JAKARTA, REPORTER.ID – Mantan Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019, Fahri Hamzah rupanya tidak bisa berdiam diri menyaksikan aksi penertiban baliho tak berizin (liar), yang melibatkan aparat TNI-Polri di beberapa ruang publik. Kata Fahri, menyeret-nyeret TNI-Polri masuk dalam demarkasi pengelolaan negara sipil, mencederai semangat reformasi yang telah dijalankan selama kurun waktu 20 tahun ini.
“Dalam keadaan kayak gini, tadinya saya ingin diam. Tapi janganlah diamnya kita membuat wilayah sensitif ini ditabrak. Kita memerlukan suasana tenang dan bersahabat bagi persaudaraan dan persatuan nasional,” kata Fahri melalui akun resmi Twitternya @Fahrihamzah, Sabtu (21/11/2020).
Dikatakan Fahri, sejak konfrensi pers Panglima TNI kemarin dan tindakan offside Pangdam Jaya itu, tidak saja melukai nilai-nilai dasar kelahiran TNI sebagai tentara rakyat, tapi juga Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Dimana, TNI harus berada di luar politik dan menghormati hukum Negara, bukan hukum rimba.
Karena itu, dirinya menyayangkan adanya upaya menarik dua institusi pertahanan dan keamanan (TNI-Polri) dalam pengelolaan sistem demokrasi. Dia juga mengaki tidak paham, setelah 20 tahun lebih reformasi tiba-tiba muncul pejabat militer masuk dalam demarkasi pengelolaan negara sipil ini.
“Kita dukung semboyan “TNI dan Polri bersatu”. Tapi kita pasti harus menolak tugas TNI sama dengan Polri. Kita jangan lupa sejarah, kita telah mengoreksi ABRI dan mengeluarkan Polri dari-nya. Indonesia adalah negara hukum dan dikelola secara sipil, sedangkan militerisme masa lalu,” tambahnya.
Karena itu, dirinya menyayangi bila ada upaya untuk mengembalikan dua institusi pertahanan dan kemananan dalam pengelolaan sistem demokrasi. Tentunya, hal tersebut mencederai semangat reformasi yang telah dijalankan selama kurun waktu 20 tahun ini.
“Saya nggak paham sih, setelah 20 tahun lebih reformasi kita tiba-tiba muncul pejabat militer masuk dalam demarkasi pengelolaan negara sipil ini. Dugaan saya karena “TNI dan Polri bersatu telah dimaknai sebagai bersatunya fungsi”. Tentu kita sayangkan dan cukup menyedihkan,” paparnya.
Bahkan, Fahri berandai-andai kalau dirinya menjadi Menhan, ini adalah “lampu kuning” ditabraknya rambu-rambu militer dalam demokrasi. TNI harus mengerti bahwa tugas dia di tengah rakyat adalah memelihara perdamaian.
“Sebagaimana militer berperang bukan untuk membunuh lawan tapi untuk menjaga perdamaian,” tegas Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia ini
Fahri mengingatkan bahwa keadaan saat ini lagi sulit, ditambah lagi hantaman pandemi virus corona atau Covid-19 yang melanda Tanah Air. Mastinya seluruh elemen bangsa, tanpa pengecualian harus mencari alasan untuk kompak.
“Ayo kembali bersatu. Ngapain sih konflik ideologi ini bangkit kembali? Kan Pemilu nasional (Pileg dan Pilpres) masih jauh,” imbuhnya.
Fahri justru meminta agar semua pihak untuk mengawal jalannya proses Pilkada serentak yang digelar di 270 daerah se Indonesia. Jangan sampai, lanjut dia, isu yang berada di pusat pemerintahan, justru merusak jalannya pelaksanaan Pilkada.
“Ayo kawal Pilkada. Biar 270 daerah dapat pemimpin terbaik. Jangan rusak pilkada dengan isu pusat. Sama2 nahan diri dong. Dewasa dikit kenapa sih,” ketus dia.
Sebelumnya dikabarkan bahwa pihak TNI-Polri menurunkan sejumlah baliho yang dipasang di beberapa ruang publik. Baliho-baliho tersebut di antaranya baliho- baliho partai, lalu baliho milik perusahaan, hingga baliho sisa penyambutan Rizieq Shihab yang dipasang oleh pendukungnya.
Terkait hal ini, Panglima Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya) Mayjen TNI Dudung Abdurachman mengatakan bahwa dirinya menyampaikan perintah kepada anggota Kodam Jaya untuk menertibkan spanduk dan baliho ajakan provokatif. Terkhusus baliho FPI, dia menyebut bahwa hal tersebut karena adanya oknum yang membandel setelah dilakukan penurunan oleh petugas Satpol PP, spanduk itu dinaikkan lagi.
“Itu perintah saya berapa kali Satpol PP turunkan, tapi dinaikkan lagi. Jadi siapa pun di Republik ini. Ini negara hukum harus taat hukum kalau pasang baliho jelas aturan bayar pajak tempat ditentukan jangan seenak sendiri seakan-akan dia paling bener,” tutur Dudung.
Diketahui, di Jakarta ada dua peraturan daerah (perda) yang mengatur mengenai sarana penyampaian publik melalui media reklame, baliho, spanduk, hingga atribut-atribut partai.
Perda-perda tersebut antara lain adalah Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dan Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 221 Tahun 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2020 tentang Ketertiban Umum.
Dalam Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 221 Tahun 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2020 tentang Ketertiban Umum pasal 5 disebutkan bahwa dalam mengambil tindakan penertiban, Pemprov DKI bisa melibatkan unsur TNI dan Polri.
Pasal 5 Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 221 Tahun 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2020 tentang Ketertiban Umum itu, berbunyi:
(1) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1), Sat Pol PP sebagai penanggung jawab utama pembinaan,
pengendalian dan pengawasan penyelenggaraan ketertiban umum
dapat berkoordinasi atau bekerja sama dengan instansi pemerintah.
(2) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
meliputi :
a. Kepolisian Daerah Metro Jaya;
b. Komando Daerah Militer Jayakarta;
c. Armada Bagian Barat Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut;
d. Komando Operas!onal I Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara,
e. Komando Garnisun Ibukota;
f. Kejaksaan;
g. Pengadilan; dan
h. Kanwil Hukum dan HAM. ***