GESEKAN DALAM PERANG

oleh
oleh
Ambassador Freddy Numberi Laksamana Madya TNI (Purn). (Foto: Istimewa)

Oleh: Ambassador Freddy Numberi
Laksamana Madya TNI (Purn)

War is the realm of physical exertion and suffering — Perang adalah ranah penderitaan fisik dan mental.”
— Carl von Clausewitz (Michael Howard and Peter Paret, Princeton University Press, 1976: hal.101)

Pendahuluan

Jika seseorang tidak pernah mengalami perang secara pribadi, ia tidak dapat memahami apa sebenarnya kesulitan yang membuat “Sang Komandan” membutuhkan kecemerlangan dan kemampuan yang luar biasa.

Semuanya terlihat sederhana, tetapi pengetahuan yang dibutuhkan tidak terlihat luar biasa, namun pilihan-pilihan strategis “Sang Komandan” yang luar biasa.

Begitu perang benar-benar terjadi, maka kesulitan-kesulitan menjadi jelas, tetapi masih sangat sulit menggambarkan elemen-elemen yang tidak terlihat maupun perubahan perspektif ini.
(Michael Howard and Peter Paret, Princeton University Press, 1976: hal.119)

Gesekan di Medan Perang

Segala sesuatu dalam perang tampak sederhana, tetapi hal yang paling sederhana pun sering kali menjadi sangat sulit.

Kesulitan-kesulitan itu terakumulasi dan berakhir dengan menghasilkan semacam gesekan — sesuatu yang tidak dapat dibayangkan kecuali seseorang telah mengalami perang secara langsung.

Clausewitz menjelaskan gesekan ini melalui analogi sederhana: bayangkan seorang pelancong yang pada sore hari memutuskan untuk menempuh dua tahap lagi sebelum malam tiba. Perjalanan itu tampak mudah — hanya empat atau lima jam di jalan beraspal dengan rangkaian kuda.

Namun di stasiun berikutnya, ia tidak menemukan kuda baru, atau hanya kuda yang buruk; negeri menjadi berbukit, jalan memburuk, malam tiba, dan akhirnya setelah melalui banyak kesulitan, ia sangat senang bisa sampai di tempat peristirahatan dengan segala keterbatasannya.

Hal yang sama juga terjadi dalam perang. Insiden kecil yang tak terhitung jumlahnya — yang tidak pernah bisa diperkirakan — bergabung untuk menurunkan tingkat kinerja secara umum. Akibatnya, seseorang sering gagal mencapai tujuan yang diinginkan.

Kekuatan tekad yang kuat dapat mengatasi gesekan ini; kekuatan itu dapat menghancurkan setiap rintangan, tetapi tentu saja hal ini juga dapat melemahkan mesin. Clausewitz menyebut bahwa keteguhan hati yang kuat mendominasi seni perang seperti obelisk yang berdiri di alun-alun kota, tempat semua jalan bertemu.

Makna Gesekan bagi Kepemimpinan

Gesekan dalam perang adalah faktor yang membuat segala sesuatu sulit dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tidak ada satu pun operasi militer yang berjalan sempurna sesuai rencana.

Setiap perintah, betapa pun jelasnya, dapat disalahartikan. Setiap persiapan, betapa pun matang, dapat terganggu oleh hal-hal kecil yang tampaknya remeh: cuaca, logistik, komunikasi, atau moral pasukan.

Clausewitz menyebut gesekan sebagai “elemen yang membuat dunia perang berbeda dengan dunia abstrak.” Tidak ada medan perang yang steril dari kejutan. Dalam setiap tahap pertempuran, bahkan dalam strategi yang paling hebat, selalu ada elemen ketidakpastian yang tidak dapat dihapus.

Di sinilah kemampuan kepemimpinan diuji. Seorang komandan harus menavigasi antara rencana dan realitas, antara teori dan praktik. Dalam keadaan seperti ini, mental baja dan intuisi strategis menjadi lebih penting daripada sekadar kepintaran akademik.

Komandan yang hebat tidak hanya memimpin pasukan, tetapi juga mengelola gesekan itu sendiri — mengubah kekacauan menjadi momentum, menjadikan ketidakpastian sebagai peluang.

Penutup

Perang bukan sekadar soal kekuatan senjata atau jumlah pasukan, tetapi tentang kemampuan manusia untuk bertahan di tengah penderitaan, tekanan, dan kekacauan yang luar biasa.

Gesekan adalah bagian tak terpisahkan dari realitas perang — seperti pasir di roda mesin yang paling sempurna sekalipun.

Memahami gesekan, dan mengatasinya dengan tekad, kepemimpinan, serta kebijaksanaan, adalah inti dari seni perang itu sendiri.

Carl von Clausewitz benar ketika menyatakan bahwa perang adalah “ranah penderitaan fisik dan mental.” Namun, di balik penderitaan itu, tersembunyi pula kebesaran jiwa dan keteguhan hati yang menjadikan manusia sebagai pejuang sejati. ***