JAKARTA, REPORTER.ID – Kehadiran Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk keberlangsungan pembangunan nasional sangat dibutuhkan, agar tak ada uang rakyat yang terbuang sia-sia akibat perencanaan pembangunan yang mangkrak. Baik pusat maupun daerah. Terlebih sudah menghabiskan anggaran negara yang sangat besar. Hanya saja perencanaan pembangunan tersebut harus lepas dari kepentingan politik dan pragmatis. Karena itu, MPR RI harus diisi oleh kaum cendekiawan, negarawan dan tokoh masyaakat melalui utusan golongan, agar MPR RI.
“Pasca 11 tahun MPR RI ini kedudukannya dipertanyakan lagi, sehingga diskursus terjadi lagi di masyarakat terkait perlunya menghadirkan PPHN untuk mensinergikan pembangunan dari pusat hingga daerah. Untuk itu, PPHN itu harus diperjuangkan agar pemangku kepentingan memiliki visi dan perpsketif yang sama dalam membangun bangsa dan negara,” demikian Ketua MPR RI Bambang Soesatyo.
Hal itu disampaikan Bamsoet dalam FGD MPR RI “Revitalisasi Lembaga MPR RI RI” bersama Anggota DPD/MPR RI Jimly Asshiddiqie, Pontjo Sutowo (Ketua Alinasi Kebangsaan), dan Yudi Latief (pakar Aliansi Kebangsaan) di Gedung MPR RI, Senayan Jakarta, Senin (4/10/2021).
Lebih lanjut Bamsoet mengatakan jika PPHN itu akan menjadi kebijakan dasar untuk kesinambungan pembangunan. Persoalannya, adakah PPHN itu akan ditetapkan melalui UU atau TAP MPR RI? “Dimana sebelum amandemen ke-4, MPR RI merupakan lembaga tertinggi negara, dan sekarang ketika anggotanya dipilih langsung oleh rakyat, lalu siapa yang akan mewakili kelompok yang termaginalkan? Seperti kaum cendekiawan, kelompok pemuda, ormas, buruh, tani, dan sebagainya. Inilah pentingnya ada utusan golongan,” kata Bamsoet.
Pontjo Sutowo juga mendukung adanya utusan golongan dan fungsi MPR RI yang perlu dipertegas dengan PPHN tersebut. “Tak bisa semua masalah diselesaikan dengan voting. Karena itu, MPR RI perlu guiden untuk nation building, pembangunan bangsa. MPR ini bukan Lembaga impeachment, maka tak perlu takut untuk berubah,” katanya singkat.
Menurut Yudi Latief, kontribusi terbesar MPR RI pasca reformasi adalah pembatasan jabatan presiden, yang selama Orde Baru bisa dipilih secara terus-menerus, tapi sekarang cukup dua periode. “Kalau dulu, MPR RI dikendalikan oleh Presiden RI, dan MPR RI kini juga tidak bisa menjatuhkan Presiden. Sehingga yang berwenang memutuskan Presiden itu salah atau tidak adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Hadirnya MK ini untuk menghindari ‘keliaran’ politik seperti yang terjadi pada alm. BJ Habibie dan Gus Dur,” ujarnya.
Hanya saja Yudi Latief menyayangkan sekarang ini kepemimpinan MPR RI dipertahankan dan jumlahnya 10 orang, tapi tanpa tugas dan fungsi yang jelas. Bahwa MPR RI itu wakil rakyat bukan individu, karena hakikat demokrasi itu bukan memilih orang tapi untuk menentukan kebijakan, agar orang yang terpilih tersebut selalu in line (sejalan) dengan aspirasi rakyat. “Nah, untuk membuat kebijakan (PPHN) itu perlu adanya keterwakilan kelompok cendekiawan, tokoh adat, dan sebagainya yang dipilih melalui utusan golongan,” katanya.
Jimly menilai perlunya reformasi kelembagaan negara, yang bukan hanya MPR RI, tapi semua lembaga negara khususnya terkait kelembagaan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain yang inklusif, berkualitas, integitas dan tak ekstraktif. Yaitu, yang anggarannya yang digunakan selama ini sudah sesuai dengan Tupoksinya tidak? Sedangkan untuk MPR RI Jimly mendukung adanya tiga (3) jalur utusan; untuk politik (DPR RI), untuk daerah (DPD RI), dan fungsional adalah utusan golongan. “Untuk memutuskan suatu kebijakan nantinya ketiga utusan MPR ini bermusyawarah dan inilah hakikat musyawarah dalam sila ke-4 Pancasila itu,” jelas Jimly.