Mengangkat/Memberhentikan Menteri, Bukan Hak Prerogatif Presiden?

oleh
oleh

Muchyar Yara, SH, MH (net)

 

Oleh : Muchyar Yara, SH, MH

Sejak beberapa waktu ini di media mainstream maupun media online mulai diramaikan dengan beredarnya  informasi atau issue tentang kemungkinan Presiden Jokowi melakukan reshuffle  kabinet (perombakan kabinet).

Sebagaimana biasanya berkaitan dengan pengangkatan atau pemberhentian Menteri selalu dikaitan dengan salah satu istilah hukum yang cukup dikenal oleh masyarakat di Indonesia, yaitu istilah Hak Prerogative (yang dimiliki oleh Presiden).

Masyarakat umum memahami hak prerogative sebagai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden menurut UUD 1945, yang tidak dapat disanggah ataupun diganggu gugat oleh siapapun. Dimana salah satu hak prerogative yang paling populer adalah hak Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara.

Menurut pemahaman yang umum, maka berdasarkan hak tersebut Presiden dapat mengangkat siapapun untuk jabatan menteri apapun serta sekaligus pula dapat memberhentikan menteri setiap waktu, kesemuanya semata-mata berdasarkan pertimbangan subyektif Presiden yang tidak dapat diganggu gugat karena merupakan hak prerogativenya.

Dimasa pemerintahan Presiden Gus Dur yang baru berusia 2 tahun telah berulangkali dilakukan pengangkatan dan pemberhentian para menteri yang jumlahnya tidak sedikit. Bahkan ada menteri yang baru menjabat selama 1 bulan telah kehilangan jabatannya kembali, baik karena digantikan oleh orang lain atau karena kantornya dibubarkan. Tetapi tidak ada satupun komentar yang diberikan sehubungan dengan masalah ini, karena semuanya menerima sebagai hak prerogative Presiden Gus Dus.

Tulisan singkat ini ingin mencoba menjawab pertanyaan, “apakah pengangkatan/pemberhentian menteri (Menteri Negara) merupakan hak prerogative Presiden menurut UUD 1945?” .

Latarbelakang Hak Prerogatif

Hak prerogative merupakan salah satu istilah yang dikenal di lapangan hukum tata negara, adalah hak-hak istimewa yang tidak dapat diganggu gugat yang dimiliki oleh seorang Kepala Negara, baik Raja maupun Presiden. Pada awalnya hak prerogative ini hanya mencakup pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, tetapi kemudian berkembang sehingga meliputi hak mengangkat duta dan konsul, menerima duta negara sahabat, menetapkan formatur kabinet (dalam sistem parlementer), menyatakan perang dan damai atas persetujuan Parlemen dan sebagainya.

Sesuai dengan sejarahnya, maka tujuan pemberian hak prerogative kepada Kepala Negara adalah semata-mata sebagai sarana mengatasi kemungkinan ketidak mampuan hukum di dalam menjalankan fungsinya menciptakan keadilan (dan ketertiban) ditengah-tengah masyarakat.

Sebagai  lembaga sosial yang dibentuk oleh masyarakat, hukum tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan dan memiliki keterbatasan , seperti misalnya yang terpenting adalah terbukanya kemungkinan terjadinya keadaan yang tidak adil dari suatu proses pelaksanaan hukum yang justru bertujuan menciptakan keadilan. Dan lebih celaka lagi, hukum ternyata tidak mempunyai kemampuan untuk mengatasi atau memperbaiki ketidakadilan yang tercipta dari proses pelaksanaan hukum itu sendiri.

Inilah yang seringkali dikemukakan sebagai “keterbatasan hukum” atau “the limit of law”. Contohnya, seorang tersangka setelah melewati pemeriksaan ditingkat pertama (Pengadilan Negeri), tingkat banding (Pengadilan Tinggi), dan tingkat kasasi serta Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung) dinyatakan bersalah atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya dan dijatuhi hukum mati (putusan hukum final). Tetapi beberapa saat sebelum hukuman mati dilaksanakan, terungkap bukti baru yang tidak terbantahkan bahwa si Terpidana Mati tidak bersalah.

