Batik Era Pandemi: Motif Penawar Rindu, Pamiluto, dan Tiga Negari

oleh
oleh

JAKARTA, REPORTER.ID- Hingga Selasa (12/10/2021) Pameran Batik dalam rangka menperingati Hari Batik Nasional 2021 yang dibuka sejak 2 Oktober yang lalu di Museum Tekstil Jakarta telah ditonton 267 orang. Angka itu terbaca di kanal youtube streaming @museum tekstil jakarta dan @disbuddki.

Namun sebenarnya penikmat pameran batik “mengungkap makna simbolik di era pandemi” tersebut lebih dari jumlah itu. Sebab pada pembukaannya saja lebih dari 30 orang menyaksikannya, baik secara virtual maupun on the spot. Termasuk awak media yang ingin melihatnya secara langsung dan mempublikasikannya.

“Minggu tanggal 10 Oktober kemarin ada tamu dari Surabaya yaitu Pak Candra dan Bu Titi beserta kawannya. Mereka anggota Yayasan Batik Indonesia,” kata Kepala Unit Pengelola Museum Seni Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Sri Kusumawati, Senin (11/10/2021).

Kepala Satuan Pelayanan Museum Tekstil, Dewie Novie membenarkan hal itu. Dikatakannya hari Minggu yang lalu rombongan Yayasan Batik Indonesia (YBI) Surabaya ada enam orang yang berkunjung ke museum tersebut.

“Di samping Pak Candra dan Bu Titi ada 4 orang lagi yaitu Ny Lily, Ny Siane, Ny Imelda dan Ny Rufina,” kata Dewie. Mereka menamakan diri komunitas Grompol.

Diakui oleh Dewie Novie, Museum Tekstil memang belum dibuka untuk umum. Tetapi kalau wartawan ingin mengeksposenya dapat melihat on the spot.
“Nanti diantar petugas,” kata Dewie.

Benar saja. Tatkala Reporter datang di Museum Tekstil, para tamu dari YBI Surabaya itu bersiap pulang dan dilepas pemandu museum, Sehabudin. yang piket hari Minggu itu.

Dipandu Sehabudin pula Reporter masuk ruang pamer Museum Tekstil lewat pintu belakang. Tampak puluhan kain batik dengan aneka motif dan warna didisplay begitu menarik.

“Ini batik motif gringsing, Pak. Untuk menolak bala. Kata gringsing berasal dari kata ‘gring’ atau gering yang artinya sakit, kecil atau kurus. Dan kata ‘sing’ berarti adalah, jangan atau tidak,” tutur Sehabudin yang sudah bekerja di Museum Tekstil itu sejak tahun 2005.

Berbagai macam motif gringsing di antaranya gringsing complong Yogya, mata deruk, gringsing mrico bolong, boto rubuh, dan gringsing motif sisik.

Gringsing sisik ini pun ada 4 macam yaitu gringsing sisik biasa, gringsing sisik tutul, sisik mati, dan gringsing sisik melik.

Kemudian kelompok kain batik motif tambal yaitu dari pola yang berbeda beda digabungkan. Penggabungan ini bisa dalam bentuk pengulangan maupun dengan bentuk.yang berbeda beda.

Menurut Sehabudin, kolektor batik Afif Syakur dari Yogyakarta menyebutkan motif tambal ini bertujuan menambal pemikiran yang tidak sempurna menjadi lebih baik.
Jadi filosofi batik motif tambal ini meskipun keberadaannya berbeda beda namun tetap solid bersinergi tanpa bercerai berai.

Berdasarkan tulisan Afif Syakur pula pemandu Sehabudin mengungkapkan, pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII di Yogyakarta 1877-1921, pakaian kebesaran yang popular bernama Ontokusumo. Yaitu kain-kain segitiga ada yang polos, ada yang bermotif, lalu digabungkan. Ini merupakan lambang tekad Sultan untuk mempersatukan keluarga dan rakyatnya agar sukses.

Motif tambal dipercaya sebagai pengingat dan pemersatu sehingga dapat menjadi penawar rasa rindu. “Maka ada orangtua yang membekali anaknya yang merantau dengan batik motif tambal. Jadi bila anak rindu orangtua atau sebaliknya, berselimut batik tambal agar terobati rasa rindunya,” kata pemandu ini.

Tampak dipamerkan batik motif Tambal Semen Pamiluto dari Yogyakarta dengan warna coklat merah sogan. Batik ini biasanya untuk acara lamaran atau meminang. Sebab motif pamiluto artinya pulut atau lekat.

Agak unik adalah batik tambal buketan Tiga Negari. Motif buketan maksudnya bergambar buket-bunga bunga dan daun serta sulurnya.

“Tiga negari itu memang proses mewarnainya di tiga daerah. Yakni warna merahnya di Lasem, warna coklatnya di Solo atau Yogya dan warna biru indigo di Pekalongan. Dulu masih pakai pewarna alam,” tutur Sehabudin.

Terlihat batik tambal dari Jambi dengan dominan warna merah. Ciri khas batik Sumatera ini salah satu tepinya dinamakan tumpal dengan motif gerigi besar-besar.

Lain lagi dengan tambal manyuro bermotif burung merak dan ayam jago. Warna dominan coklat ada unsur kebiruan. Manyuro adalah waktu pagi saat jago berkokok.

Ada lagi motif kotak tambal sumpil Banyumas dan tambal sumpil Solo Sodagaran dengan motif dasar banyak segitiga.

Dari Pamekasan Madura ada satu batik motif buketan dengan berbagai flora dan tambal Cirebon bermotif udang dan hewan mitos yaitu naga liman.

Tambal kitiran dari Yogyakarta bermotif baling baling mirip simbol tiga berlian dengan latar putih.

Satu lagi motif udan liris atau udan riris. Artinya hujan rintik-rintik atau gerimis disertai angin. Makanya motif batik ini bentuknya garis-garis miring yang sejajar.
Menurut sejarahnya motif ini muncul pada zaman Paku Buwono III di keraton Surakarta sekitar pertengahan abad ke-18.

Pada zaman dahulu batik udan liris hanya boleh dikenakan para bangsawan keraton. Namun sekarang tidak lagi. Siapa pun boleh memakainya untuk busana.
Motif udan liris mengandung makna keteguhan hati tetap berkarya walau dalam masa sulit. Pada pameran itu hanya 10 lembar batik motif udan liris. Di antaranya udaniris gelombang Yogyakarta, udan liris Tuban dan udan liris parang Solo. Motif ini lahir dari keprihatinan yang menumbuhkan keteguhan hati untuk tetap berkarya. (Suprihardjo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *