JAKARTA, REPORTER.ID- Sebelum pandemi Covid -19 dan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta 14 Maret 2020, Kota Tua khususnya Taman Fatahillah dan Kawasan Wisata Kalibesar di Jakarta Barat begitu ramai. Dari bagian data Museum Seni, Niar, tercatat pengunjung Museum Wayang saja selama Januari 2020 mencapai 22.096 orang selama 27 hari. Berarti rata rata mencapai 818 orang/hari.
Februari 14.255 orang atau rata rata 570 orang/hari. Sedang Maret (12 hari) 5.105 orang atau rata-rata 464 orang/hari.

Dari pengalaman selama ini pegunjung Kota Tua dapat diperkirakan 6 x pengunjung Museum Wayang atau 3 x pengunjung Museum Sejarah Jakarta. Karena itu para anggota Seni Karakter Kota Tua (SKKT) seperti Yusuf Subagio (50), Faisal Afriansyah (26), Heni (20) maupun Dhisa (23) dan Ariv serta Wawan (23) begitu bersemangat mencari rezeki di Kota Tua.
Wawan (23) misalnya pemuda dari Brebes dengan berkostum Pangeran Diponegoro dan baluran warna tembaga berhasil menarik pengunjung Kota Tua yang lewat di Lorong Seni (Jl.Pintu Besar Utara) untuk foto bersama.
Begitu pula Faisal Afriansyah warga Leuwiliang, Bogor, berkostum mirip WR Soepratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan biolanya, mejeng di depan Kantor UPK Kota Tua. Dia memilih warna silver sehingga mirip patung perak. Banyak pengunjung Kota Tua tertarik foto bersama “patung” itu, kemudian memasukkan uang ke kotak apresiasi yang tersedia.

Begitu pula dengan Yusuf Subagio yang berasal dari Singosari, Malang, berkostum wayang orang Gatotkaca, melayang dengan teknik levitasi di dekat Museum Wayang. Kotak apresiasi dengan isinya yang tersedia di depannya menjadi ukuran berapa rezeki Yusuf hari itu. Rata rata Yusuf, Faisal dan kawan kawan mengakui ketika disebut sehari bisa mencapai Rp 150.000 – Rp 300.000,- “Begitulah,” kata mereka.
Heni dari Purbalingga yang memerankan Putri Ong Tien isteri Sunan Gunung Jati dan terakhir sebagai Srikandi yang mejeng di samping meriam Si Jagur dari Abad XVII juga tak menyangkal semua itu. Namun sejak ada PSBB 14 Maret 2020 semuanya berubah. Taman Fatahillah Kota Tua ditutup untuk umum.
Merekapun harus banting stir mencari lahan lain. Banyak pula yang pulang kampung.
Ketika PSBB Transisi diberlakukan sejak 6 Juni 2020 angin segar berhembus. Museum museum dibuka, dan hidup kembalilah Kota Tua. Namun banyak mereka terlanjur alih profesi dan propertinya juga sudah terjual. “Saya sekarang jadi tukang cat. Ini baru selesai mengecat rumah baru di Pluit dan di Pulau Reklamasi,” kata Faisal ketika Kota Tua dibuka dengan PSBB Transisi.
Ternyata masa longgar itu tak lama. Sebab Gubernur DKI Jakarta menerapkan PSBB Ketat sejak 14 September yang diperpanjang sampai dengan 11 Oktober 2020. “Faisal suami saya sekarang bekerja di Karawang ikut Paman. Saya dan suami takkan kembali ke Kota Tua Jakarta lagi, kecuali untuk reuni dan bersilaturahmi,” kata Heni melalui watsapnya Rabu (30/9/2020).
Pantaslah begitu karena Kota Tua telah mempertemukan mereka berdua Faisal dan Heni menjadi suami isteri dan dikaruniai seorang anak lelaki. Hingga kini Kota Tua sepi kembali. Cahyono warga Beji, Depok, yang bekerja di Museum Sejarah Jakarta dan Rohadi warga Petojo Selatan Jakarta Pusat mengakui sepinya kawasan bersejarah tersebut.
“Orang tak boleh masuk kecuali yang berkepentingan,” kata Rohadi yang sering mengantar putrinya bekerja di Kota Tua. Dedy Tarmizi Kepala Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua dan Pengawas Kota Tua M.Maksum membenarkan Taman Fatahillah tertutup untuk umum sejak 14 September 2020. “Memang ada beberapa cafe, restoran cepat saji dan warung makan UMKM. Tetapi pembeli tidak boleh makan dan minum di situ. Kalau beli harus dibawa pulang,” kata Dedy.
Kota Tua selama ini menjadi ajang penghidupan warga asli maupun urban. Tidak kurang dari 100 anggota komunitas Kota Tua mengandalkan penghasilannya dari pengunjung tempat gedung gedung tua dari abad XVII sampai awal abad XX. Seperti komunitas pemilik sepeda onthel, pemusik, manusia patung dan pelukis wajah, siluet, grafir maupun tatto. Namun sekarang mereka harus mencari alternatif untuk menyambung kehidupan dalam pandemi corona ini.
“Kami bingung harus ke mana lagi ini,” kata Ariv pemusik dengan Single Bandnya yang semula sering “konser” di depan Cafe Batavia Taman Fatahillah. Ia tidak sendiri karena harus menghidupi keluarga berlima.
Begitu pula dengan isterinya Dhisa yang sering berkostum sebagai Noni Belanda di Kota Tua. “Saya tak mau diwawancara dulu. Lagi bingung cari uang susu,” katanya ketika dihubungi melalui wattsapnya. (Suprihardjo).