KEBERADAAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DALAM MEMPERJUANGKAN HAK MASYARAKAT ADAT

oleh
oleh

Laksmana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi (net)

 

Oleh : Ambassador Freddy Numberi

1. Pendahuluan

  1. Bung Karno, mengatakan:”Bangsa Indonesia dimasa depan harus bersatu dalam realitas yang berbeda baik ras, suku, dan agama justru akan menumbuhkan gairah nasionalisme atas nama bangsa dan negara.“ (Sulaiman Effendi, 2014:171)
  2. Gus Dur, sang Bapak Pluralisme dan Demokrasi Indonesia, menyatakan: ”Pluralisme harus berintikan semangat memaklumi segala perbedaan untuk kebaikan dan kemajuan bersama.” (M.Hamid, 2014:78) c. Prof. Thoby Mutis (Universitas Trisakti), mengatakan :“Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna.” (Thoby Mutis , 2008:5) Abraham Lincoln (1809-1865), Presiden AS Ke- 16 mengatakan : “Anda dapat membohongi semua orang beberapa saat ; Anda bisa menipu sebagian orang sepanjang waktu ; tetapi Anda tidak bisa membodohi semua orang sepanjang waktu”(sumber : Clinton Illnois , 1858). Hal ini memiliki makna sangat dalam bagi generasi milenial Indonesia (termasuk Papua) baik dimasa kini maupun di masa mendatang, meramunya dalam kebhinekaan Indonesia yang berintikan Bhineka Tunggal Ika.
  3. Latar Belakang Sejarah

Pada tahun 2000, melalui TAP MPR No. IV Tahun 2000 menekankan bahwa perlu adanya Undang-Undang Otonomi Khusus untuk merespon tuntutan dan aspirasi rakyat Papua. Ketetapan tersebut sangat membahagiakan rakyat Papua dan dianggap sebagai peta jalan (roadmap) menuju pemulihan kepercayaan dan penyelesaian masalah yang ada di Wilayah Tanah Papua (WTP), secara komprehensif dan menyeluruh. Upaya ini terus bergulir dan mencapai puncaknya melalul UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri (Presiden RI ke-5) pada tanggal 21 November 2001.

Komitmen Pemerintah Pusat melalui Perundangan tentang Otonomi Khusus Papua untuk: (1) Menghormati hak-hak asasi manusia, nilai-nilai keagaman, demokrasi, nilai-nilai hukum dan budaya yang ada di dalam masyarakat adat (mengacu pada budaya, yang dimiliki oleh setiap kelompok etnis dan terdiri atas pengetahuan, kelakuan-kelakuan, aturan–aturan hukum “masyarakat adat”) sesuai 7 wilayah adat yang ada di WTP;

(2) Menghormati keanekaragaman kehidupan sosial-budaya di masyarakat adat asli Papua; (3) Melindungi dan menghormati etika-etika dan moral-moral; (4) Melindungi hak-hak fundamental dari penduduk asli dan hak-hak asasi manusia; (5) Memastikan tegaknya hukum; (6) Menjaga demokrasi; (7) Untuk menghormati pluralisme; dan (8) Untuk memecahkan masalah-masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) terhadap penduduk asli Papua.

Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat Papua seperti digambarkan dalam komitmen di atas mencakup arti mengakomodasi kebudayaan dan nilainilai lokal di dalam kebijakan pembangunan di Papua dan pemberdayaan Orang Asli Papua (OAP). Hal tersebut memerlukan program-program baik yang jangka pendek,jangka sedang maupun yang berjangka panjang dan berkelanjutan yang memungkinkan masyarakat asli Papua untuk berpartisipasi menikmati proses kemajuan dalam semua bidang kehidupan di seluruh WTP (Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan dan Provinsi Papua Barat Daya) dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  1. Pelaksanaan Otonomi Khusus

Pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat(Otsus Papua) didasarkan pada UU No.21 Tahun 2001 jo UU No.35 Tahun 2008, adalah sebuah hasil kompromi politik antara masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik multi dimensi yang berkepanjangan sejak tahun 1963. Melalui kompromi politik tersebut pemerintah bersedia melakukan koreksi untuk tidak mengulang lagi berbagai kebijakan dan bentuk pendekatan pembangunan dimasa lalu yang umumnya tidak berpihak kepada OAP, serta berimplikasi pada keterpinggiran dan ketertinggalan di segala bidang pembangunan, sehingga berakumulasi pada menguatnya keinginan (aspirasi) untuk memisahkan diri dari NKRI.

