JAKARTA, REPORTER.ID – Lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, menjadi polemik dimasyarakat. Pasalnya, aturan yang diundangkan oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim pada 3 September 2021 itu, dinilai menghalalkan zina di lingkungan kampus.
Bahkan, Presidium Majelis Nasional FORHATI (Forum Alumni HMI-Wati), melalui koordinatornya Hanifah Husein pada Selasa (9/11/2021) meminta Mas Nadiem sapaan Nadiem Makarim menarik kembali dan menyempurnakan Permendikbudristek tersebut dengan menghilangkan frasa ‘tanpa persetujuan korban.’
Sebab, keberadaan frasa tersebut menurut FORHATI, membuka celah kebolehan melakukan kekerasan seksual, memantik, sekaligus memberi peluang bagi terjadinya perzinahan atas dasar persetujuan atau suka sama suka.
“Kekerasan seksual dan berbagai implikasinya mesti dipandang tidak hanya dalam konteks hubungan pesonal dan hubungan sosial semata-mata. Melainkan harus dilihat dalam keseluruhan konteks kebudayaan dengan berbagai nilai dan norma suatu masyarakat dan bangsa,” kata Hanifah.
Apalagi, lanjut Hanifah, dalam konteks kebudayaan Indonesia yang dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma budaya tempatan dan religi yang dianut sebagian terbesar penduduknya, masalah seksual harus dipandang secara menyeluruh dan utuh.
“Tidak hanya terbatas dalam aspek kekerasan seksual, melainkan kesakralannya, yang membedakan manusia sebagai insan -sebaik-baik makhluk- dengan makhluk lainnya, sehingga manusia tidak tergelincir menjadi ‘hewan yang berakal’,” ujarnya.
Hanifah menekankan bahwa nilai dan norma agama menjadi utama, penting, dan harus didahulukan. Sebab, agama mengatur kebolehan dan ketidakbolehan melakukan hubungan dan interaksi seksual agar manusia utuh menjadi manusia, sehingga tidak mudah tergelincir dan terjebak dalam suatu kondisi hubungan dan interaksi seksual yang menghilangkan dimensi kedalamannya sebagai manusia.
“FORHATI konsisten dengan pandangan dan sikapnya, bahwa seluruh aturan tentang pencegahan kekerasan seksual, tidak dengan serta merta mengabaikan atau menghilangkan nilai dan norma agama yang dianut warga negara dan bangsa,” tambahnya.
Mengabaikan dan menghilangkan norma agama dalam regulasi negara, baik Undang-Undang maupun peraturan turunannya, menurut Hanifah, adalah bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sekaligus dapat menimbulkan bencana sosial. Baik berupa penghancuran nalar khalayak maupun penghancuran norma dan nilai kemanusiaan, yang dapat dimulai dari hubungan seksual secara bebas, hanya dengan dalih atas persetujuan masing-masing individu atau suka sama suka, sexual consent.
Oleh karena itu, FORHATI mengingatkan Mas Nadiem (Mendikbudristek), untuk teliti dalam membuat peraturan dan bersungguh-sungguh mempelajari dan memahami dimensi sosial budaya dan agama masyarakat Indonesia. Sekaligus tidak menjadikan dunia pendidikan tinggi sebagai salah satu sumber bencana sosial bagi bangsa ini.
“Dunia pendidikan adalah benteng terakhir dalam menjaga moralitas bangsa dari serbuan pemikiran asing yang merusak nilai-nilai Pancasila di NKRI,” pungkas Hanifah.