SILAKAN KE MK?

oleh
oleh

Oleh : Prof. Dr. Amir Santoso

 

Presiden Jokowi, menurut salah satu suratkabar, mempersilakan pihak-pihak yang menentang Omnibus Law agar menyampaikan penolakan mereka ke Mahkamah Konstitusi (MK). Masalah utama dengan cara ini adalah jawaban atas pertanyaan: Apakah publik percaya kepada MK?

Rasanya kepercayaan publik terhadap lembaga tsb sudah sangat berkurang. Sebab dalam beberapa kasus, publik selalu dikalahkan oleh MK. Memang benar bahwa tuntutan publik tidak akan selalu benar. Tapi persepsi publik terhadap lembaga pemerintah sering tidak mengikuti garis lurus.

Sebab persepsi itu dibentuk tidak hanya oleh keputusan-keputusan MK tapi juga oleh persepsi publik terhadap keseluruhan kebijakan pemerintah. Jadi apabila banyak keputusan pemerintah dirasakan tidak memihak kepentingan rakyat banyak, maka persepsi terhadap semua lembaga pemerintah akan dipengaruhi oleh persepsi terhadap kebijakan pemerintah tsb.

Perintah presiden agar penentangan terhadap Omnibus Law dilakukan melalui MK-pun terasa sangat jumawa seolah-olah presiden sudah sangat yakin bahwa pemerintah akan dimenangkan oleh MK. Ini menambah panjang keyakinan publik bahwa MK memang mudah disetir oleh kemauan pemerintah. Artinya, publik sudah diberitahu secara implisit bahwa MK memang berada dibawah pengaruh eksekutif.

Soal kepercayaan publik terhadap pemerintah memang merupakan persoalan kita untuk segera ditanggulangi. Sebab legitimasi suatu pemerintahan sangat tergantung pada ada tidaknya legitimasi tersebut. Pemerintahan tanpa legitimasi sama saja dengan tidak ada pemerintahan.

Demo-demo yang marak belakangan inipun harus dilihat sebagai pertanda menurunnya legitimasi pemerintah. Bahkan hal itu sudah harus dilihat sejak berbagai demo 212 dan sebelumnya.

Masalah dibalik demo tsb sebenarnya tidak tunggal artinya bukan hanya masalah kebijakan Omnibus Law. Ada masalah lain yaitu tidak terselenggaranya komunikasi yang baik dan lancar antara pemerintah dengan publik khususnya dengan sebagian ummat Islam.

Pemerintah seperti berada di seberang jalan, dan publik ada diseberang yang lain. Tidak ada percakapan dan tidak ada diskusi. Pemerintah seperti lembaga yang berjalan sendiri dan membuat kebijakan sendiri tanpa merasa perlu menyampaikan terlebih dulu niatnya itu kepada publik yang merupakan konsumen dari kebijakanya.

Masuk akal jika publik kemudian menolak kebijakan tsb apalagi ketika publik merasa bahwa kebijakan pemerintah itu merugikan mereka. Andaikata sebelum kebijakan dikeluarkan, diadakan diskusi publik untuk mengetahui pendapat mereka, demo-demo itu tidak akan terjadi.

Publik itu bukan segerombolan orang yang bodoh dan bisa dituntun kemana saja seperti bebek. Tapi mereka adalah pemilik kedaulatan negeri ini yang cerdas dan memiliki aspirasi dan kepentingannya sendiri. Oleh sebab itu mereka akan bereaksi apabila kepentingan mereka tidak dihargai oleh pemerintah.

Berdiskusi dengan publik tidak hanya perlu dilakukan dengan DPR. Apalagi saat ini DPR sudah dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat. Diskusi itu bisa dilakukan dengan mengundang, misalnya Ketua organisasi Buruh, Ketua BEM, Ketua organisasi petani, nelayan, pedagang, LSM dll sesuai dengan topik kebijakan yang akan dikeluarkan.

Memang butuh waktu dan kesabaran untuk melakukan negosiasi seperti itu. Dalam proses pembuatan kebijakan publik di negara demokratis, tarik menarik berbagai kepentingan memang merupakan keniscayaan dan harus dilakukan.

Proses seperti itulah yang membedakan negara demokratis dengan yang otoriter. Hanya negara otoriter yang membuat kebijakan tanpa berdiskusi dan tanpa mendengarkan aspirasi rakyat. Dalam hal ini perlu ditegaskan sekali lagi agar pemerintah jangan hanya berdiskusi dan mendengarkan pendapat DPR apalagi jika DPR sudah tidak dipercaya oleh rakyat.

Karena itu agar kepercayaan rakyat terhadap pemerintah bisa dikembalikan lagi dan demo-demo bisa diakhiri, ajaklah rakyat berdialog. Rangkullah mereka dan dengarkan suara mereka. Mendengarkan suara rakyat itu berbeda dengan mempertontonkan prilaku yang seolah pro-rakyat. Agar dicintai oleh rakyat tidak perlu harus membuat foto dan video yang dirancang seolah sedang membantu rakyat. Foto dan video seperti itu hanya akan dianggap sebagai pencitraan belaka.

Karena itu sebaiknya jika ingin membuat suatu kebijakan, undanglah wakil-wakil rakyat non-DPR tadi ke istana untuk berdialog. InsyaAllah akan banyak masalah negeri ini bisa diselesaikan tanpa ribut-ribut. (Prof. Amir Santoso, Rektor Universitas Jayabaya Jakarta, Dosen Ilmu Politik FISIP UI).

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *