Oleh : Gantyo Koespradono
Presiden Jokowi akhirnya memberi sinyal siapa sosok yang pantas menggantikannya sebagai presiden periode 2024-2029. Apakah ini sudah pasti? Bisa ya. Bisa pula tidak. Pasalnya, ketika memberikan sinyal tersebut saat bertemu dengan para relawan pendukungnya (2014 dan 2019) Projo di Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (21/5), Jokowi mengatakan, “Orang tersebut mungkin ada di sini.”
Meski tanpa menyebut nama, para pendukung (relawan) Jokowi dengan gampang menyimpulkan bahwa “orang” yang dimaksud Jokowi adalah Ganjar Pranowo. Ya, saat itu yang hadir di acara itu antara lain adalah Ganjar dan Moeldoko. Tidak ada Prabowo Subianto, apalagi Anies Baswedan.
Apakah yang dimaksud Moeldoko? Saya yakin tidak, sebab Moeldoko selain (maaf) sudah tua, nama ini tidak masuk dalam radar bakal calon presiden lembaga-lembaga survei. Namanya juga sudah terlanjur “cacat” sebagai tokoh nasional setelah gagal mengambil alih kepemimpinan di Partai Demokrat.
Apakah pasti Ganjar? Juga belum tentu 100%, sebab selain berpesan kepada para relawan Projo jangan terburu-buru, Jokowi juga menyebut kata “mungkin”. Artinya jika pada saatnya nanti bukan Ganjar yang dicalonkan, Jokowi masih bisa berkilah, “Lho, saya, kan, tidak menyebut nama siapa pun, termasuk Ganjar. Saya cuma bilang mungkin.”
Proses penyebutan – apalagi dukungan – secara resmi maupun setengah resmi kepada Ganjar untuk kontestasi 2024 membutuhkan pergumulan yang tidak gampang. Sampai saat ini PDIP, partai tempat Ganjar bernaung, masih menahan diri. Memberikan sinyal mengusung Ganjar pun belum dilakukan PDIP. Partai ini bahkan lebih cenderung melakukan cek ombak bakal capres 2024 untuk Puan Maharani.
Namun, sayang, berdasarkan survei yang dilakukan beberapa lembaga survei, tingkat elektabilitas Puan masih pada kisaran satu digit. Sebaliknya Ganjar yang justru terus moncer. Elektabilitasnya berada di anak tangga pertama.
Saya menduga ke depan PDIP akan realistis. Partai ini akan mendengar suara arus bawah dan menjadikan hasil survei elektabilitas tokoh sebagai salah satu tolok ukur penentu bakal calon presiden. Ganjar adalah kadernya sendiri. Jokowi pun telah memberikan sinyal. Mengapa tidak Ganjar sebagai pilihan final? Bukan cuma bakal capres alternatif.
Andai pun Jokowi di dalam hati mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “orangnya mungkin ada di sini” adalah Ganjar, saya bisa pahami. Di mata Jokowi, Ganjar-lah sosok calon RI-1 yang bisa meneruskan apa yang telah dibangun Jokowi, terutama proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang kini sedang dibangun di Kalimantan Timur.
Terkait dengan alasan ini, Jokowi tidak ingin kasus Jakarta terulang di tingkat nasional. Seperti yang kita ketahui sepeninggal Jokowi dan Ahok, penggantinya mengobrak-abrik bahkan membatalkan apa yang telah dibangun mereka. Ganjar bukan tipe seperti sosok yang satu itu.
Saya yakin jika memang Ganjar yang disinyalkan Jokowi kelak terpilih menjadi RI-1, sangat mungkin Jokowi yang masa jabatannya sebagai RI-1 berakhir 2024, akan ditunjuk sebagai penasihat Badan Otorita IKN.
Saya di kolom ini pernah menulis jika memang Indonesia ingin mempertahankan eksistensinya sebagai negara yang kuat di bidang ekonomi, maka ada sosok yang pantas duduk sebagai RI-2 mendampingi Ganjar, yaitu Erick Thohir.
Benar, Erick Thohir belakangan ini memang kerap bersolek agar namanya bisa diperhitungkan sebagai bakal calon wakil presiden. Namun, fakta membuktikan, tingkat elektabilitasnya belum juga terdongkrak naik. Melihat realita ini, bolehlah Erick Tohir diusung sebagai cawapres mendampingi Ganjar. Menurut saya, Ganjar-Erick lebih realistis daripada Prabowo-Puan yang belakangan kerap disebut-sebut.
Jika Ganjar-Erick yang maju, maka kontestasi Pilpres 2024 saya perkirakan akan berlangsung lebih sehat. Jika memang pasangan ini diusung PDIP, maka sangat mungkin Partai NasDem dan PKB akan bergabung. Pasalnya, NasDem juga akan menominasikan Ganjar sebagai bakal capres 2024 di samping Andika Perkasa yang kini masih menjabat sebagai Panglima TNI dalam Rakernas yang akan digelar pertengahan Juni nanti.
Meskipun Muhaimin Iskandar (Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa/PKB) sudah memasang baliho sebagai capres, menurut saya, partai yang dipimpinnya akan oke-oke saja mendukung Ganjar-Erick. Asal demi kepentingan “kebangkitan bangsa” sesuai dengan nama partai, PKB pasti akan memberikan dukungan. Kalau pun nanti seolah-olah PKB jual mahal, menurut saya, itu tidak lebih dari trik dan taktik sang ketua umumnya saja.
Di luar itu yang perlu dicermati adalah strategi yang dimainkan Airlangga Hartarto yang telah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan.
Tiga partai itu — kita berharap tetap kompak hingga pencapresan resmi tahun depan – sudah memenuhi syarat untuk mengusung capres sendiri. Besar kemungkinan, KIB akan mencapreskan Airlangga Hartarto.
Lalu siapa cawapresnya? Kalau Partai Demokrat bergabung, bisa saja KIB mencawapreskan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Atau bisa saja (meski agak ngawur dan tidak mungkin) mengajak Gerindra bergabung dan mengusung Prabowo Subianto (entah sebagai apa) yang belakangan mulai tahu diri. Ingat, politik sangat cair.
Jika demikian halnya bagaimana dengan PKS yang menjadikan Anies Baswedan sebagai satu-satunya ikon untuk menunggangi agama guna meraih kemenangan? Maaf, saya tidak punya analisis dan prakiraan soal ini. Terserahlah, PKS mau bergabung ke mana.
Yang pasti, seperti diperkirakan dan diharapkan banyak orang, Pilpres 2024 tanpa sosok yang satu itu, bakal berlangsung fair untuk Indonesia yang lebih baik. Saya percaya masyarakat Indonesia yang berakal sehat dan cinta damai tidak menginginkan Pilkada DKI Jakarta 2017 tercopy-paste pada Pilpres 2024. (Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah social politik)