Keadaan seperti ini bukan saja mungkin terjadi, tetapi justru seringkali terjadi, seperti halnya di Indonesia dalam kasus Sengkon-Karta. Hal mana karena keseluruhan proses pelaksanaan dan penegakan  hukum dijalankan oleh manusia yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan.

Menghadapi keadaan seperti ini Mahkamah Agung sebagai lembaga hukum yang tertinggi ternyata tidak mampu berbuat apapun, karena Mahkamah Agung tidak dapat merubah keputusan hukuman mati yang sudah bersifat final,  mengingat akibatnya akan menciptakan ketidakpastian hukum yang bermuara pada ketidaktertiban di dalam kehidupan masyarakat (terbentur pada asas ‘nebis in idem’, yaitu seseorang tidak diperbolehkan disidang ulang oleh pengadilan untuk perkara yang sama).

Sebaliknya, meneruskan pelaksanaan hukuman mati akan menciptakan ketidakadilan, yang dapat mengakibatkan menurunnya kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum yang berlaku dan pada gilirannya juga akan membuahkan ketidaktertiban di masyarakat, ibaratnya ‘dimakan Bapak mati, tidak dimakan Ibu yang mati’.

Keadaan simalakama tersebut di atas hanya mungkin diatasi melalui intervensi Kepala Negara kedalam wilayah kekuasaan kehakiman (yudikatif), dimana dengan berbekal hak prerogativenya Kepala Negara memberikan grasi (pengampunan) kepada si Terpidana Mati, seperti dalam contoh di atas, sehingga keadilan tidak terusik dan kewibawaan hukum tetap terjaga.

Dari uraian singkat di atas dapat dikenali ciri utama hak prerogative termaksud, yaitu pertama hak prerogative merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh Kepala Negara, dan kedua pelaksanaan hak ini tidak dapat diganggu gugat serta tidak dapat dibatasi oleh pihak manapun juga.

Hak Prerogatif dan Pengangkatan & Pemberhentian Menteri Menurut UUD 1945

UUD 1945 juga mengenal adanya hak prerogative Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal, 11, 12, 13, 14 dan 15 UUD 1945, dimana menurut Penjelasannya dikatakan kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ialah konsekwensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara.

Sedangkan hak Presiden untuk mengangkat (dan memberhentikan) menteri-menteri yang diatur dalam Pasal 17 UUD 1945 adalah merupakan konsekwensi dari kedudukan Presiden selaku Kepala Pemerintahan.

Sekalipun menurut ketentuan UUD 1945 menteri-menteri adalah pembantu Presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, namun hal ini tidak berarti Presiden dapat seenaknya saja menggunakan haknya di dalam melakukan pengangkatan menteri- menteri. Seperti misalnya mengangkat seorang yang belum dewasa menjadi menteri, atau misalnya lagi mengangkat seorang yang bukan ahli dibidang pekerjaan menteri tertentu.

Di dalam Penjelasan UUD 1945 (pada Amandemen UUD 1945 sudah dihapus), dikatakan bahwa menteri-menteri adalah para pemimpin yang sesungguhnya dan Presiden wajib memperhatikan sungguh-sungguh nasehat atau pendapat menteri-menteri karena mereka ahli dibidangnya masing-masing. Hal ini mengandung arti bahwa didalam melakukan haknya mengangkat menteri, Presiden dibatasi oleh pedoman yang ditentukan oleh UUD 1945, yaitu menteri yang diangkat itu haruslah seorang yang sudah dikenal kualitasnya sebagai pemimpin dan juga orang tersebut adalah ahli menurut bidangnya yang merupakan bagian dari ruang lingkup pekerjaan jabatan kementeriannya.

Meskipun pedoman ini sudah dihapus, karena Penjelasan  UUD 1945 sudah (di Amademen), tetapi didalam ilmu perundang-undangan pedoman tersebut tetap harus diperhatikan sebagai bagian dari sejarah (Memorie van toelichting). Halmana berarti Pengangkatan menteri-menteri bukanlah Hak Presiden yang bisa dilaksanakan sebebasnya oleh Presiden (Bukan Hak Prerogative) yang tidak bisa diganggu gugat, tetapi merupakan hak Presiden yang harus dilaksanakan sejalan dengan pedoman yang ditentukan oleh UUD sendiri (pernah).