Selain itu, kekhususan otonomi di Papua sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2001 dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, adanya institusi representasi kultural Orang Asli Papua, yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP) yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak Orang Asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Melalui MRP sesungguhnya diharapkan hukum-hukum adat yang hidup dalam masyarakat diakui keabsahannya sebagai hukum formal.

Kedudukan lembaga MRP tidak dijumpai di daerah lain bahkan didunia, di mana dari sisi wewenang yang dimiliki dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif dalam struktur parlemen bikameral (sebagai majelis tinggi). Sebagai representasi masyarakat asli Papua, MRP memiliki wewenang yang besar, baik di dalam pembentukan pemerintahan maupun penyelenggaraan pemerintahan. MRP inilah yang akan menentukan bentuk konkrit kekhususan pemerintahan Papua.

Kedua, adanya pengaturan yang bersifat khusus terkait dengan pendapatan daerah untuk Papua. Kekhususan Papua adalah pada besaran Dana Bagi Hasil/DBH untuk sumber daya alam di sektor pertambangan minyak bumi sebesar 70% dan pertambangan gas alam sebesar 70%. Persentase ini lebih besar dari persentase yang diatur untuk daerah lain, dimana bagi hasil pertambangan minyak bumi untuk daerah adalah 15,5% dan untuk gas alam 30,05%. Selain itu adanya “Penerimaan Khusus” dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarannya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional.

Ketiga, adanya pengakuan terhadap eksistensi kultural masyarakat asli Papua, melalui penggunaan simbol-simbol khusus yang merepresentasikan eksistensi Papua, penamaan lembaga,dan penamaan aturan yang juga bersifat khusus. (Peraturan Daerah Provinsi /Perdasi dan Peraturan Daerah Khusus/ Perdasus). Langkah-langkah tersebut tidak lain dalam rangka melindungi dan memberi peran lebih besar dalam pengelolaan pemerintahan bagi rakyat Papua.

  1. Penutup

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua yang didasari Pasal 5 (ayat 2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan I 19 Oktober 1999) maka lebih kokoh lagi MRP dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya membantu pemerintah didaerah (Gubernur dan Wakil Gubernur serta DPRP).

Didasari pada UUD 1945 Pasal 18B ayat (1dan 2), di mana dinyatakan bahwa: (1)Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat Istimewa yang diatur dengan undangundang. (2)Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. (Perubahan II 18 Agustus 2000).

Aturan pasal-pasal tersebut merupakan dasar dalam penyelenggaraan pelaksanaan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di seluruh WTP dalam melaksanakan Otonomi Khusus di Provinsi masing-masing. Dengan demikian tidak ada salahnya bila MRP se-wilayah Papua menyarankan bahwa Bupati dan Wakil Bupati termasuk Walikota dan Wakil Walikota adalah Orang Asli Papua (OAP), berdasarkan Keputusan Asosiasi Majelis Rakyat Papua SeWilayah Papua Nomor 2 Tahun 2024, tanggal 03 Mei 2024.

Hal ini sejalan dengan UUD 1945, Pasal 18B ayat (1 dan 2). Mudah-mudahan Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya sebagai Presiden RI membuat Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPPU) dan kemudian dilanjutkan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan persetujuan DPR mengamandir atau menambah pasal-pasal dalam UU Otsus sehingga memayungi apa yang disuarakan Masyarakat adat Papua melalui Majelis Rakyat Papua bahwa disamping Gubernur dan Wakil Gubernur adalah OAP termasuk Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota adalah Orang Asli Papua.

Dengan demikian apa yang diharapkan Presiden Jokowi pada saat berkunjung ke Tanah Papua dapat dicapai, dengan indikator sebagai berikut: 1. Meningkatnya kesetaraan dan keseimbangan dengan Provinsi lain di Indonesia; 2. Pembangunan di WTP dalam segala bidang harus berhasil, oleh karena itu Pemerintah Pusat harus menjadi pemerintah yang eksis dalam pemerintahan di WTP sampai ke Distrik dan Kelurahan serta Masyarakat adat yang ada melalui pengawasan dan pembinaan yang berlanjut; 3. Terwujudnya partisipasi Masyarakat hukum adat yang efektif; 4. Terwujudnya kebijakan afirmasi dan berbagai perlakuan yang pada akhirnya mampu mewujudkan kualitas kehidupan di WTP yang damai. (Penulis adalah Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi, mantan Gubernur Papua, mantan Menhub, mantan Menpan-RB, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, mantan Dubes RI untuk Italia dan Malta, pendiri Numberi Center).