Oleh : Laksamana Madya TNI (Pur) Freddy Numberi
Latar Belakang
Munculnya istilah Operasi Militer Selain Perang (OMSP) pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 10 Ayat (3) butir c, namun penjelasan terkait OMSP baru muncul pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), Pasal 7 Ayat (2) butir b. Di dalamnya dimuat 14 tugas yang diemban sesuai OMSP.
Pelaksanaan OMSP hanya bisa diberlakukan berdasarkan keputusan politik negara sesuai Pasal 7 Ayat (3) UU TNI. Kita patut mengapresiasi apa yang dilakukan TNI sejak Reformasi tahun 1998, di mana pada waktu itu institusi TNI merupakan salah satu institusi yang menjadi objek tekanan publik untuk berubah dan tidak menjadi alat penguasa negara melalui Dwi Fungsi ABRI. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 menjadi payung hukum yang sah bagi peran TNI sesuai yang diharapkan oleh bangsa dan negara di kemudian hari.
Di masa damai dewasa ini dalam menghadapi konflik-konflik di daerah seperti Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dimana KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) secara sporadis melakukan serangkaian tindakan kriminal yang mengarah pada definisi pasukan pembangkang (dissident armed forces) tentunya Operasi Militer oleh TNI sangat diharapkan.
Para separatis pada umumnya melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari satu negara yang merdeka dan berdaulat, melalui berbagai cara. Secara umum gerakan separatisme itu muncul karena beberapa faktor, yaitu: (1) latar belakang sejarah; (2) perbedaan etnik, suku, budaya dan kultur; (3) perbedaan keyakinan atau agama; (4) perbedaan sosial dan ekonomi; (5) letak geografis. (sumber: Abdul Hamid, Gerakan Separatisme ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional, 2001:hal.8)
OMSP dalam menghadapi KKB
Isu keamanan dalam negeri Indonesia, khususnya di Tanah Papua akibat ulah sekelompok orang yang menggunakan senjata dan ingin memisahkan diri dari NKRI menjadi pertanyaan apakah tepat bila TNI dilibatkan dalam hal ini.
Hal ini dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan di masa lalu yang kusut, yang kemudian menjelma menjadi ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah baik pusat maupun daerah.
Otonomi Khusus yang diberikan pemerintah kepada Papua juga belum dapat mensejahterakan OAP. Selama akar masalah tidak mendapat solusi yang tepat potensi ingin memisahkandiri akan selalu muncul dalam bentuk-bentuk yang bervariasi, termasuk Kelompok Kriminal Bersenjata yang sekarang terus menerus melakukan perlawanan terhadap pemerintah.
Akar permasalahan sesuai hasil penelitian LIPI (marjinalisasi dan diskriminasi; kegagalan pembangunan; kekerasan dan pelanggaran HAM; sejarah dan status politik Papua) harus menjadi perhatian pemerintah dan harus diselesaikan dengan tuntas, sehingga tidak menjadi masalah di masa mendatang dalam rangka meraih Papua Tanah Damai, Adil dan Sejahtera. Sesuai amanat Presiden Jokowi tanggal 9 Mei 2015 di Jayapura.
OMSP harus memperhatikan HAM sebagaimana diatur dalam Hukum Humaniter Internasional karena Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949.
Ini adalah konsekuensi yuridis bagi setiap negara yang menandatangani konvensi tersebut untuk mematuhinya.
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa dalam hal terjadi pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah satu negara yang menandatangani Konvensi Jenewa, maka tiap pihak yang bertikai harus memperhatikan aturan-aturan tentang kemanusiaan antara lain:
Gagasan bahwa ancaman non militer dalam keamanan global dewasa ini menjadi paramountdengan latar belakang sebagai berikut : Peningkatan konflik sipil bersenjata dalam suatu negara, Tumbuh dan berkembangnya tuntutan demokrasi, Intervensi kemanusiaan oleh PBB, Meluasnya kemiskinan dan pengganguran akibat krisis ekonomi sejak tahun 1990-an.
Penutup
Setidaknya ada beberapa kasus pelanggaran HAM akibat OMSP dan mendapat perhatian publik pasca 1998 baik dalam negeri maupun luar negeri seperti kasus Abepura Berdarah (2000), pembunuhan Theys Eluay (2001), peristiwa Wasior Berdarah (2001), peristiwa Wamena Berdarah (2003), dan lain-lain. Kasus-kasus kekerasan tetap bergulir di tahun-tahun selanjutnya dan melibatkan unsur aparat keamanan.
Praktik-praktik kekerasan dalam suatu OMSP kadang-kadang berdimensi penyiksaan juga menjadi satu rumpun kategori pelanggaran HAM yang menjadi fokus perhatian baik secara nasional maupun internasional.
John Andrews dalam tulisannya”The World in Conflict, Understanding the World’s trouble spots” (London, 2015:hal. 245), mengatakan: “The low level conflict has led to human-rights abuses by both sides, especially by Indonesian troops, leading by some accounts to 500.000 Papuans deaths over the past half century”.
Pernyataan John Andrews di atas dan pelajaran berharga dari kasus Timor Timur, seharusnya menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia dalam hal pendekatan keamanan di Papua yang perlu diubah sesuai Pendekatan Keamanan Manusia yang diamanatkan United Nations General Assembly (UNGA) Resolution nomor 14/128, tanggal 4 Desember 1986.
Indonesia sebagai negara anggota PBB tentunya memiliki tanggungjawab moral untuk melaksanakan resolusi tersebut dengan mengubah pendekatan keamanan seperti apa yang telah dilaksanakan oleh Presiden Jokowi dalam Paradigma Baru Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Selanjutnya Daoed Joesoef juga menegaskan : “Kok menyelesaikan ketidakpuasan rakyat atas kepincangan pembangunan dan ketidakpuasan politik dengan kekuatan senjata. Memang pemberontakan dapat ditumpas dan luka-luka akibat perang yang serba keliru itu dapat sembuh, namun bekas luka-luka tidak (akan) pernah hilang, diceritakan dari orangtua ke anak, dari anak ke cucu, dari cucu ke cicit, turun temurun“. (Daoed Joesoef, Studi Strategi, 2014:hal. 134)
Deklarasi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Hak Asasi Pembangunan (UNGA Resolution 41/128, 4 Desember 1986) mendefinisikan pembangunan sebagai : “Proses ekonomi, sosial, kultural dan politik yang menyeluruh, yang bertujuan untuk memperbaiki secara konsisten kemaslahatan segenap warga dan semua orang, lewat peran serta yang aktif, bebas, dan penuh makna didalam pembangunan dan dalam distribusi yang adil atas hasilnya“ (Mukadimah).
Ditegaskan pula bahwa pembangunan seperti itu adalah hak (entitlement), dimana setiap orang dan semua bangsa (peoples) adalah pemangku hak (right holder) dari negara, baik masing-masing maupun bersama, merupakan pengemban tanggung jawab (duty bearer) dari negaranya.
Mahbub ul Haq dalam bukunya “The Crisis of Governance“ (Oxford University press, 2000) mengatakan : “ We need to fashion an new concept of human security that is reflected in the lives of our people, not in the weapons of our country “ (Kita perlu menciptakan konsep baru keamanan manusia yang tercermin dalam kehidupan rakyat kita, bukan pada senjata negara kita).
(Penulis adalah Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi, mantan Gubernur Irian Jaya, mantan MenPAN dan Reformasi Birokrasi, mantan Dubes RI untuk Italia dan Malta, mantan Menteri Kelajutan dan Perikanan dan mantan Menhub)