Waketum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (net)
Isu menarik pagi ini, PDIP dan Gerindra saling bantah dan cuci tangan soal kenaikan tarif PPN 12. Politisi Gerindra menuding PDIP yang mengusulkan kenaikan PPN menjadi 12 persen, malah Ketua Panja RUU HPP adalah kader PDIP. Namun tudingan itu dibantah Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus. Ia bilang, inisiatif pengusul kenaikan PPN 12 persen adalah pemerintahan Presiden Jokowi melalui Kementerian Keuangan. Berikut isu selengkapnya.
1. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengaku heran dengan respons kritis PDI-P terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen. Rahayu menyindir, ketika rancangan beleid itu dibahas di DPR (maksudnya, RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), red–, PDI-P merupakan fraksi yang mendapatkan jatah kursi ketua panja yakni, Dolfie Othniel Frederic Palit.
“Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDI-P berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12 persen,” kata Rahayu dalam pesan singkatnya, Sabtu (21/12) malam. Kemenakan Presiden Prabowo Subianto itu bilang, banyak dari anggota partainya yang saat itu hanya senyum dan geleng-geleng tertawa mendengar respons kritis PDIP itu. “Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya,” lanjut Rahayu.
2. Sependapat dengan Rahayu, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyanto juga mengatakan wacana kenaikan PPN 12 persen merupakan usulan dari PDIP. Ia menyebut wacana itu merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menjadi produk DPR periode 2019-2024 atas inisiasi PDIP.
“Kenaikan PPN 12 persen itu merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDIP,” kata Wihadi dalam keterangannya, Minggu (22/12). Ia menyatakan sikap PDIP mengenai kenaikan PPN saat ini sangat bertolak belakang dengan ketika membentuk UU HPP dulu. Padahal, panja pembahasan kenaikan PPN dipimpin oleh PDIP.
Wihadi Wiyanto menegaskan, wacana kenaikan tarif PPN 12 persen bukan keputusan pemerintahan Prabowo Subianto, melainkan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ia mengingatkan pihak-pihak tertentu untuk tidak menggiring isu kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo.
“Jadi apabila sekarang ada informasi ada hal-hal yang mengkaitkan ini dengan pemerintah Pak Prabowo yang seakan-akan memutuskan itu adalah tidak benar, yang benar adalah UU ini produk DPR yang pada saat itu diinisiasi PDIP dan sekarang Pak Presiden Prabowo hanya menjalankan,” kata Wihadi. Regulasi ini merupakan produk hukum yang dihasilkan DPR periode 2019-2024.
3. Politisi PDIP Deddy Yevry Sitorus menepis keras tudingan yang menyebut partainya sebagai inisiator wacana kenaikan tarif PPN 12 persen. Ia menyatakan pihak yang menarasikan demikian telah keliru. Menurut dia, UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) disepakati bersama oleh mayoritas fraksi di DPR dan merupakan inisiatif pemerintahan Presiden Jokowi. “Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDIP. Karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah Jokowi melalui Kementerian Keuangan,” kata Deddy di Cikini, Jakarta, Minggu (22/12).
Deddy mengakui kenaikan PPN 12 persen itu diputuskan lewat pengesahan UU HPP, di mana kader PDIP menjadi Ketua Panja-nya. Namun, Deddy menegaskan itu telah menjadi keputusan lembaga untuk mengesahkannya pada 7 Oktober 2021 lalu. Sebanyak delapan fraksi partai di DPR RI menyetujui RUU HPP menjadi undang-undang. Hanya PKS yang menolak. “Pada waktu itu disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi internal kita dan kondisi global itu dalam kondisi yang baik-baik saja,” ucapnya.
Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus tidak menyalahkan Presiden Prabowo Subianto terkait rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. “Jadi, sama sekali tidak menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo (Subianto), bukan, karena ini memang sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujar Deddy.
Anggota Komisi II DPR ini menyatakan, sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12 persen itu hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. “Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu dikaji lagi,” ujarnya. Fraksi PDIP, tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo Subianto imbas kenaikan PPN 12 persen.
5. Ketua Panja RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dari fraksi PDI-P, Dolfie Othniel Frederic Palit buka suara soal sindiran politisi Partai Gerindra soal kenaikan tarif PP) 12 persen. Dolfie mengakui, kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen mulai Januari 2025 merupakan amanat dari UU HPP. Akan tetapi, ia menegaskan, Presiden Prabowo Subianto sebetulnya dimungkinkan untuk menetapkan tarif PPN, bahkan lebih rendah dari 11 persen.
“Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif tersebut dalam rentang 5-15 persen, bisa menurunkan maupun menaikkan,” kata Dolfie , Minggu (22/12). “Sesuai Pasal 7 ayat (3) UU HPP, pemerintah dapat mengubah tarif PPN di dalam UU HPP dengan persetujuan DPR,” lanjut Dolfie. Hal itu, kata Dolfie, didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional. “Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN, naik atau turun,” tegas dia.
6. Politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka meminta Presiden Prabowo Subianto menunda rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Ia menyarankan pemerintah untuk menerapkan self-assessment monitoring system dalam tata kelola perpajakan guna memastikan efektivitas sistem tersebut.
Selain itu, Rieke menekankan pentingnya pemberantasan korupsi sebagai dasar untuk merumuskan strategi pelunasan utang negara. “Saya dukung Presiden Prabowo tunda atau bahkan batalkan rencana kenaikan PPN 12 persen sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat 3 dan ayat 2(a) UU 7/2021,” tegasnya, Sabtu (21/12).
Rieke mendesak, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dipahami secara utuh. Berdasarkan pasal tersebut, tarif PPN ditetapkan sebesar 11 persen mulai 1 April 2022 dan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka meminta pemerintah lebih kreatif dalam mencari sumber anggaran negara, terutama terkait pembangunan infrastruktur. Permintaan tersebut disampaikannya merespons rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen yang akan berlaku pada Januari 2025. “Dana pembangunan infrastruktur wajib diprioritaskan yang memengaruhi hajat hidup orang banyak,” ujar Rieke, Sabtu (21/12).
Ia menekankan pentingnya inovasi dan kreativitas pemerintah dalam mencari sumber anggaran tanpa membebani masyarakat. “Perlu inovasi dan kreativitas pemerintah dalam mencari sumber anggaran negara, tidak bebani pajak rakyat dan bahayakan keselamatan negara, segera himpun dan kalkulasikan dana kasus-kasus korupsi, segera kembalikan ke kas negara,” sambungnya.
7. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto membantah transaksi pembayaran virtual melalui QRIS dan e-Money seperti e-toll dikenakan PPN. Menurut Airlangga, pemerintah tidak mengenakan tarif PPN 12 persen untuk transaksi berbasis QRIS maupun kartu debit. “Hari ini ramai QRIS. Itu tidak dikenakan PPN. Jadi QRIS tidak ada PPN. Sama seperti debit card transaksi yang lain,” kata Airlangga di Tangerang, Banten, Minggu (22/12).
Airlangga mengatakan, QRIS sudah digunakan di berbagai negara di Asia, termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Ia memastikan, masyarakat tidak akan dikenakan PPN 12 persen jika bertransaksi menggunakan QRIS di Indonesia maupun di negara yang sudah menggunakan sistem pembayaran virtual itu.
8. Ketua Fraksi PAN DPR merangkap Wakil Ketua Komisi XII DPR, Putri Zulkifli Hasan menegaskan, kebijakan kenaikan PPN 12 persen telah dirancang dengan mempertimbangkan keberpihakan kepada masyarakat kecil. “Kenaikan PPN menjadi 12% bukan sekadar langkah fiskal, tetapi juga wujud nyata prinsip gotong royong dalam membangun bangsa,” kata Putri dalam keterangannya, Minggu (22/12).
“Dengan memastikan barang kebutuhan pokok tetap bebas PPN, pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat rentan, sementara kontribusi dari kelompok yang lebih mampu diarahkan untuk mendukung pembangunan nasional,” ujar Putri. Menurut dia, kebijakan PPN 12% dirancang dengan prinsip keadilan, di mana barang kebutuhan pokok seperti beras, unggas, hasil perikanan dan kelautan, susu segar, serta jasa pendidikan dan kesehatan tetap bebas dari PPN untuk menjaga daya beli masyarakat kecil.
