Oleh : Prof. Amir Santoso
Kekuasaan itu menyenangkan. Dan seperti candu, bikin mabok. Saya sebenarnya juga mau jika diberi kekuasaan. Anda juga kan? Hanya memang sebelum berkuasa biasanya kita masih waras. Tapi begitu berkuasa sedikit sekali yang mampu waras. Sebagian besar menjadi gila dan ingin nambah lagi.
Sekarang kita masih waras karena belum berkuasa. Karena itu kita masih mampu melihat berbagai masalah secara jernih. Kita masih mampu melakukan kritik dan masih bisa “bersama rakyat yang menderita “.
Dulu kita getol mengkritik Pak Harto. Banyak KKN lah, berkuasa terlalu lama lah, melarang kritiklah, mengutamakan kronilah dll. Tapi setelah kita berkuasa bukannya penyakit lama itu dibasmi malahan kita mengulanginya dengan lebih parah.
Maka tak heran jika ada publik yang skeptis dan bertanya apakah jika diganti maka penggantinya akan lebih baik? Ada yang berkata rasanya siapapun yang berkuasa, nasib rakyat akan tetap sama yaitu menderita.
Skeptisisme itu wajar. Sebab sewaktu Reformasi digulirkan, harapan akan hidup berbangsa dan ber negara yang lebih baik sangat membuncah. Tapi kini harapan itu sudah terbang entah kemana.
Maka tidak heran jika sebagian orang kembali rindu masa lalu yang lebih tenang dan lebih sejahtera. Publik tentu tidak salah. Yang salah adalah para pemimpin yang membuat kondisi bangsa dan negara menjadi rusak.
Orang bilang semua kerusakan dalam kehidupan bernegara Itu disebabkan oleh lemahnya pengawasan publik terhadap penyelenggara negara.
Itu memang betul karena boleh dikata semua lembaga pengawas eksekutif seperti DPR, parpol, aparatur hukum dan keamanan, media massa, LSM dll semuanya bungkam.
Budaya cari selamat dan cari makan telah membuat semua orang di lembaga-lembaga tersebut memilih tidak beroposisi terhadap pemerintah. Jikapun ada satu dua parpol yang berani menjadi oposisi tapi aktifitas politik mereka dalam mengawasi pemerintah belum terasa.
Publik juga tidak terbiasa melakukan kritik terhadap pemerintah berhubung masih kuatnya feudalisme yang menganggap pejabat tinggi negara sebagai orang suci yang tidak bisa salah dan tangannya perlu dicium.
Akibatnya dengan mudah pemerintah melakukan penekanan terhadap oposisi dengan menggunakan aparat keamanan karena meskipun ditekan toh tidak pernah ada perlawanan yang berarti.
Oposisinya malu-malu, kata orang, atau mungkin pura-pura. Sakit hati terhadap ketidakadilan selalu dipendam. Barulah jika sudah tidak tertahankan lagi, sakit itu dimuntahkan dalam wujud perlawanan massal.
Ada yang bilang pengawasan dari rakyat terhadap pemerintah lemah akibat dari masih rendahnya kesadaran politik rakyat. Itu benar belaka. Sebab Aristotle sendiri sudah mengatakan bahwa demokrasi tidak akan berjalan baik jika sebagian besar rakyat masih miskin dan berpendidikan rendah.
Tapi menunggu hingga rakyat menjadi pintar dan sejahtera tentu butuh waktu lama. Karena itu saya pikir lebih baik jika kita mengubah sistem pemilu.
Apapun nama sistem pemilu yang diterapkan saat ini ternyata hasilnya tidak memuaskan. Sebab anggota DPR dan DPRD yang duduk di lembaga tersebut tidak dikenal oleh rakyat yang memilihnya. Akibatnya, mereka tidak merasa berempati dan tidak bertanggung jawab terhadap rakyat di daerah pemilihannya.
Rakyat di daerah pemilihan mereka juga tidak bisa mengawasi kinerja mereka apatah lagi bisa merecall mereka dari posisinya di lembaga perwakilan.
Jadi jika sekarang kita menyaksikan banyak anggota DPR dan DPRD tidak bersedia menyuarakan kehendak rakyat dan lebih suka menyuarakan kepentingan pribadi atau partainya, hal itu disebabkan oleh hubungan saling tidak kenal antara mereka dengan rakyat.
Sistem pemilu yang kita kehendaki adalah yang mampu menghadirkan wakil rakyat yang dikenal secara pribadi oleh rakyat di daerah pemilihannya. Dengan demikian rakyat bisa menghubungi wakilnya kapanpun jika rakyat memiliki aspirasi yang perlu diperjuangkan oleh wakilnya di DPR atau DPRD.
Lain dari itu UU Pemilu harus memberikan hak kepada rakyat untuk bisa mengganti wakil mereka itu jika rakyat menganggap bahwa wakil mereka tidak mampu membela kepentingan rakyat.
Jadi yang memiliki hak merecall mestinya bukan lagi fraksi partai melainkan rakyat di daerah pemilihan masing-masing. Cara ini akan memberikan wewenang kepada rakyat untuk merecall wakil mereka sehingga terbentuk pengawasan oleh rakyat terhadap wakilnya itu.
Dengan demikian diharapkan para wakil rakyat bekerja demi kepentingan rakyat bukan kepentingan elite partainya atau kepentingan dirinya.
Saya tidak tahu apa nama sistem pemilunya. Yang penting sistem pemilu itu harus mampu menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar bisa disebut wakil rakyat.
Yaitu yang dikenal secara pribadi oleh rakyat di daerah pemilihannya. Yang bisa diawasi oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat karena jika tidak mampu maka bisa di recall oleh pemilihnya.
Jika sistem pemilu seperti itu bisa diterapkan maka tampaknya pengawasan terhadap eksekutif pemerintah akan otomatis berjalan sehingga eksekutif pun akan bertanggungjawab terhadap rakyat melalui wakil rakyat. Dengan demikian checks and balances akan berjalan dengan baik InsyaAllah. (Penulis adalah Gurubesar FISIP UI, Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta)