Di Arab pun Banyak Ditinggalkan
Mengapa pakaian model Arab Saudi yang lebih berpengaruh di Indonesia daripada Arab lainnya adalah sangat mudah dimengerti: interaksi yang paling intensif dan ekstensif lebih banyak terjadi antara warga negara Indonesia dan KSA mengingat besarnya jumlah pekerja migran Indonesia di sana, dan juga banyaknya jamaah umrah dan haji dari Indonesia. Sementara interaksi warga negara Indonesia dan warga negara-negara Arab lain seperti Mesir, Irak, dan Arab Levant (Biladu Syam) lainnya, meskipun ada tetapi tidak seintensif dan seekstensif interaksi antara Indonesia dan Arab Saudi.
Apalagi pada kenyataannya orang-orang dari negara-negara Arab selain Arab Saudi telah sejak lama meninggalkan pakaian Arab tradisionalnya. Di negara-negaraIrak, Suriah, Yordania, Palestina, apalagi Lebanon, sudah jarang sekali kita menemukan orang mengenakan pakian Arab tradisional. Demikian juga di Mesir, Aljazair, Tunisia, Libya, dan lain-lainnya. Hanya tinggal kalangan agamawan atau mutadayyin, seperti imam dan khatib, serta para sheikh, yang masih mengenakannya sehari-hari. Kebanyakan mereka sudah sejak lama memakai pakaian modern ala Barat. Walhasil, agak misleading juga tudingan pada orang-orang yang mengenakan pakaian Arab tradisional sebagai kearab-araban. Arab mana yang sebenarnya mereka maksudkan itu?
Pasalnya pakaian Arab tradisional semacam itu, sekali lagi, sudah jarang sekali kita menemukannya di dunia Arab, kecuali di Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk, seperti Emirat Arab, Kuwait, Oman, Bahrain, Kuwait dan Qatar. Di luar Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk ini, rasanya hanya tinggal kalangan agamawan atau mutadayyin, seperti imam dan khatib, serta para Sheikh, yang masih mengenakannya sehari-hari.
Dalam konteks dan perspektif ini sungguh saya sering iri hati dengan bangsa Arab Saudi yang secara kebudayaan masih bisa begitu kokoh dan kekeh dengan pakaian tradisonalnya itu di mana pun saja mereka sedang berada. Lihatlah dalam berbagai forum internasional: para pemimpin KSA menjadi tampak begitu menonjol karena pakaiannya yang khas itu. Mereka tidak merasa rendah diri, apalagi minder, dengan pakaian tradisionalnya yang khas itu di tengah-tengah para tokoh dan pemimpin dunia dari negara lainnya yang kesemuanya lebih bangga mengenakan pakaian Barat.
Ironisnya para pemimpin Indonesia, termasuk kita-kita ini juga, setali tiga uang saja dengan mereka yang bangga mengikuti pakaian Barat itu. Kita suka dan bangga benar mengenakan dress code ala Barat tersebut: celana panjang lengkap dengan ikat pinggangnya, shirt (baca: a cloth garment usually having collar, sleeves, a front opening, and tail long enough to be tucked inside trousers or a skirt) lengkap dengan dasi (necktie)-nya, dan jas (coat). Bahkan, jangan ketawa, tak jarang, gara-gara ikatan dasinya yang kekencangan sering terlihat lehernya seperti tercekik atau sebaliknya kedodoran itu. Tragisnya lagi, dress code Barat seperti itulah yang kita sebut sebagai Pakaian Nasional kita. Kalau tidak percaya lihat saja definisi Pakaian Sipil Lengkap (PSL) dalam beberapa ketentuan protokoler sebagaimana yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita sampai hari ini.
Sementara, lihatlah, pemimpin-pemimpin Arab Saudi dan beberapa negara Arab Teluk lainnya itu: dengan tenang dan percaya diri mereka mengenakan pakaian Arab tradisional yang tampak khas itu. Berbeda dengan raja atau amir dan pemimpin-pemimpin KSA dan negara-negara Arab Teluk lainnya, pemimpin-pemimpin Arab Mesir, Irak, Tunisia, dan lain-lainnya, apalagi Arab Levant (Biladu Syam) seperti Lebanon, Suriah, Yordania, dan Palestina, sudah menjadi sangat Barat dalam berbusana. Hanya para Sheikh atau pemimpin-pemimpin agama (mutadayyin) yang bertahan dengan pakaian khas Arabnya yang sangat mungkin sebagai identitas keulamaan mereka.