9. Ketua Fraksi PKB DPR Jazilul Fawaid menilai, perdebatan soal kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tak diperlukan lagi. Sebab, rencana tersebut telah disetujui semua partai di DPR sejak tiga tahun lalu. ”Mestinya sudah tidak diperlukan lagi (perdebatan) sebab hampir semua partai di DPR pada tahun 2021 telah menyetujui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kenaikan PPN 12 persen bagian dari pelaksanaan UU HPP,” ujar Jazil, Minggu (22/12).
Meski begitu, Wakil Ketua Banggar DPR ini menganggap wajar jika terjadi polemik kenaikan PPN 12 persen. Fraksi PKB DPR menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk menjalankan UU HPP secara baik dan bijaksana. ”Fraksi PKB menyetujui kenaikan PPN 12 persen dengan harapan pemerintah tetap melakukan skema kebijakan ekonomi lainnya yang dapat mengurangi tekanan kenaikan harga dan daya beli masyarakat,” katanya. Ia mengingatkan pemerintah untuk tetap mengantisipasi dampak yang akan timbul akibat kenaikan PPN tersebut.
10. Putri mantan Presiden Gus Dur, Yenny Wahid mengkritik rencana kenaikan PPN 12 persen. Yenny pastikan, jika Gus Dur masih hidup, dia akan bersama masyarakat menentang rencana kenaikan PPN 12 persen. “Jika Gus Dur masih ada, saya yakin beliau akan berdiri bersama rakyat kecil dan mengatakan, hentikan rencana ini,” ujar Yenny dalam Haul Ke-15 Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (21/12).
Yenny mengatakan, saat ini masyarakat secara luas menghadapi tantangan ekonomi yang begitu besar. Banyak rakyat hidup dalam kesulitan, harga kebutuhan pokok melonjak, daya beli menurun, dan banyak kelas menengah turun ke kelas ekonomi, serta pengangguran makin bertambah.
Yenny mengutip pendapat para ekonom yang menyebut konsumsi domestik menjadi penopang laju ekonomi. “Tetapi justru saat ini ada rencana pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen. Apakah ini bijak?” tegas Yenny dalam nada bertanya.
11. Direktur Tindak Pidana (Dirtipid) Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Mukti Juharsa menyebut, warga negara Ukraina, Roman Nazarenco yang ditangkap di Bandara Bangkok, Thailand terancam hukuman mati. Mukti mengatakan, Roman merupakan otak, pemodal, dan pengendali clandestine laboratory atau laboratorium narkoba di basement sebuah vila di Canggu, Bali.
Roman melanggar Pasal 114 subsidair Pasal 112 dan subsidair Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. “Ancaman hukumannya mati, minimal 5 tahun dengan denda Rp 10 miliar,” kata Mukti dalam konferensi pers di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (22/12).
Adapun Ayat (2) Pasal 114 menyatakan, setiap orang yang menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon, atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 gram, dipidana dengan hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling singkat 6 tahun dan maksimal 20 tahun.
Mukti menuturkan, Roman kabur ke Thailand sejak Mei lalu ketika Polri menggerebek laboratorium narkoba di Bali. Ia bersembunyi di negeri gajah putih itu selama 109 hari. Roman kemudian hendak berpindah ke Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), melalui bandara di Bangkok. Namun, pelariannya harus berakhir karena ditangkap petugas Imigrasi Thailand.
12. Kemenlu RI merespon soal Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang meninggalkan ruangan saat Presiden Prabowo Subianto berpidato pada KTT D-8 di Kairo, Mesir, Kamis (19/12) lalu. Jubir Kemenlu Roy Soemirat mengatakan, hal tersebut sesuatu yang lumrah ketika para ketua delegasi lakukan banyak pertemuan paralel pada saat pertemuan internasional, salah satunya mengadakan pertemuan bilateral dengan ketua delegasi lain di ruangan yang berbeda.
“Jadi sifat keluar masuk ruangan meeting adalah hal yang lumrah untuk meeting internasional (termasuk di forum PBB),” kata Roy Soemirat dalam keterangan tertulis, Minggu (22/12). Roy mengatakan, delegasi Indonesia tidak dapat memberikan komentar terhadap jadwal ketua delegasi negara lain yang kemudian tidak dapat hadir sepenuhnya pada saat Presiden Prabowo Subianto berpidato. Meski demikian, Kemenlu memastikan Presiden Prabowo berkesempatan untuk melakukan pertemuan singkat dengan seluruh ketua delegasi lain menjelang dan setelah KTT, termasuk dengan Presiden Turki. (Harjono PS)