DIPIKIR-PIKIR kasihan betul yang namanya Pacasila itu ya. Hingga hari ini, sudah hampir tujuhpuluh lima tahun sejak dilahirkan, Pancasila itu masih terus saja dijadikan bahan diskusi, bahan gunjingan, bahan untuk dipelajari, dan hanya sedikit upaya untuk bisa diterapkan.
Sedikitnya ada dua lembaga yang dibentuk untuk menangani Pancasila. Di masa Orde Baru dibentuk BP-7, dan sekarang ini dibentuk BPIP. Malahan sekarang ini, Pancasila mau diperas-peras lagi.
Ada yang mau memerasnya menjadi tiga dan ada yang mau menjadikannya satu sila saja. Kalau begitu kenapa tidak dari dulu saja Pancasila (PS) itu dijadikan Eka sila, repot amat ya.
Lain dari itu kalau Pancasila itu masih perlu diajarkan kepada publik bahkan juga kepada para elite bangsa, apa itu tidak berarti bahwa PS itu masih merupakan sesuatu yang asing? Yang bukan asli Indonesia? Ini hanya sekedar bertanya secara logika saja. Sebab jika PS itu memang genuine alias asli, kan mestinya tidak butuh diajarkan lagi?
Tapi mungkin karena ada pemimpin menganggap bahwa Pancasila masih dianggap asing bagi banyak orang maka perlu dilakukan penataran, perlu dibikin lembaga pemahaman dan pengamalan Pancasila dst, yang gaji pengurus lembaganya ratusan juta rupiah. Gaji tinggi itu dibutuhkan karena pengurus lembaga Pancasila itu harus bekerja keras siang malam, berupaya agar PS bisa dipahami oleh segenap warga bangsa. Maksudnya masyarakat biasa itu harus memahami PS, tapi kalau elite bangsa sih kayaknya boleh tidak paham.
Sebenarnya warga Indonesia itu sudah paham belaka mengenai Pancasila. Jadi tidak perlu lagi mereka diajari. Misalnya soal Gotong Royong itu, kan seluruh warga Indonesia paham belaka dengan makna istilah itu, malahan sudah sering melaksanakannya terutama menjelang 17 Agustus, atau ketika Pak RT memukul kentongan minta warga desa berkumpul untuk melakukan kerja bakti berhubung desa sudah mulai dikotori oleh rumput dan semak.
Jadi kalau boleh berterus terang, rakyat kecil di desa dan di kota itu sudah melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Coba perhatikan, di semua ibukota kabupaten pasti ada masjid dan gereja dibangun berhadap-hadapan. Itu kan artinya penganut agama-agama tersebut di masa lalu sudah mampu saling bertoleransi. Masak sekarang kita musti diajari lagi hidup rukun antar agama? Tapi kalau ada yang mengusik ketenangan beribadah itu ya ditindak saja berdasar hukum secara adil bagi semua pihak.
Hukum yang adil itu sudah dihayati dan dipahami oleh semua warga sejak masa lalu. Semua warga sudah mampu merasakan dan mengetahui mana hukum yang adil dan mana yang tidak adil tanpa perlu diajari lagi untuk memahami makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tapi justru yang berkewajiban melaksanakan keadilan itulah yang agaknya perlu ditatar lagi agar mampu bersikap dan bertindak adil. Ya kira-kira mirip di Amrik begitu. Warga kulit hitam itu sejak lahir sudah tahu dan mampu merasakan perlakuan adil dan tidak adil bagi mereka, jadi kalau sekarang mereka berdemo terus, pasti karena perasaan keadilan mereka terusik. Jangankan yang hitam, yang putihpun ternyata ikut berdemo karena sebagai manusia mereka pasti ikut merasakan adanya perlakuan yang tidak adil.
Prikemanusiaan dan prikeadilan itu sifatnya kodrati, sudah ditanamkan oleh Yang Maha Pencipta kepada semua mahlukNya, bukan hanya manusia tapi juga kepada hewan, tumbuh-tumbuhan dll sejak sebelum mereka dilahirkan.
Kita juga ingin diperlakukan secara manusiawi oleh aparat keamanan terutama yang membawa senjata. Soalnya ngeri banget melihat warga yang berdemo mengajukan pendapatnya, dipentung kepalanya atau malahan ditembak sampai mati. Jika ingin berlaku adil maka pandanglah orang atau pihak lain itu sebagai manusia, bukan sebagai obyek.