Revolusi Beludru

oleh
oleh

Oleh : Zainal Bintang

 

Pesan WhatsApp Denny JA masuk ke HP saya. Isinya rekaman video yang membahas topik  “Penghianatan Kaum Intelektual”. Diberi pengantar teks dengan pertanyaan : “Apakah Intelektual Sudah Berkhianat? Salahkah Intelektual yang masuk ke dalam kekuasaan? Salahkah intelektual yang tak lagi peduli dengan riuh rendah ruang publik? 100 tahun setelah buku Julian Benda: Penghianatan Dunia Intelektual, kita menyaksikan perkembangan zaman yang berbeda”.

Karya Benda yang dirujuk Bung Denny JA judul aslinya dalam bahasa Perancis “La Trahison Des Clercs” (Penghianatan Kaum Intelektual). Terbit 1927. Diterjemahkan 1997. Drama pengkhianatan kaum intelektual atau cendekiawan adalah foto copy sejarah yang selalu terdaur ulang.

Konsistensi  komitmen intelektual dapat diukur ketika dirinya berani mengambil risiko mempertaruhkan nyawa untuk dan atas nama kepentingan (rakyat) yang lebih besar. Namun seiring dengan perjalanan waktu daya tahan komitmen itu terus mengalami dinamika pasang surut manakala diuji oleh kemewahan dan kenyamanan yang ditawarkan kekuasaan.

Tidak mudah  melupakan sepotong  kata magis  dibaca Bung Karno dengan cepat  mengguncang dunia abad ke 20. Teks proklamasi yang tertulis diatas sepotong kertas yang rada “kumal” : “….kami bangsa Indonesia, dengan ini….dan seterusnya dan seterusnya”.

Kalimat pendek  tapi sakral itu dalam sekejap mengubah konstelasi kiblat kekuatan politik dunia internasional. Memori yang monumental ini muncul mendadak sesaat, – ketika hari masih sangat pagi. Saya menjawab lewat handphone seorang senior. Guru besar. Yang dikenal karena kepakarannya di bidang ekonomi. Mengeluhkan apa yang disebutnya “kondisi” tak menentu  hari ini.

Menyoal senyapnya suara anak muda kampus yang dinilainya tidak (lagi) sensitif dengan kondisi tanah air. Sang guru besar cemas dengan absennya kekuatan  penggerak perubahan, – kaum intelektual – yang lagi tidak bunyi.

Lewat  proklamasi itu 75 tahun yang lalu, Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Bung Karno yang didampingi Bung Hatta dengan  mantap  penuh khidmat membaca teks itu di Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, 17 Agustus 1945.

Didahului  drama “penculikan” Soekarno – Hatta dikenal sebagai  “Peristiwa Rengasdengklok”.  Dilakukan sejumlah pemuda. Diantaranya Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh dari perkumpulan “Menteng 31”. “Penculikan” itu berujung menjadi pendorong proklamasi kemerdekaan.

Peristiwa bersejarah itu adalah fragmen konsistensi kaum intelektual terhadap komitmen pembebasan bangsanya dari belenggu penjajahan. Akan tetapi ketegaran keintelektualan tokoh proklamator itu berkelindan dan serap-menyerap dengan gejolak darah generasi muda “sang penculik.” Seandainya tidak ada anak–anak muda itu yang nekat melakukan tindakan “penculikan”, tentu jalannya sejarah akan berbeda hari ini.

Memang ada kekecewaan dari masyarakat setelah menyaksikan dan merasakan perjalanan sejarah keintelektualan di mana–mana, termasuk di Indonesia. Mencemaskan terkooptasinya independensi intelektual atau cendekiawan di dalam kekuatan kekuasaan. Mengulik pepatah lama yang menyebutkan, “honores mutant mores”, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya.

Maka itu, sejarawan Lord Acton dalam suratnya kepada Mandell Creighton, tertanggal April 1887, menulis, “Power tends to corrupt, and absolute power to corrupt absolutely” – orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi.

Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah apabila ia merasa sudah lebih dari orang lain, menjadi manusia super, bahkan semidewa; minta dipuja-puja, bahkan minta dikultuskan.

Pada galibnya logika publik menjabarkan, kaum intelektual harus balik badan mengambil jarak untuk memelihara kemurnian cita – cita “clean government”. Suatu sikap  yang ditujukan untuk mencegah praktik  penyimpangan kekuasaan yang berselempang jubah konstitusi, mengatasnamakan bangsa dan negara.

Jika diukur dari sisi jarak waktu terjadinya drama “Rengasdengklok” sampai kepada pembacaan Proklamasi di Pegangsaan Timur, itu memakan waktu kurang dari dua puluh empat jam. Jauh lebih cepat daripada waktu yang digunakan Vaclav Havel ketika memerdekakan  Cekoslawakia tahun 1989. Melalui gerakan “Revolusi Beludru”  (Velvet Revolution) kurang lebih empat puluh dua hari (17 November – 29 Desember 1989).

Meskipun harus diakui, terbukanya ruang kemerdekaan bagi Indonesia disebabkan ada pengaruh eskalasi politik internasional, karena Jepang bertekuk lutut kepada sekutu setelah negerinya dibombardir bom di  Hiroshima.

Demikian juga yang dialami Cekoslawakia, pengaruh perang dingin dan perubahan kebijakan politik dalam negeri Uni Soviet oleh presiden barunya Gorbachev dengan memperkenalkan konsep glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi).

Menelusuri sejumlah kajian terkait dengan kiprah Vaclac Havel, harus diakui namanya sampai hari ini selalu dikenang sebagai salah seorang tokoh intelektual yang terjun dalam pergerakan yang berhasil membebaskan negaranya dari penindasan kekuasaan pemerintahan Uni Soviet yang mencaplok  Cekoslawakia sebagai Komandan Pakta Warsawa tahun 1968.

Revolusi Beludru  (Velvet Revolution) atau Revolusi Tenang yang digerakkan Havel adalah revolusi tanpa kekerasan. Sebuah jalan intelektual yang bersemangat revolusi (perlawanan) yang mendasari fikiran di dalam esai atau berbagai karya filsafat, maupun melalui jalan kesenian. Sesuai kodratnya sebagai seorang seniman, jalan intelektual yang substansial bertujuan menentang pemerintahan otoriter itulah yang dipilih dan berhasil.

Keberhasilan revolusi (beludru) itu menjadikan Havel sebagai  Presiden Cekoslovakia (1989-1992) yang ke-10 dan Presiden Republik Ceko yang pertama (1993-2003).

Havel adalah penulis, politikus, dan dramawan Ceko. Ia menjadi sangat terkenal setelah menulis sebuah esai  yang diberi judul “The Power Of The Powerless (Kekuatan Mereka yang Tidak Berdaya)  Melukiskan rezim “normalisasi” Cekoslawakia paska 1968 sebagai sistem yang bangkrut yang bertumpu pada kebohongan yang menyeluruh.

Memang menarik membahas topik “pengkhianatan intelektual” hari ini. Banyak yang menyebutkan jalan intelektual sebagai media perlawanan kritis terhadap kesewenang – wenangan pemerintah di era ini dirasakan telah mengalami distrosi nilai.

Di era pemerintahan SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) tahun 2005 pernah juga terjadi “geger inetelektual”. Pro kontra yang tajam antara intelektual non pemerintahan dengan intelektual pendukung kekuasaan  terkait adanya iklan kebijakan pemerintah soal pencabutan subsisdi BBM. Kalangan intelektual “bebas” kekuasaan menganggap kebijakan itu merugikan rakyat.

Apalah arti sebuah nama. Seperti kata William Shakesepeare  What’s in a name? “That which we call a rose. By any other name would smell as sweet.” Dalam cerita love story yang melegenda “Romeo & Juliet”, Shakespeare  mengatakan :  “bunga mawar itu kalaupun diberi nama selain  mawar, bau wanginya akan tetap sama”. (Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya).

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *