasokan bahan baku yang utamanya berasal dari Asia Timur (China, Korea, Jepang) menghambat pergerakan produksi di negara raksasa manufaktur seperti Amerika dan Jerman. Apalagi dampak Covid-19 membuat situasi ekonomi global yang tengah bergejolak turut mempengaruhi perdagangan internasional.
“Banyak negara mengalami penurunan pertumbuhan perdagangan internasional. Bahkan, pertumbuhan perdagangan global diprediksi turun menjadi 1,1% dari sebelumnya 3,6% di 2018,” bebernya.
Karena itu Martin menyebutkan, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RRU Ciptaker) merupakan solusi terhadap situasi krisis yang saat ini ada di depan mata.
“RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang dirancang untuk menanggulangi krisis akibat pandemi Covid-19,” kata wakil rakyat dari Sumatera Utara itu.
Legislator NasDem itu menuturkan, terkait perdagangan luar negeri terdapat dalam poin-poin RUU Cipta Kerja sebagai dorongan implementasi kebijakan penyelamatan ekonomi.
“RUU Cipta Kerja bertujuan untuk mengubah kewenangan mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien; menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi, serta mempermudah pengurusan perizinan,” tukasnya. ***