Praktek kenegaraan di Amerika Serikat yang bersistem pemerintahan presidensil seperti juga halnya di Indonesia, seorang presiden yang baru terpilih dalam pemilihan presiden ingin membentuk/-mengangkat  menteri-menterinya (di AS disebut sebagai Secretary of State), maka nama-nama calon menteri-menteri tersebut di konsultasikan (sounding) terlebih dahulu kepada Kongres (Senate).

Pernah terjadi bahwa ketika Presiden mengajukan seseorang calon untuk diangkat sebagai Jaksa Agung, Kongres mendapatkan informasi bahwa calon Jaksa Agung tersebut pernah mempekerjaan seorang imigran gelap sebagai pembantu rumah tangganya, sehingga kongres menyarankan kepada Presiden agar calon yang bersangkutan tidak diangkat sebagai Jaksa Agung, karena dinilai cacad secara moral.Dan Presiden memperhatikan saran Senate tersebut.

Akhirnya bagaimana jika seseorang yang ahli telah diangkat oleh Presiden untuk menduduki jabatan menteri yang sesuai dengan keahliannya itu, tetapi kemudian ternyata sungguh-sungguh tidak disukai oleh DPR ?

Jawabannya, seorang Presiden yang bijaksana akan memperhatikan sikap DPR terhadap menteri yang bersangkutan, karena menjaga hubungan yang baik dengan DPR adalah lebih penting daripada mempertahankan menteri yang bersangkutan, karena DPR adalah lembaga negara yang berwenang mengawasi Pemerintah (Presiden). Serta lebih dominan didalam menetapkan APBN, Sehingga menteri yang sungguh-sungguh tidak disukai oleh DPR sebaiknya diganti dengan lainnya.

Sistem pemerintahan menurut UUD 1945 dikenal sebagai “sistem pemerintahan quasi presidensiil” yang mengandung arti bahwa didalam menjalankan kekuasaannya sebagai Kepala Pemerintahan (eksekutif). Presiden perlu mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota parlemen, atau ini artinya presiden perlu selalu memperhatikan konstelasi keanggotaan di parlemen.

Dan karena anggota parlemen adalah juga anggota partai politik berarti pula presiden perlu memperhatikan aspirasi partai politik yang ada, terutama partai politik yang mendukung presiden. Sehingga jika presiden ingin mengangkat menteri atau lebih khusus lagi memberhentikan menteri tertentu yang berafiliasi dengan partai politik (pendukung presiden), jangan sampai mengganggu konstelasi anggota parlemen.

Demikian juga jika presiden memberhentikan menteri tersebut, mengakibatkan partai politiknya mengalihkan dukungannya dari presiden, jangan sampai merubah konstelasi anggota DPR, dari mayoritas menjadi minoritas. Hal mana akan menyulitkan Presiden untuk mendapatkan dukungan atau persetujuan DPR didalam menetapkan Anggaran Belanja Negara (APBN), sementara anggaran belanja ini merupakan faktor yang penting didalam menentukan keherhasilan atau kegagalan presiden dadalam menjalankan pekerjaannya.

Singkatnya di dalam pengangkatan dan terutama dalam hal pemberhentian menteri tertentu yang mempunyai afiliasi dengan partai politik, presiden harus pula mempertimbangkan aspirasi dari partai politik yang bersangkutan.Hal ini menunjukan presiden tidak sepenuhnya bebas menjalankan haknya untuk memberhentikan menteri yang adalah juga pembantunya.

Kesimpulan dari uraian diatas bahwa mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri bukan merupakan hak prerogative Presiden yang dapat  dilaksanakan secara mutlak dan sebebasnya, tetapi di dalam mengangkat serta memberhentikan menteri-menteri Presiden harus mempertimbangkan rambu-rambu dan faktor-faktor yang ada didalam praktek kehidupan kenegaraan (politik) dinegara yang bersangkutan. (Penulis adalah Mantan Dosen Lembaga Kepresidenan, Pengamat Hukum Tatanegara dari UI, Mantan Wakil Sekjen Partai Golkar)